Selasa, 21 Oktober 2014

EPISTEMOLOGI  HERMENEUTIKA GADAMER DAN RELEVANSINYA BAGI ILMU PENDIDIKAN (ISLAM)

Disusun guna memenuhi tugas ujian akhir semester mata kuliah
“Filsafat Ilmu : Topik-Topik Epistemologi ”
Dosen Pengampu : Dr. Shofiyullah, M. Ag




Disusun oleh :
NAMA                        : ANA DWI WAHYUNI
NIM                : 1320411111
PAI MANDIRI A





  

PRODI PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hermeneutika adalah suatu tindakan penafsiran untuk memahami suatu makna teks baik ilmu agama ataupun bukan ilmu agama. Berkembangnya hermeneutika sebagai bagian dari upaya memahami karya manusia, setidaknya telah membangun kesadaran  ilmiah bahwa: penafsiran bukanlah  hal sederhana Metode yang awalnya menempatkan teks sebagai obyek sebagaimana layaknya obyek dalam  science, dinilai telah mereduksi makna teks dan menempatkan teks sebagai eksistensi yang terpisah dari realita.
Sejauh ini, metode hermeneutika telah banyak mempengaruhi daya pikir serta kebenaran yang ditemukan. Namun, metode ini masih menjadi kontroversi karena hermeneutika adalah pemikiran Barat sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa hermeneutika dapat berdampak negative bagi perkembangan ilmu keislaman.
Walaupun demikian hermeneutika juga berdampak positif bagi ilmu pengetauan (ilmu keislaman) khususnya ilmu al-Qur’an. Epistemologi hermeneutika berfungsi untuk meluruskan penilian teradap metode ini yaitu sebagai cara baru memaami ilmu pengetauan.
Gadamer menegaskan bahwa pemahaman adalah persoalan ontologis. Ia tidak menganggap hermeneutika sebagai metode, sebab baginya pemahaman yang benar adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis bukan metodologis. Artinya kebenaran dapat dicapai bukan melalui metode tapi melalui dialektika, dimana lebih banyak pertanyaan dapat diajukan. Dan ini disebut filsafat praktis.[1]
Satu titik tolak yang perlu dicatat adala bahwa pemikiran Gadamer merupakan titik penting yang mengalikan kajian hermeneutika dari ruang epistemologis menjadi ontologis. Ia menolak hermeneutika sebagai metode, sementara metode justru merintangi atau menghambat kebenaran karena upaya pencarian kebenaran menjadi titik luwes dan terbatas karena terikat metode.
Selain itu, proses hermeneutik pun dari waktu ke waktu semakin berkembang mengikuti alur dialektika manusia yang semakin kompleks. Menurut telaah Fakhruddin Faiz, dalam perkembangannya, hermeneutik memiliki tiga model, yaitu hermeneutik sebagai cara untuk memahami atau hermeneutika teoritis, hermeneutik sebagai cara untuk memahami pemahaman atau hermeneutika filosofis, hermeneutik sebagai cara untuk mengkritisi pemahaman atau hermeneutika kritis.[2]  Namun dalam makalah ini yang akan dibahas  adalah tentang epistemologi hermeneutik Hans-Georg Gadamer yang masuk dalam kategori hermeneutika filosofis. Dengan demikian, makalah ini dapat menggambarkan pemikiran hermeneutika dalam pikiran pembaca dan dapat memahami kajian hermeneutika dalam kajian Islam.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimamana riwayat hidup Gadamer ?
2.      Apa saja karya-karya dari Gadamer ?
3.      Apa pengertian epistemologi hermeneutika Gadamer?
4.      Bagaimana kritik Gadamer teradap sistem pengetahuan?
5.      Apa saja sistem dan metode yang ditawarkan Gadamer?
6.      Bagaimana konstruksi epistemologis Gadamer?
7.      Bagaimana relevansi epistemologi hermeneutika Gadamer  bagi Ilmu Pendidikan (Islam)?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui riwayat hidup Gadamer.
2.      Untuk mengetahui karya-karya dari Gadamer.
3.      Untuk mengetahui pengertian epistemologi hermeneutika Gadamer.
4.      Untuk mengetahui kritik Gadamer teradap sistem pengetahuan.
5.      Untuk mengetahui sistem dan metode yang ditawarkan Gadamer.
6.      Untuk mengetahui konstruksi epistemologis Gadamer.
7.      Untuk mengetahui relevansi epistemologi hermeneutika Gadamer  bagi Ilmu Pendidikan (Islam).
D.    Manfaat 
Pembaca dapat memahami tentang kajian hermeneutika Gadamer sehingga dapat mengaplikasikan dalam penafsiran suatu teks baik ilmu agama (ilmu tafsir al-Qur’an ) ataupun bukan ilmu agama untuk mencari suatu makna teks tersebut. 







BAB II
PEMBAHASAN
A.    Kehidupan Gadamer  
Hans Georg Gadamer merupakan salah satu tokoh yang sangat terkenal, diantara para tokoh filsafat hermeneutik. Hans Georg Gadamer dilahirkan di kota Breslau pada 11 Februari 1900.[3] Ketertarikan Gadamer pada filsafat sempat ditentang oleh ayahnya yang berprofesi sebagai seorang profesor kimia di sebuah universitas. Ayahnya dianggap sebagai ahli terpandang dibidangnya. Menurut ayah Gadamer, filsafat, kesusastraan, dan ilmu-ilmu humaniora pada umumnya bukan merupakan ilmu pengetahuan yang serius. Akan tetapi, Gadamer tidak mendengar perkataan ayahnya. Ia berpegang teguh pada pilihannya untuk memperdalam filsafat. Tetapi sayang, sang ayah yang tidak merestui pilihan sang anak tidak sempat menyaksikan keberhasilan Gadamer sebagai seorang filsuf, karena sudah meninggal pada tahun 1928.[4]
Gadamer terlahir sebagai anak kedua di tengah keluarga pasangan Emma Caroline Johanna Gewiese (1869-1904) dan Dr. Johannes Gadamer (1867-1928) di kota Marburg, sebuah kota di bagian selatan Jerman. Sejak usia dua tahun, ia pindah ke kota Breslau (sekarang dikenal dengan nama Wroclau,Polandia) karena ayahnya diminta jadi profesor luar biasa di Universitas Breslau. Ibunya adalah seorang ibu rumah tangga penganut protestan yang taat dan konservatif, serta memiliki sikap yang puitis dan lembut kebalikan dari ayahnya yang keras dan penuh disiplin ala budaya Prusia. Ibunya meninggal pada saat Gadamer berusia empat tahun karena penyakit diabetes. Walaupun besar dalam keluarga Protestan yang taat, tetapi ia memilih bungkam jika ditanya tentang imannya.[5]
Ayah gadamer memiliki disiplin yang ketat dalam bidang akademisi, semenjak yunior ia menempuh pendidikan dasar dan menengahnya di Holy Gost School dari tahun 1907 sampai 1918, ia menunjukkan minat yang bersebrangan dengan ayahnya. Gadamer lebih tertarik dengan ilmu-ilmu Humaniora, khususnya sastra dan filologi. Setelah itu ia mendaftar di Universitas Breslau, ayahnya ingin Gadamer memasuki fakultas eksak, padahal sejak di pendidikan menengah dia sudah tertarik dengan sastra dan filsafat. Namun, keinginan Gadamer memasuki fakultas non-eksak tetap terwujud, karena bagaimanapun sebagai seorang ilmuwan yang sangat rasional, Johannes mau tak mau harus menerima pendapat anaknya hanya karena ingin dipandang demokratis.[6]
Selama kuliah, Gadamer juga ikut kelompok baca Stefan George yang mengkhususkan diri pada kajian sastra dan pembacaan puisi, terutama karya-karya Stefan George. Di kelompok inilah Gadamer berkenalan dengan seorang gadis yang memiliki minat kesenia yang sangat luas yaitu Frida Kratz (1898-1979). Minat Gadamer pada filsafat mulai tumbuh ketika dia mengikuti kuliah Eugen Kuhnemann berjudul Explication of Kant’s Critique of pure reason sebagai pengantar studi sastra Jerman. Gadamer terpukau dengan retorika sang professor, sehingga dia menyimpulkan adanya hubungan puisi dengan filsafat, bahwa di balik retorika yang indah pastilah terdapat substansi filosofis.[7]
Petualangan intelektual Gadamer di bidang filsafat dimulai di Universitas Breslau. Kemudian, Gadamer pindah ke Marburg mengikuti kepindahan ayahnya ke kota tersebut. Di kota ini, Gadamer belajar filsafat kepada sejumlah filsuf, di antaranya Paul Natorp, Nicolai Hartmann, dan Rudolf Bultmann. Pada tahun 1922, Gadamer berhasil meraih gelar doktor filsafat dengan sebuah disertasi tentang Plato. Beberapa bulan setelah lulus ujian disertasi, dia terjangkit polio yang membuat kakinya pincang seumur hidup. Selama dalam perawatan, Gadamer menghabiskan waktu untuk melahap buku-buku utama filsafat, diantaranya karya-karya Kant dan Husserl. Sesembuhnya dari sakit, dia menikahi Frida Kartz. Pernikahan ini menandai lepasnya Gadamer dari bayang-bayang ayahnya, dan mulai saat itu dia akan didampingi oleh seorang istri yang akan merawatnya. Walaupun pada akhirnya pernikahan ini kandas dengan perceraian tahun 1947, akibat perselingkuhan Frida Gadamer dengan sejawatnya, Warner Krauss.[8]
Sesudah itu, Gadamer mengikuti kuliah Martin Heidegger tahun 1923 di Universitas Freiburg. Bahkan ketika dilanda krisis ekonomi, Gadamer sempat menumpang di Pondok Heidegger. Pada tahun 1927, Heidegger mengusulkan kepada Gadamer untuk membuat Habilitation. Dalam sistem akademis di Jerman, orang yang sudah memiliki gelar doktor filsafat harus membuat tulisan Habilitation sebelum bisa diangkat sebagai dosen di universitas. Di bawah bimbingan Heidegger, akhirnya Gadamer berhasil membuat Habilitation tentang etika dialektis Plato. Akhirnya, Gadamer pun diangkat menjadi dosen pada Universitas Marburg.[9]
Pada periode nasional-sosialisme Hitler, Gadamer tidak melibatkan diri dalam kancah politik. Walaupun demikian, ketika pada tahun 1933 muncul anjuran kepada para profesor dan tenaga pengajar di Jerman supaya menandatangani pernyataan dukungan terhadap Hitler, Gadamer tidak menolaknya. Akhirnya, pada tahun 1936, Gadamer diangkat menjadi profesor di bidang filsafat. Selanjutnya, pada tahun 1939, Gadamer dipanggil ke Universitas Leipzig di Jerman Timur untuk diangkat sebagai guru besar penuh. Setelah selesai Perang Dunia II (1945), kota Leipzig termasuk wilayah yang ada di bawah pengawasan Uni Soviet dan dimasukkan ke dalam wilayah Jerman Timur yang komunis. Berkat keuletannya bekerja sebagai guru besar, akhirnya Gadamer diangkat sebagai dekan fakultas filsafat, untuk selanjutnya diangkat sebagai rektor universitas.[10]
Di bulan April 1949, dia mendapat undangan dari filosof Karl Jasper untuk menggantikan kedudukannya di Universitas Heidelberg. Gadamer pindah ke Heidelberg tahun 1950, karena telah menduduki posisi professor tetap di kampus ini, dan di tahun inilah dia menikahi Kate Lakesburgh. Gadamer menghabiskan sisa hidupnya di kota Heidelberg dan mencurahkan seluruh energinya untuk kehidupan akademis di Universitas Heidelberg. Gadamer mulai di kenal luas ketika menerbitkan buku Truth and Method tahun 1960, sebuah proyek intelektual yang telah dirintisnya sejak awal tahun 50-an. Ketika pension di tahun 1968, Gadamer sudah mendapat nama internasional. Jean Grondin mengilustrasikan kehidupan Gadamer di usia senjanya sebagai “Masa Muda Kedua”, karena justru di masa tua inilah dia memperoleh kesempatan untuk mengabdikan diri pada dunia intelektual tanpa harus dihantui oleh kesibukan politik dan urusan rumah tangga.[11]
Akan tetapi, Gadamer tidak dapat bertahan lama memegang jabatan tersebut. Karena tekanan rezim komunis sehingga membuat penelitian dipersulit, Gadamer hijrah ke Jerman Barat. Pada tahun 1948, Gadamer bekerja di Frankfurt am Main. Selanjutnya, pada tahun 1949, Gadamer menggantikan posisi Karl Jaspers di Universitas Heidelberg. Akhirnya, Heidelberg menjadi tempat yang kondusif bagi karier Gadamer sampai memasuki masa pensiun pada tahun 1968. Setelah pensiun, Gadamer sering mengisi ceramah di Amerika Serikat, Jerman, dan beberapa tempat lain. Walaupun telah memasuki usia lanjut, Gadamer tetap sering mengikuti diskusi-diskusi filosofis dan termasuk salah seorang filsuf yang paling populer di Jerman.
Sampai wafat pada tanggal 13 Maret 2002 di Rumah Sakit Universitas Heidelberg, Gadamer telah menjadi saksi berbagai peristiwa penting abad XX, di antaranya Revolusi Bolshevik di Rusia, dua Perang Dunia, terbelahnya Jerman menjadi dua blok, keruntuhan Tembok Berlin tahun 1989, dan yang paling akhir, peristiwa 11 September 2000. Hanya ada beberapa ringkas catatan dari kehidupan pribadi Gadamer yang sekiranya signifikan bagi pembicaraan hermeneutis, yaitu:
1.      Karena proyek utama yang melambungkan nama Gadamer adalah persoalan kebenaran, maka hal ini pastilah mengundang tanya perihal keyakinan religius Gadamer
2.      Minat Gadamer pada ilmu humaniora secara umum agaknya merupakan antitesis dari minat dan keyakinan ayahnya yang begitu ketat bagaikan rumus-rumus kimia dalam mendidik dia.
3.      Sebagai seorang pengagum Plato, Gadamer adalah pemikir besar yang enak di ajak bercengkerama. Gadamer sering dipandang oleh para kritikus sebagai seorang yang konservatif, karena sikapnya yang sangat terbuka dalam berdialog, serta berfikir pelan dan hati-hati sambil memerhatikan lontaran lawan bicara. Dari sini dapat dilihat bahwa pemikiran hermeneutis Gadamer dalam  Truth and Method memang terwujud ke dalam perilaku sehari-hari.[12]
B.     Karya-karya Gadamer
1.      Truth and Method
2.      Der Anfong der Philosophie. Stuttgart: Reclam, 1996
3.      Das Erbe Europas: Beitrnge. Frankfurt: Suhrkamp, 1989
4.      Uber die Verbongenheit der Gesundheit. Frankfurt: Suhrkamp, 1993
5.      Hermeneutische Entwiirfe. Tubingen: Mohr Siebeck, 2000, dll
C.    Pengertian Epistemologi Hermeneutika Gadamer
Penamaan dari epistemologi hermeneutika terdiri atas dua kata yakni berasal dari kata epistemologi dan hermeneutika. Kata epistemologi berasal dari kata Yunani yaitu episteme yang bermakna pengetahuan.[13] Secara terminologi, epistemologi atau dengan nama lain teori pengetahuan adalah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.[14]
Adapun hermeneutika, berasal dari bahasa Yunani yakni hermeneuin yang berarti menafsirkan. Maka dapat dikatakan bahwa hermeneutika berarti tafsir secara harfiahnya.[15] Secara istilah, hermeneutika didefinisikan sebuah disiplin ilmu atau metode yang diperlukan untuk menafsirkan Kitab Suci Bibel. Menurut Danhauer seperti yang dikutip oleh Inyiak Ridwan Muzir dalam bukunya mengatakan ada dua jenis ilmu yang paling dasar yaitu logika dan hermeneutika. Peran logika adalah menentukan kebenaran klaim pengetahuan dengan membuktikan bagaimana pengetahuan itu diturunkan dari prinsip rasional yang lebih tinggi. Sedangkan untuk mengerti apa sesungguhnya yang dimaksud oleh seseorang, maka diperlukan disiplin ilmu lainnya yakni hermeneutika. Disiplin ilmu ini berperan akan memilah-milah pengertian yang dilekatkan kepada “tanda-tanda” yang seseorang pakai, tidak peduli apa sesungguhnya yang ada dalam pikiran orang tersebut.[16] Hermeneutik adalah ‘usaha untuk beralih dari suatu yang relatif gelap kepada sesuatu yang lebih terang’ atau ‘proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti’.[17]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa epistemologi hermeneutika Gadamer  adalah suatu cara menafsirkan teks-teks  untuk menemukan kebenaran pengatahuan dan penafsirannya tidak terlepas dari unsur-unsur sejarah.
D.    Kritik Gadamer terhadap Sistem Pengetahuan
Secara umum, dunia hermeneutik adalah dunia pemahaman atau penafsiran (verstehen). Dalam perkembangannya, metode pemahaman ini dari generasi ke generasi terus berkembang. Pada tingkat awal, dunia hermeneutik dibuka dengan gagasan Schleiermacher dan Dilthey yang biasa dikenal dengan hermeneutika romantis. Dalam pandangan Schleiermacher dan Dilthey, mengerti atau memahami suatu teks adalah menemukan arti asli teks tersebut atau menampilkan apa yang dimaksud oleh pengarang teks, yakni pikiran, pendapat, visi, perasaan, dan maksud pengarang teks. Oleh karena itu, seorang penafsir harus memiliki pengetahuan yang luas tentang sejarah dan psikologi. Bagi kedua pemikir perintis hermeneutik ini, interpretasi suatu teks merupakan pekerjaan reproduktif. Mencapai arti yang benar dan genuine dari suatu teks adalah kembali kepada apa yang dihayati dan mau dikatakan oleh sang pengarang. Singkatnya, kerja interpretasi adalah kerja rekonstruksi sebuah teks demi mendulang sebuah makna asli.[18] Selain itu, dalam pemikiran Schleiermacher dan Dilthey, seorang interpretator harus sanggup melepaskan diri dari situasi historisnya. Ia seolah-olah dapat “pindah” ke zaman lain. Artinya, seorang interpretator tidak boleh terikat dengan suatu horison historis yang melingkupinya.[19] Tegasnya, ia keluar dari situasi dan kondisi zamannya untuk kemudian melancong ke situasi dan kondisi penulis teks.
Walaupun Gadamer termasuk pengagum Schleiermacher dan Dilthey, dan pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Schleiermacher dan Dilthey, tetapi Gadamer juga banyak memberikan kritik terhadap pemikiran dua tokoh romantik ini. Pertama, Gadamer keberatan dengan pendapat Schleiermacher dan Dilthey yang menerangkan bahwa hermeneutik bertugas menemukan makna asli sebuah teks. Menurut Gadamer, interpretasi tidak sama dengan mengambil suatu teks lalu mencari makna yang dikehendaki oleh pengarang teks tersebut. Bagi Gadamer, arti suatu teks tetap terbuka dan tidak terbatas pada maksud pengarang teks tersebut.[20] Karena itu, interpretasi tidak bersifat reproduktif belaka, tetapi juga produktif.[21]
Kedua, Gadamer juga mengkritik pendapat hermeneutika romantis tentang waktu, yakni bahwa seorang interpretator harus dapat melepaskan diri dari dimensi waktu yang melingkupinya dan berziarah ke dimensi waktu pengarang teks. Menurut Gadamer, kita sebagai interpretator tidak dapat melepaskan diri dari situasi historis di mana kita berada. Arti suatu teks tidak terbatas pada masa lampau waktu teks tersebut ditulis, tetapi juga mempunyai keterbukaan makna untuk masa sekarang dan masa yang akan datang. Oleh karena itu, memahami dan menginterpretasikan suatu teks merupakan tugas yang tidak akan pernah selesai. Setiap zaman memiliki beban tugas untuk menginterpretasikan suatu teks.[22]
Ketiga, Gadamer juga mengkritik secara tajam konsep “tradisi’ dan “prasangka” yang digagas para pengusung hermeneutika romantis. Menurut tradisi hermeneutika romantis, dalam menafsirkan suatu teks, prasangka harus dihindarkan jauh-jauh. Menurut para pemikir hermeneutika romantis, prasangka (prejudice) hanya memiliki arti kurang baik dan bertentangan dengan kebenaran. Gadamer menolak pandangan ini. Menurut Gadamer, dalam memahami suatu teks, kita tidak dapat melepaskan diri dari prasangka. Akan tetapi, bukan berarti interpretasi menjadi suatu usaha yang subjektif dan tidak kritis. Oleh karena itu, kita harus membedakan antara prasangka yang legitim dan prasangka yang tidak legitim, serta antara prasangka yang sah dan prasangka yang tidak sah. Demikian pula, sementara hermeneutika romantis menafikan otoritas suatu tradisi, Gadamer justru mengakuinya. Menurut Gadamer, walaupun kita mengakui otoritas suatu tradisi dan bahkan menjadi bagian dari tradisi, tetapi hal itu tidak akan menghambat pengenalan kita terhadap suatu teks. Sebaliknya, tradisi justru akan membantu kita dalam proses pemahaman.[23]
Selain mengkritisi beberapa konsep hermeneutika romantis yang digagas oleh Schleiermacher dan Dilthey, Gadamer juga mengkritik epistemologi hermeneutika romantis yang cenderung metodologis. Yakni, bahwa ilmu pengetahuan apa pun baru diakui sebagai ilmiah jika memiliki basis empirisme. Dengan pola pikir ini, hermeneutika menjadi bagian dari alam positivisme yang mensyaratkan objektivisme. Oleh karena itu, model hermeneutik yang diusung oleh Schleiermacher dan Dilthey, juga Betti, ini sering juga disebut hermeneutika objektivis. Pandangan ini dibantah oleh Gadamer. Gadamer berpendapat bahwa upaya objektivistik hanya akan menjadi kesia-siaan belaka bagi siapa pun yang akan menafsirkan sebuah teks. Sebab, jurang tradisi antara pengarang dan penafsir tidak mungkin disatukan lagi. Selain itu, penafsir juga tidak dapat dikosongkan dari pengaruh kulturalnya. Oleh karena itu, menurut Gadamer, upaya objektivisme murni dalam hermeneutik hanya akan menjadi kesia-siaan. Hal yang mungkin dilakukan adalah memproduksi makna yang dikandung oleh teks sehingga teks tersebut akan menjadi lebih kaya makna. Gadamer menegaskan bahwa jurang waktu dan jurang tradisi antara pengarang dan penafsir tidak mungkin disatukan. Menurutnya, yang terpenting adalah dialektika atau dialog yang produktif antara masa lalu dan masa kini.
E.     Sistem dan Metode Yang Ditawarkan Gadamer.
Dalam pandangan Gadamer, pemahaman manusia senantiasa merupakan peristiwa historis, dialektik, dan linguistik.[24] Menurut Gadamer, tujuan hermeneutik bukanlah menerapkan berbagai macam aturan baku dan kaku untuk meraih pemahaman yang “benar objektif”, tetapi untuk mendapatkan pemahaman seluas mungkin. Dengan demikian, kunci untuk memahami bukan dengan cara memanipulasi atau menguasai, tetapi dengan partisipasi dan keterbukaan; bukan dengan pengetahuan, tetapi dengan pengalaman; dan bukan dengan metodologi, tetapi dengan dialektika.[25] Dalam proses dialektika, teks dan penafsir menjalani suatu keterbukaan satu sama lain sehingga keduanya saling memberi dan menerima yang kemudian memungkinkan bagi lahirnya pemahaman yang baru.[26] Dalam membangun sistem pengetahuannya ini, Gadamer banyak dipengaruhi oleh pemikiran Hegel. Oleh karena itu, dialektika dan spekulativitas dalam sistem pengetahuan yang dibangun oleh Gadamer merujuk pada pemikiran Hegel.[27]
Dalam proses pemahaman dan interpretasi dengan sistem dialektika ini, Gadamer meniscayakan empat faktor yang tidak boleh diabaikan :
1.      Bildung atau pembentukan jalan pikiran. Dalam kaitannya dengan proses pemahaman atau penafsiran, jika seseorang membaca sebuah teks, maka seluruh pengalaman yang dimiliki oleh orang tersebut akan ikut berperan. Dengan demikian, penafsiran dua orang yang memiliki latar belakang, kebudayaan, usia, dan tingkat pendidikan yang berbeda tidak akan sama. Dalam proses penafsiran, bildung sangat penting. Sebab, tanpa bildung, orang tidak akan dapat memahami ilmu-ilmu tentang hidup atau ilmu-ilmu kemanusiaan. Singkatnya, orang tidak dapat menginterpretasi ilmu-ilmu tersebut dengan caranya sendiri.
2.      Sensus communis atau pertimbangan praktis yang baik atau pandangan yang mendasari komunitas. Istilah ini merujuk pada aspek-aspek sosial atau pergaulan sosial. Para filsuf zaman dulu menyebutnya dengan “kebijaksanaan”. Istilah mudahnya adalah “suara hati”. Misalnya, sejarawan sangat memerlukan sensus communis untuk memahami latar belakang yang mendasari pola sikap manusia.
3.      Pertimbangan, yaitu menggolongkan hal-hal yang khusus atas dasar pandangan tentang yang universal. Pertimbangan merupakan sesuatu yang berhubungan dengan apa yang harus dilakukan. Faktor ini memang sulit untuk dipelajari dan diajarkan. Faktor ini hanya dapat dilakukan sesuai dengan kasus-kasus yang ada. Faktor ini menjadi pembeda antara orang pintar dan orang bodoh. Orang bodoh yang miskin pertimbangan tidak dapat menghimpun kembali apa yang telah dipelajari dan diketahuinya sehingga ia tidak dapat mempergunakan hal-hal tersebut dengan benar.
4.      Taste atau selera, yaitu sikap subjektif yang berhubungan dengan macam-macam rasa atau keseimbangan antara insting pancaindra dan kebebasan intelektual. Gadamer menyamakan selera dengan rasa. Dalam operasionalnya, selera tidak memakai pengetahuan akali. Jika selera menunjukkan reaksi negatif atas sesuatu, kita tidak tahu penyebabnya.[28]
F.     Konstruksi Epistemologis Gadamer
1.      Sumber dan Hakikat Pengetahuan
Menurut Gadamer, sejarah atau sosialitas masyarakat merupakan medium berlangsungnya semua sistem pengetahuan. Sejarah sendiri merupakan sebuah perjalanan tradisi yang ingin membangun visi dan horison kehidupan di masa depan.[29] Di dalam sejarah, setiap orang mengembangkan cara-cara memahami satu sama lain. Mereka mengkombinasikan berbagai makna menjadi satu sistem makna yang general. Dengan demikian, bahasa suatu masyarakat (native language) tidak hanya sebagai simbol yang merepresentasi diri (self), tetapi juga karakter (nature) dan pemikiran atau pandangan masyarakat (worldview, thought, weltanschaung). Bahasa memiliki kekuatan untuk mengungkap dan juga menyembunyikan suatu makna yang dimiliki atau dipahami secara eksklusif oleh komunitas setempat. Oleh karena itu, orang lain yang hendak memahami bahasa atau pemikiran suatu masyarakat harus masuk ke dalam sejarah dan cara membahasa mereka (baca: tradisi mereka).[30]
Singkatnya, kerangka pemikiran (worldview) dan pengetahuan (self-knowledge) manusia dibentuk dan mewujud dalam seluruh proses sejarah. Dari sini dapat disimpulkan bahwa tugas utama hermeneutik adalah memahami teks (baca: sejarah dan tradisi)[31] dan hakikat pengetahuan dalam tradisi hermeneutik filosofis Gadamer adalah pemahaman atau penafsiran (verstehen) terhadap teks tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi sang penafsir.[32]
2.      Alat Pengetahuan
Karena bahasa merupakan the concrete expression of ‘form of life’ or ‘tradition’ (ekspresi kongkret dari kehidupan atau tradisi), maka bahasa menjadi titik sentral dalam proses pemahaman (understanding/verstehen).[33] Menurut Gadamer, “mengerti” tidak mungkin dapat terlaksana tanpa bahasa. Karena “mengerti” bukan saja dilakukan dalam memahami teks-teks masa lampau, tetapi merupakan sikap paling fundamental dalam eksistensi manusia, maka dapat disimpulkan bahwa bahasa mempunyai relevansi ontologis. “Mengerti” sama dengan mengadakan percakapan atau dialog dengan yang ada, suatu percakapan di mana sungguh-sungguh terjadi sesuatu.[34] Gadamer menegaskan bahwa masalah hermeneutik bukan penguasaan yang benar terhadap bahasa, tetapi pemahaman yang tepat terhadap sesuatu yang terjadi melalui media bahasa.[35] Kaitannya dengan proses pemahaman, Gadamer menegaskan hanya melalui bahasalah wujud (baca: makna) bisa disingkapkan.[36]
Berbicara tentang bahasa, Gadamer sering menekankan bahwa bahasa tidak terutama mengekspresikan pemikiran, tetapi mengekspresikan objek itu sendiri. Menurutnya, tidak ada perkataan yang dapat mengungkapkan suatu objek secara tuntas. Hal ini terjadi bukan karena keterbatasan bahasa, tetapi karena keberhinggaan (baca: keluasan) subjek manusia.[37] Selanjutnya, Gadamer juga menjelaskan bahwa bahasa lebih dari sekadar suatu sistem tanda. Sebab, objek dan kata tidak dapat dipisahkan. Di antara keduanya terdapat kesatuan yang begitu erat, sehingga mencari suatu kata sebetulnya tidak lain daripada mencari kata yang seakan-akan melekat pada benda. Demikian pula, bahasa dan pemikiran pun membentuk suatu kesatuan yang tak terpisahkan.[38]


3.      Teori atau Metode Memperoleh Pengetahuan
a.      Teori “Kesadaran Keterpengaruhan oleh Sejarah” (Historically Effected Consciousness)
          Menurut teori ini, pemahaman seorang penafsir ternyata dipengaruhi oleh situasi hermeneutik tertentu yang melingkupinya, baik itu berupa tradisi, kultur, ataupun pengalaman hidup. Oleh karena itu, pada saat menafsirkan sebuah teks, seorang penafsir harus sadar bahwa dia berada pada posisi tertentu yang bisa mempengaruhi pemahamannya terhadap sebuah teks yang sedang ditafsirkannya. Lebih lanjut Gadamer mengatakan, seseorang harus belajar memahami dan mengenali bahwa dalam setiap pemahaman, baik dia sadar atau tidak, pengaruh dari affective history (sejarah yang mempengaruhi seseorang) sangat mengambil peran. Sebagaimana diakui oleh Gadamer, mengatasi problem keterpengaruhan ini memang tidaklah mudah. Pesan dari teori ini adalah bahwa seorang penafsir harus mampu mengatasi subjektivitasnya ketika dia menafsirkan sebuah teks.[39]
b.      Teori “Prapemahaman” (Pre-Understanding)
          Keterpengaruhan oleh situasi hermeneutik atau affective history tertentu membentuk pada diri seorang penafsir apa yang disebut Gadamer dengan istilah pre-understanding atau “prapemahaman” (baca: praanggapan) terhadap teks yang ditafsirkan. Prapemahaman yang merupakan posisi awal penafsir memang pasti dan harus ada ketika ia membaca teks. Gadamer menyatakan bahwa dalam proses pemahaman, prapemahaman selalu memainkan peran. Dalam praktiknya, prapemahaman ini diwarnai oleh tradisi yang berpengaruh, di mana seorang penafsir berada, dan juga diwarnai oleh perkiraan awal (prejudice) yang terbentuk dalam tradisi tersebut.[40]
          Keharusan adanya prapemahaman tersebut, menurut teori ini, dimaksudkan agar seorang penafsir mampu mendialogkannya dengan isi teks yang ditafsirkan. Tanpa prapemahaman, seseorang tidak akan berhasil memahami teks dengan baik. Bahkan, Oliver R. Scholz menyatakan bahwa prapemahaman yang disebutnya dengan istilah “asumsi atau dugaan awal” merupakan “sarana yang tak terelakkan bagi pemahaman yang benar”. Meskipun demikian, menurut Gadamer, prapemahaman harus terbuka untuk dikritisi, direhabilitasi, dan dikoreksi oleh penafsir itu sendiri ketika dia sadar atau mengetahui bahwa prapemahamannya itu tidak sesuai dengan apa yang dimaksud oleh teks yang ditafsirkan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kesalahpahaman terhadap pesan teks. Hasil dari rehabilitasi atau koreksi terhadap prapemahaman ini disebutnya dengan istilah “kesempurnaan prapemahaman”.[41]
c.       Teori “Penggabungan/Asimilasi Horison” (Fusion of Horizons) dan Teori “Lingkaran Hermeneutik” (Hermeneutical Circle)
          Dalam menafsirkan teks, seseorang harus selalu berusaha memperbarui prapemahamannya. Hal ini berkaitan erat dengan teori “penggabungan atau asimilasi horison” (fusion of horizons). Menurut teori ini, proses penafsiran seseorang dipengaruhi oleh dua horison, yakni cakrawala (pengetahuan) atau horison yang ada di dalam teks dan cakrawala (pemahaman) atau horison pembaca. Kedua horison ini selalu hadir dalam setiap proses pemahaman dan penafsiran. Seorang pembaca teks akan memulai pemahaman dengan cakrawala hermeneutiknya. Namun, dia juga memperhatikan bahwa teks yang dia baca mempunyai horisonnya sendiri yang mungkin berbeda dengan horison yang dimiliki pembaca. Dua bentuk horison ini, menurut Gadamer, harus dikomunikasikan, sehingga ketegangan di antara keduanya dapat diatasi. Oleh karena itu, ketika seseorang membaca teks yang muncul pada masa lalu, maka dia harus memperhatikan horison historis di mana teks tersebut muncul (baca: diungkapkan atau ditulis).[42]
          Seorang pembaca teks harus memiliki keterbukaan untuk mengakui adanya horison lain, yakni horison teks yang mungkin berbeda atau bahkan bertentangan dengan horison pembaca. Dalam hal ini, Gadamer menegaskan, “Saya harus membiarkan teks masa lalu berlaku (memberikan informasi tentang sesuatu). Hal ini tidak semata-mata berarti sebuah pengakuan terhadap ‘keberbedaan’ masa lalu, tetapi juga bahwa teks masa lalu mempunyai sesuatu yang harus dikatakan kepadaku.” Intinya, memahami sebuah teks berarti membiarkan teks yang dimaksud berbicara.[43]
             Interaksi di antara dua horison tersebut dinamakan “lingkaran hermeneutik” (hermeneutical circle). Menurut Gadamer, horison pembaca hanya berperan sebagai titik berpijak seseorang dalam memahami teks. Titik pijak pembaca ini hanya merupakan sebuah “pendapat” atau “kemungkinan” bahwa teks berbicara tentang sesuatu. Titik pijak ini tidak boleh dibiarkan memaksa pembaca agar teks harus berbicara sesuai dengan titik pijaknya. Sebaliknya, titik pijak ini justru harus bisa membantu memahami apa yang sebenarnya dimaksud oleh teks. Dalam proses ini terjadi pertemuan antara subjektivitas pembaca dan objektivitas teks, di mana makna objektif teks harus lebih diutamakan oleh pembaca atau penafsir teks.[44]
d.      Teori “Penerapan/Aplikasi” (Application)
          Makna objektif teks harus mendapat perhatian dalam proses pemahaman dan penafsiran. Ketika makna objektif telah dipahami, kemudian apa yang harus dilakukan oleh pembaca atau penafsir teks yang di dalamnya terkandung pesan-pesan yang harus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Di sisi lain, situasi ketika munculnya teks tersebut dan masa ketika seorang penafsir hidup telah jauh berbeda. Menurut Gadamer, ketika seseorang membaca kitab suci, maka selain proses memahami dan menafsirkan, ada satu hal lagi yang dituntut, yakni “penerapan” (application) pesan-pesan atau ajaran-ajaran pada masa ketika teks kitab suci itu ditafsirkan. Pertanyaannya adalah: apakah makna objektif teks tersebut harus terus dipertahankan dan diaplikasikan pada masa ketika seorang penafsir hidup? Menanggapi pertanyaan ini, Gadamer berpendapat bahwa pesan yang harus diaplikasikan pada masa penafsiran bukan makna literal teks, tetapi “makna yang berarti” (meaningfull sense) atau pesan yang lebih berarti daripada sekadar makna literal.[45]
          Intinya, dalam membaca dan mamahami teks-teks historis berlaku proses hermeneutis yang dalam istilah Gadamer disebut effective history.[46] Konsep ini dimaksudkan untuk melihat tiga kerangka waktu yang mengitari wilayah teks-teks historis. Pertama, masa lampau, di mana sebuah teks dilahirkan atau dipublikasikan. Di sini, makna teks bukan hanya milik pengarang, tetapi juga milik setiap orang yang berusaha membaca dan memahaminya. Kedua, masa kini, di mana penafsir datang dengan membawa sejumlah prasangka atau praanggapan. Dengan prasangka ini, penafsir akan berdialog dengan masa lalu sehingga melahirkan makna baru yang sesuai dengan kondisi penafsir. Ketiga, masa depan, di mana di dalamnya terdapat nuansa baru yang produktif.[47]
4.      Teori Kebenaran Pengetahuan
Dalam Truth and Method, Gadamer berusaha melanjutkan dan menyempurnakan gagasan gurunya, Martin Heidegger, tentang keterkaitan antara keberadaan manusia dan kemungkinan pemahaman yang bisa dilakukan. Dalam pandangan Heidegger, yang kemudian diikuti dan disempurnakan oleh Gadamer, hermeneutik adalah penafsiran terhadap esensi (being) yang dalam kenyataannya selalu tampil dalam eksistensi. Dengan demikian, suatu kebenaran tidak lagi ditandai oleh adanya kesesuaian (koherensi) antara konsep teoritis dan realitas objektif (sebagaimana dilakukan oleh kalangan positivisme dengan dalih mencari objektivitas), tetapi oleh tersingkapnya esensi atau hakikat sesuatu. Dan, satu-satunya wahana bagi penampakan being tersebut adalah eksistensi manusia.[48]
5.      Pengujian Kebenaran Pengetahuan
Di atas telah dinyatakan bahwa dalam tradisi hermeneutika filosofis yang digagas oleh Heidegger dan Gadamer, suatu kebenaran tidak lagi ditandai oleh adanya kesesuaian (koherensi) antara konsep teoritis dan realitas objektif, tetapi oleh tersingkapnya esensi atau hakikat sesuatu. Dengan demikian, dalam tradisi hermeneutika filosofis tidak ada konsep pengujian kebenaran lewat media verifikasi dan falsifikasi sebagaimana lazim dilakukan dalam tradisi filsafat positivisme abad pencerahan. Sebab, studi filosofis dalam hermeneutika ala Gadamer lebih menekankan pada masalah interpretasi atau pemahaman (verstehen) daripada masalah kepastian (evidence) dan masalah objektivitas kebenaran.[49]




G.    Relevansi Epistemologi Hermeneutika Gadamer  bagi Ilmu Pendidikan (Islam)
Sumbangan penting pemikiran Gadamer bagi dunia pendidikan.
1.      Dapat digunakan untuk menafsirkan teks al-Qur’an/tafsir Qur’an.
Sebenarnya untuk memahami kandungan al-Qur’an kaum muslimin telah mempunyai ilmu tersendiri yang sudah mapan yaitu ilmu tafsir. Ilmu ini telah digunakan sebagai pembedah al-Qur’an sejak masa awal Islam sampai sekarang. Dewasa ini muncul ilmu yang belum dikenal sebelumnya yaitu hermeneutika sebagai alat bantu untuk memahami al-Qur’an. Penggunaan ilmu ini dalam dunia tafsir adalah hal baru sehingga menimbulkan kontroversi. Dengan demikian perlulah hati-hati dalam implementasinya. Hermeneutika ditempatkan sebagai komplemen, bukan sebagai suplemen dari ilmu tafsir.
2.      Keterbukaan terhadap yang lain. Konsep penafsiran Gadamer adalah meleburnya latar belakang penafsir dalam dunia makna sehingga melahirkan pluralitas penafsiran. Sehingga dalam hal ini perlu keterbukaan terhadap yang lain namun harus saling menghormati dan saling menghargai antara satu dengan yang lainnya.
3.      Tidak fanatik terhadap paham atau mazhab yang dianut. Hal ini bisa dilihat dari sikap Gadamer yang tidak pernah melegitimasi sebuah penafsiran sebagai sesuatu yang benar. Sebab menurut Gadamer, setiap pemahaman dipengaruhi oleh situasi dan kondisi sang penafsir sehingga penafsiran dan pemahaman akan sebuah teks menjadi sangat beragam.
4.      Semangat pendidikan untuk perubahan. Hal ini terinspirasi oleh proses pemahaman dan pembacaan terhadap teks yang menurut Gadamer tidak akan pernah berhenti. Sehingga dalam hal ini perlu ada sebuah pembaruan yang terus-menerus terhadap pengetahuan dan pengetahuan dalam segala bidang akan berkembang seiring dengan perkembangan zaman.



















BAB III
PENUTUP
Bagi Gadamer hakekat hermenutika adalan ontologi dan fenomenologi pemaaman. Gadamer akan membedakannya dari hermeneutika yang selama ini dikenal. Bagi Gadamer filsafat bukanlah tujuan dari hermeneutika filosofis, tetapi filsafat adalah sarananya. Gadamer mengatakan bahwa pemahaman bersifat historikal. Dengan demikian pemahaman dari manusia itu sendiri dikuasai oleh sejarah. Sejarah dan masa lalu adalah suatu struktur dengan pemahaman juga pengetahuan, pikiran kita. Menurut Gadamer, pemahaman selalu dapat diterapkan pada keadaan kita pada saat ini, meskipun pemahaman itu berhubungan dengan peristiwa sejarah, dialektik dan bahasa. Sehingga pemahaman selalu bersifat subyektif karena selalu dalam keadaan tertentu. Oleh karena itu Gadamer menekankan, bahwa mengerti mempunyai struktur lingkaran. Maksudnya, agar seseorang dapat mengerti, maka sudah harus ada pengertian dan untuk mencapai pengertian.
Dalam hal ini hermeneutika Gadamer menjadi bagian penting dalam memaknai realitas sosial. Sehingga bahasa tetap menjadi bagian penting dalam membongkar makna bukan hanya terbatas pada rekonstruksi sosial seperti yang disampaikan Hebermas. Bahasa sebagai alat membenturkan teks, tradisi, simbol, dengan realitas sosial. Jadi, proses memaknai perlu melalui pendekatan komprehensif dan ini menjadi ciri khas dalam ilmu hermeneutika. Hermeneutika diposisikan sebagai komplemen bukan sebagai suplemen dalam memaknai suatu teks.

DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar,  Amsal. 2009.  Filsafat Ilmu, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Bertens, K.. 2002. Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia.
Chariri, Anis. Philosophy of Social Science: Interpretative Sociology, dalam http://www.anischariri.multiply.com, 7 Januari 2014.
Fakhruddin Faiz. 2005.  Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial. Yogyakarta: eLSAQ Press. 
Hidayat, Komaruddin, 1996. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik Jakarta: Paramadina.
Husaini , Adian dan Abdurrahman al-Baghdadi,  2007. Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani.
Inyiak Ridwan Muzir, 2010. Hermeneutika filosofis Hans Georg Gadamer Yogyakarta: ar-Ruzz.
Maspaitella, Elifas Tomix . Hermeneutika Gadamer dalam Konteks Membahasa Masyarakat  dalam http://www.kutikata.blogspot.com, diakses tanggal 7 Januari 2014.
Mulyono ,Edi,  2003. Hermeneutika Linguistik-Dialektis. Yogyakarta: IRCiSoD.
Muslih, Mohammad. 2005. Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar.
Muzir, Inyiak Ridwan. 2008.  Hermeneutika Filosofis Hans-George Gadamer, disadur dari buku Truth and Method karangan Hans-George Gadamer. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Palmer , Richard E. 2005. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj. Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed . Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Smith, Linda dan William Reaper, 2000.  A Beginner’s Guide to Ideas, diterjemahkan oleh P. Hardono Hadi dengan judul Ide-ide, Filsafat dan Agama, Dulu dan Sekarang. Yogyakarta: Kanisius.
Sumaryono, [1] E.  1999. Hermeutik: Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius.
Syahiron Syamsuddin, Integrasi Hermeneutika Hans-Georg Gadamer ke dalam Ilmu Tafsir: Sebuah Proyek Pengembangan Metode Pembacaan Al-Qur’an pada Masa Kontemporer, Makalah pada Annual Conference Islamic Studies (ACIS) yang dilaksanakan oleh Ditpertais Departeman Agama RI, Bandung, 26-30 November 2006.
Zarkasyi, Hamid Fahmy.  2006. Hermeneutika Sebagai Produk Pandangan Hidup, dalam Kumpulan Makalah Workshop Pemikiran Islam Kontemporer: IKPM cabang Kairo
            






[1] Hamid Fahmy Zarkasyi, Hermeneutika Sebagai Produk Pandangan Hidup, dalam Kumpulan Makalah Workshop Pemikiran Islam Kontemporer, IKPM cabang Kairo, 2006, hlm. 8
[2] Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), hlm. 8-11
[3] Inyiak Ridwan Muzir, Hermeneutika filosofis Hans Georg Gadamer,(Jogjakarta: ar-Ruzz, 2010),  hlm. 37-38
[4] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia, 2002),  hlm. 254
[5] Inyiak Ridwan Muzir, Op.cit, hlm. 40
[6] Ibid,  hlm. 40-41
[7] Ibid,, hlm. 42-43
[8] Ibid,, hlm. 43
[9] K. Bertens, Op.cit, 254-255
[10] K. Bertens, Op.cit , 255-256.
[11] Inyiak Ridwan Muzir, Op.cit, hlm. 45-46
[12] Ibid, hlm. 46-47
[13] Linda Smith dan William Reaper, A Beginner’s Guide to Ideas, diterjemahkan oleh P. Hardono Hadi dengan judul Ide-ide, Filsafat dan Agama, Dulu dan Sekarang, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), cet. ke 1, hlm. 10.
[14] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2009), cet. ke 7, hlm. 148.
[15] Adian Husaini dan Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani, 2007), cet. ke 1, hlm. 7.
[16] Inyiak Ridwan Muzir, Op.cit. hlm. 65-67.
[17] E.Sumaryono, Hermeutik: Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1995). hlm. 23.
[18] K. Bertens, Op.cit.  hlm. 256-257
[19] Ibid, hlm. 262
[20] E. Sumaryono, Op.cit. hlm. 109
[21] K. Bertens, Op.cit. hlm. 263.
[22] Ibid., hlm. 264
[23] Ibid.,  hlm. 264-265
[24] Richard E. Palmer, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj. Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005),  hlm. 255
[25] Richard E. Palmer, Op.cit. hlm. 255
[26] Edi Mulyono, “Hermeneutika Linguistik-Dialektis, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), hlm. 142
[27] Richard E. Palmer, Op.cit. hlm. 257.
[28] E. Sumaryono, Op.cit., hlm. 71-77 dan 84
[29] Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 21-22.
[30] Elifas Tomix Maspaitella, “Hermeneutika Gadamer dalam Konteks Membahasa Masyarakat”, dalam http://www.kutikata.blogspot.com, diakses tanggal 7 Januari 2014
[31] E. Sumaryono. Op.cit, hlm. 80
[32] Mohammad Muslih, Op.cit hlm. 141
[33] Anis Chariri, “Philosophy of Social Science: Interpretative Sociology”, dalam http://www.anischariri.multiply.com, 7 Januari 2014, hlm. 25
[34] K. Bertens, Op.cit, hlm. 265
[35] Hans-Georg Gadamer, Op.cit Metode, hlm. 467
[36] Edi Mulyono, “Op.cit”, hlm. 140
[37] K. Bertens, Op.cit, hlm. 265-266
[38] Ibid., hlm. 266
[39] Syahiron Syamsuddin, “Integrasi Hermeneutika Hans-Georg Gadamer ke dalam Ilmu Tafsir: Sebuah Proyek Pengembangan Metode Pembacaan Al-Qur’an pada Masa Kontemporer”, Makalah pada Annual Conference Islamic Studies (ACIS) yang dilaksanakan oleh Ditpertais Departeman Agama RI, Bandung, 26-30 November 2006, hlm. 6-7
[40] Ibid., hlm. 7
[41] Ibid.
[42] Ibid., hlm. 8
[43] Ibid
[44] Ibid., hlm. 8-9
[45] Ibid., hlm. 9
[46] Komaruddin Hidayat. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneuti,k (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 22
[47] Ibid.,
[48] Ibid., hlm. 140-141.
[49] Mohammad Muslih, Op.cit.  hlm. 141

2 komentar :