EPISTEMOLOGI
HERMENEUTIKA GADAMER DAN RELEVANSINYA
BAGI ILMU PENDIDIKAN (ISLAM)
Disusun guna
memenuhi tugas ujian akhir semester mata kuliah
“Filsafat Ilmu
: Topik-Topik Epistemologi ”
Dosen Pengampu
: Dr. Shofiyullah, M. Ag
Disusun
oleh :
NAMA :
ANA DWI WAHYUNI
NIM : 1320411111
PAI
MANDIRI A
PRODI
PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hermeneutika
adalah suatu tindakan penafsiran untuk memahami suatu makna teks baik ilmu
agama ataupun bukan ilmu agama. Berkembangnya hermeneutika sebagai bagian dari
upaya memahami karya manusia, setidaknya telah membangun kesadaran ilmiah bahwa: penafsiran bukanlah hal sederhana Metode yang awalnya menempatkan
teks sebagai obyek sebagaimana layaknya obyek dalam science, dinilai telah mereduksi makna
teks dan menempatkan teks sebagai eksistensi yang terpisah dari realita.
Sejauh ini,
metode hermeneutika telah banyak mempengaruhi daya pikir serta kebenaran yang
ditemukan. Namun, metode ini masih menjadi kontroversi karena hermeneutika
adalah pemikiran Barat sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa hermeneutika dapat
berdampak negative bagi perkembangan ilmu keislaman.
Walaupun
demikian hermeneutika juga berdampak positif bagi ilmu pengetauan (ilmu
keislaman) khususnya ilmu al-Qur’an. Epistemologi hermeneutika berfungsi untuk
meluruskan penilian teradap metode ini yaitu sebagai cara baru memaami ilmu
pengetauan.
Gadamer menegaskan bahwa pemahaman adalah persoalan ontologis. Ia
tidak menganggap hermeneutika sebagai metode, sebab baginya pemahaman yang
benar adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis bukan metodologis.
Artinya kebenaran dapat dicapai bukan melalui metode tapi melalui dialektika,
dimana lebih banyak pertanyaan dapat diajukan. Dan ini disebut filsafat praktis.[1]
Satu titik
tolak yang perlu dicatat adala bahwa pemikiran Gadamer merupakan titik penting
yang mengalikan kajian hermeneutika dari ruang epistemologis menjadi ontologis.
Ia menolak hermeneutika sebagai metode, sementara metode justru merintangi atau
menghambat kebenaran karena upaya pencarian kebenaran menjadi titik luwes dan
terbatas karena terikat metode.
Selain itu, proses hermeneutik pun dari waktu ke waktu semakin
berkembang mengikuti alur dialektika manusia yang semakin kompleks. Menurut
telaah Fakhruddin Faiz, dalam perkembangannya, hermeneutik memiliki tiga model,
yaitu hermeneutik sebagai cara untuk memahami atau hermeneutika teoritis,
hermeneutik sebagai cara untuk memahami pemahaman atau hermeneutika filosofis,
hermeneutik sebagai cara untuk mengkritisi pemahaman atau hermeneutika kritis.[2]
Namun dalam makalah ini yang akan
dibahas adalah
tentang epistemologi hermeneutik Hans-Georg Gadamer yang masuk dalam kategori
hermeneutika filosofis. Dengan demikian, makalah ini dapat menggambarkan
pemikiran hermeneutika dalam pikiran pembaca dan dapat memahami kajian
hermeneutika dalam kajian Islam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimamana riwayat hidup Gadamer ?
2.
Apa saja karya-karya dari Gadamer ?
3.
Apa pengertian epistemologi hermeneutika
Gadamer?
4.
Bagaimana kritik Gadamer teradap sistem
pengetahuan?
5.
Apa saja sistem dan metode yang ditawarkan
Gadamer?
6.
Bagaimana konstruksi epistemologis Gadamer?
7.
Bagaimana relevansi epistemologi hermeneutika Gadamer bagi Ilmu Pendidikan (Islam)?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui riwayat hidup Gadamer.
2.
Untuk mengetahui karya-karya dari Gadamer.
3.
Untuk mengetahui pengertian epistemologi
hermeneutika Gadamer.
4.
Untuk mengetahui kritik Gadamer teradap sistem
pengetahuan.
5.
Untuk mengetahui sistem dan metode yang
ditawarkan Gadamer.
6.
Untuk mengetahui konstruksi epistemologis Gadamer.
7.
Untuk mengetahui relevansi epistemologi
hermeneutika Gadamer bagi Ilmu Pendidikan
(Islam).
D.
Manfaat
Pembaca dapat memahami tentang kajian
hermeneutika Gadamer sehingga dapat mengaplikasikan dalam penafsiran suatu teks
baik ilmu agama (ilmu tafsir al-Qur’an ) ataupun bukan ilmu agama untuk mencari
suatu makna teks tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kehidupan
Gadamer
Hans Georg Gadamer merupakan salah satu tokoh
yang sangat terkenal, diantara para tokoh filsafat hermeneutik. Hans Georg
Gadamer dilahirkan di kota Breslau pada 11 Februari 1900.[3]
Ketertarikan Gadamer pada filsafat sempat ditentang oleh ayahnya yang
berprofesi sebagai seorang profesor kimia di sebuah universitas. Ayahnya
dianggap sebagai ahli terpandang dibidangnya. Menurut ayah Gadamer, filsafat,
kesusastraan, dan ilmu-ilmu humaniora pada umumnya bukan merupakan ilmu
pengetahuan yang serius. Akan tetapi, Gadamer tidak mendengar perkataan
ayahnya. Ia berpegang teguh pada pilihannya untuk memperdalam filsafat. Tetapi
sayang, sang ayah yang tidak merestui pilihan sang anak tidak sempat
menyaksikan keberhasilan Gadamer sebagai seorang filsuf, karena sudah meninggal
pada tahun 1928.[4]
Gadamer terlahir sebagai anak kedua di tengah
keluarga pasangan Emma Caroline Johanna Gewiese (1869-1904) dan Dr. Johannes
Gadamer (1867-1928) di kota Marburg, sebuah kota di bagian selatan Jerman.
Sejak usia dua tahun, ia pindah ke kota Breslau (sekarang dikenal dengan nama
Wroclau,Polandia) karena ayahnya diminta jadi profesor luar biasa di
Universitas Breslau. Ibunya adalah seorang ibu rumah tangga penganut protestan
yang taat dan konservatif, serta memiliki sikap yang puitis dan lembut
kebalikan dari ayahnya yang keras dan penuh disiplin ala budaya Prusia.
Ibunya meninggal pada saat Gadamer berusia empat tahun karena penyakit
diabetes. Walaupun besar dalam keluarga Protestan yang taat, tetapi ia memilih
bungkam jika ditanya tentang imannya.[5]
Ayah gadamer memiliki disiplin yang ketat dalam
bidang akademisi, semenjak yunior ia menempuh pendidikan dasar dan menengahnya
di Holy Gost School dari tahun 1907 sampai 1918, ia menunjukkan minat yang
bersebrangan dengan ayahnya. Gadamer lebih tertarik dengan ilmu-ilmu Humaniora,
khususnya sastra dan filologi. Setelah itu ia mendaftar di Universitas Breslau,
ayahnya ingin Gadamer memasuki fakultas eksak, padahal sejak di pendidikan
menengah dia sudah tertarik dengan sastra dan filsafat. Namun, keinginan
Gadamer memasuki fakultas non-eksak tetap terwujud, karena bagaimanapun sebagai
seorang ilmuwan yang sangat rasional, Johannes mau tak mau harus menerima
pendapat anaknya hanya karena ingin dipandang demokratis.[6]
Selama kuliah, Gadamer juga ikut kelompok baca
Stefan George yang mengkhususkan diri pada kajian sastra dan pembacaan puisi,
terutama karya-karya Stefan George. Di kelompok inilah Gadamer berkenalan
dengan seorang gadis yang memiliki minat kesenia yang sangat luas yaitu Frida
Kratz (1898-1979). Minat Gadamer pada filsafat mulai tumbuh ketika dia
mengikuti kuliah Eugen Kuhnemann berjudul Explication of Kant’s Critique of
pure reason sebagai pengantar studi sastra Jerman. Gadamer terpukau dengan
retorika sang professor, sehingga dia menyimpulkan adanya hubungan puisi dengan
filsafat, bahwa di balik retorika yang indah pastilah terdapat substansi
filosofis.[7]
Petualangan intelektual Gadamer di bidang
filsafat dimulai di Universitas Breslau. Kemudian, Gadamer pindah ke Marburg
mengikuti kepindahan ayahnya ke kota tersebut. Di kota ini, Gadamer belajar
filsafat kepada sejumlah filsuf, di antaranya Paul Natorp, Nicolai Hartmann,
dan Rudolf Bultmann. Pada tahun 1922, Gadamer berhasil meraih gelar doktor
filsafat dengan sebuah disertasi tentang Plato. Beberapa bulan setelah lulus
ujian disertasi, dia terjangkit polio yang membuat kakinya pincang seumur
hidup. Selama dalam perawatan, Gadamer menghabiskan waktu untuk melahap buku-buku
utama filsafat, diantaranya karya-karya Kant dan Husserl. Sesembuhnya dari
sakit, dia menikahi Frida Kartz. Pernikahan ini menandai lepasnya Gadamer dari
bayang-bayang ayahnya, dan mulai saat itu dia akan didampingi oleh seorang
istri yang akan merawatnya. Walaupun pada akhirnya pernikahan ini kandas dengan
perceraian tahun 1947, akibat perselingkuhan Frida Gadamer dengan sejawatnya,
Warner Krauss.[8]
Sesudah itu, Gadamer mengikuti kuliah Martin
Heidegger tahun 1923 di Universitas Freiburg. Bahkan ketika dilanda krisis
ekonomi, Gadamer sempat menumpang di Pondok Heidegger. Pada tahun 1927,
Heidegger mengusulkan kepada Gadamer untuk membuat Habilitation. Dalam
sistem akademis di Jerman, orang yang sudah memiliki gelar doktor filsafat
harus membuat tulisan Habilitation sebelum bisa diangkat sebagai dosen
di universitas. Di bawah bimbingan Heidegger, akhirnya Gadamer berhasil membuat
Habilitation tentang etika dialektis Plato. Akhirnya, Gadamer pun
diangkat menjadi dosen pada Universitas Marburg.[9]
Pada periode nasional-sosialisme Hitler,
Gadamer tidak melibatkan diri dalam kancah politik. Walaupun demikian, ketika
pada tahun 1933 muncul anjuran kepada para profesor dan tenaga pengajar di
Jerman supaya menandatangani pernyataan dukungan terhadap Hitler, Gadamer tidak
menolaknya. Akhirnya, pada tahun 1936, Gadamer diangkat menjadi profesor di
bidang filsafat. Selanjutnya, pada tahun 1939, Gadamer dipanggil ke Universitas
Leipzig di Jerman Timur untuk diangkat sebagai guru besar penuh. Setelah
selesai Perang Dunia II (1945), kota Leipzig termasuk wilayah yang ada di bawah
pengawasan Uni Soviet dan dimasukkan ke dalam wilayah Jerman Timur yang
komunis. Berkat keuletannya bekerja sebagai guru besar, akhirnya Gadamer
diangkat sebagai dekan fakultas filsafat, untuk selanjutnya diangkat sebagai
rektor universitas.[10]
Di bulan April 1949, dia mendapat undangan dari
filosof Karl Jasper untuk menggantikan kedudukannya di Universitas Heidelberg.
Gadamer pindah ke Heidelberg tahun 1950, karena telah menduduki posisi
professor tetap di kampus ini, dan di tahun inilah dia menikahi Kate
Lakesburgh. Gadamer menghabiskan sisa hidupnya di kota Heidelberg dan
mencurahkan seluruh energinya untuk kehidupan akademis di Universitas
Heidelberg. Gadamer mulai di kenal luas ketika menerbitkan buku Truth and
Method tahun 1960, sebuah proyek intelektual yang telah dirintisnya sejak
awal tahun 50-an. Ketika pension di tahun 1968, Gadamer sudah mendapat nama
internasional. Jean Grondin mengilustrasikan kehidupan Gadamer di usia senjanya
sebagai “Masa Muda Kedua”, karena justru di masa tua inilah dia memperoleh
kesempatan untuk mengabdikan diri pada dunia intelektual tanpa harus dihantui
oleh kesibukan politik dan urusan rumah tangga.[11]
Akan tetapi, Gadamer tidak dapat bertahan lama
memegang jabatan tersebut. Karena tekanan rezim komunis sehingga membuat
penelitian dipersulit, Gadamer hijrah ke Jerman Barat. Pada tahun 1948, Gadamer
bekerja di Frankfurt am Main. Selanjutnya, pada tahun 1949, Gadamer
menggantikan posisi Karl Jaspers di Universitas Heidelberg. Akhirnya,
Heidelberg menjadi tempat yang kondusif bagi karier Gadamer sampai memasuki
masa pensiun pada tahun 1968. Setelah pensiun, Gadamer sering mengisi ceramah
di Amerika Serikat, Jerman, dan beberapa tempat lain. Walaupun telah memasuki
usia lanjut, Gadamer tetap sering mengikuti diskusi-diskusi filosofis dan
termasuk salah seorang filsuf yang paling populer di Jerman.
Sampai wafat pada tanggal 13 Maret 2002 di
Rumah Sakit Universitas Heidelberg, Gadamer telah menjadi saksi berbagai
peristiwa penting abad XX, di antaranya Revolusi Bolshevik di Rusia, dua Perang
Dunia, terbelahnya Jerman menjadi dua blok, keruntuhan Tembok Berlin tahun
1989, dan yang paling akhir, peristiwa 11 September 2000. Hanya ada beberapa
ringkas catatan dari kehidupan pribadi Gadamer yang sekiranya signifikan bagi
pembicaraan hermeneutis, yaitu:
1.
Karena proyek utama yang melambungkan nama
Gadamer adalah persoalan kebenaran, maka hal ini pastilah mengundang tanya
perihal keyakinan religius Gadamer
2.
Minat Gadamer pada ilmu humaniora secara umum
agaknya merupakan antitesis dari minat dan keyakinan ayahnya yang begitu ketat
bagaikan rumus-rumus kimia dalam mendidik dia.
3.
Sebagai seorang pengagum Plato, Gadamer adalah
pemikir besar yang enak di ajak bercengkerama. Gadamer sering dipandang oleh
para kritikus sebagai seorang yang konservatif, karena sikapnya yang sangat
terbuka dalam berdialog, serta berfikir pelan dan hati-hati sambil memerhatikan
lontaran lawan bicara. Dari sini dapat dilihat bahwa pemikiran hermeneutis
Gadamer dalam Truth and Method memang terwujud ke dalam perilaku
sehari-hari.[12]
B.
Karya-karya
Gadamer
1.
Truth and Method
2.
Der Anfong der Philosophie. Stuttgart: Reclam, 1996
3.
Das Erbe Europas: Beitrnge. Frankfurt: Suhrkamp, 1989
4.
Uber die Verbongenheit der Gesundheit. Frankfurt: Suhrkamp, 1993
5.
Hermeneutische Entwiirfe. Tubingen: Mohr Siebeck, 2000, dll
C.
Pengertian
Epistemologi Hermeneutika Gadamer
Penamaan dari epistemologi hermeneutika terdiri
atas dua kata yakni berasal dari kata epistemologi dan hermeneutika. Kata
epistemologi berasal dari kata Yunani yaitu episteme yang bermakna
pengetahuan.[13]
Secara terminologi, epistemologi atau dengan nama lain teori pengetahuan adalah
cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan,
pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas
pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.[14]
Adapun hermeneutika, berasal dari bahasa Yunani
yakni hermeneuin yang berarti menafsirkan. Maka dapat dikatakan bahwa
hermeneutika berarti tafsir secara harfiahnya.[15]
Secara istilah, hermeneutika didefinisikan sebuah disiplin ilmu atau
metode yang diperlukan untuk menafsirkan Kitab Suci Bibel. Menurut Danhauer
seperti yang dikutip oleh Inyiak Ridwan Muzir dalam bukunya mengatakan ada dua
jenis ilmu yang paling dasar yaitu logika dan hermeneutika. Peran logika adalah
menentukan kebenaran klaim pengetahuan dengan membuktikan bagaimana pengetahuan
itu diturunkan dari prinsip rasional yang lebih tinggi. Sedangkan untuk
mengerti apa sesungguhnya yang dimaksud oleh seseorang, maka diperlukan
disiplin ilmu lainnya yakni hermeneutika. Disiplin ilmu ini berperan akan
memilah-milah pengertian yang dilekatkan kepada “tanda-tanda” yang seseorang
pakai, tidak peduli apa sesungguhnya yang ada dalam pikiran orang tersebut.[16]
Hermeneutik
adalah ‘usaha untuk beralih dari suatu yang relatif gelap kepada sesuatu yang
lebih terang’ atau ‘proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi
mengerti’.[17]
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa epistemologi hermeneutika Gadamer adalah suatu cara menafsirkan teks-teks untuk menemukan kebenaran pengatahuan dan
penafsirannya tidak terlepas dari unsur-unsur sejarah.
D.
Kritik Gadamer
terhadap Sistem Pengetahuan
Secara umum,
dunia hermeneutik adalah dunia pemahaman atau penafsiran (verstehen).
Dalam perkembangannya, metode pemahaman ini dari generasi ke generasi terus
berkembang. Pada tingkat awal, dunia hermeneutik dibuka dengan gagasan
Schleiermacher dan Dilthey yang biasa dikenal dengan hermeneutika romantis. Dalam pandangan Schleiermacher dan Dilthey, mengerti
atau memahami suatu teks adalah menemukan arti asli teks tersebut atau
menampilkan apa yang dimaksud oleh pengarang teks, yakni pikiran, pendapat,
visi, perasaan, dan maksud pengarang teks. Oleh karena itu, seorang penafsir
harus memiliki pengetahuan yang luas tentang sejarah dan psikologi. Bagi kedua
pemikir perintis hermeneutik ini, interpretasi suatu teks merupakan pekerjaan
reproduktif. Mencapai arti yang benar dan genuine dari suatu teks adalah
kembali kepada apa yang dihayati dan mau dikatakan oleh sang pengarang.
Singkatnya, kerja interpretasi adalah kerja rekonstruksi sebuah teks demi
mendulang sebuah makna asli.[18]
Selain itu, dalam pemikiran Schleiermacher dan Dilthey, seorang interpretator
harus sanggup melepaskan diri dari situasi historisnya. Ia seolah-olah dapat
“pindah” ke zaman lain. Artinya, seorang interpretator tidak boleh terikat
dengan suatu horison historis yang melingkupinya.[19]
Tegasnya, ia keluar dari situasi dan kondisi zamannya untuk kemudian melancong
ke situasi dan kondisi penulis teks.
Walaupun
Gadamer termasuk pengagum Schleiermacher dan Dilthey, dan pemikirannya banyak
dipengaruhi oleh Schleiermacher dan Dilthey, tetapi Gadamer juga banyak
memberikan kritik terhadap pemikiran dua tokoh romantik ini. Pertama,
Gadamer keberatan dengan pendapat Schleiermacher dan Dilthey yang menerangkan
bahwa hermeneutik bertugas menemukan makna asli sebuah teks. Menurut Gadamer,
interpretasi tidak sama dengan mengambil suatu teks lalu mencari makna yang
dikehendaki oleh pengarang teks tersebut. Bagi Gadamer, arti suatu teks tetap
terbuka dan tidak terbatas pada maksud pengarang teks tersebut.[20]
Karena itu, interpretasi tidak bersifat reproduktif belaka, tetapi juga
produktif.[21]
Kedua, Gadamer juga
mengkritik pendapat hermeneutika romantis tentang waktu, yakni bahwa seorang
interpretator harus dapat melepaskan diri dari dimensi waktu yang melingkupinya
dan berziarah ke dimensi waktu pengarang teks. Menurut Gadamer, kita sebagai
interpretator tidak dapat melepaskan diri dari situasi historis di mana kita
berada. Arti suatu teks tidak terbatas pada masa lampau waktu teks tersebut
ditulis, tetapi juga mempunyai keterbukaan makna untuk masa sekarang dan masa
yang akan datang. Oleh karena itu, memahami dan menginterpretasikan suatu teks
merupakan tugas yang tidak akan pernah selesai. Setiap zaman memiliki beban
tugas untuk menginterpretasikan suatu teks.[22]
Ketiga, Gadamer juga
mengkritik secara tajam konsep “tradisi’ dan “prasangka” yang digagas para
pengusung hermeneutika romantis. Menurut tradisi hermeneutika romantis, dalam
menafsirkan suatu teks, prasangka harus dihindarkan jauh-jauh. Menurut para
pemikir hermeneutika romantis, prasangka (prejudice) hanya memiliki arti
kurang baik dan bertentangan dengan kebenaran. Gadamer menolak pandangan ini.
Menurut Gadamer, dalam memahami suatu teks, kita tidak dapat melepaskan diri
dari prasangka. Akan tetapi, bukan berarti interpretasi menjadi suatu usaha
yang subjektif dan tidak kritis. Oleh karena itu, kita harus membedakan antara
prasangka yang legitim dan prasangka yang tidak legitim, serta antara prasangka
yang sah dan prasangka yang tidak sah. Demikian pula, sementara hermeneutika
romantis menafikan otoritas suatu tradisi, Gadamer justru mengakuinya. Menurut
Gadamer, walaupun kita mengakui otoritas suatu tradisi dan bahkan menjadi
bagian dari tradisi, tetapi hal itu tidak akan menghambat pengenalan kita
terhadap suatu teks. Sebaliknya, tradisi justru akan membantu kita dalam proses
pemahaman.[23]
Selain
mengkritisi beberapa konsep hermeneutika romantis yang digagas oleh
Schleiermacher dan Dilthey, Gadamer juga mengkritik epistemologi hermeneutika
romantis yang cenderung metodologis. Yakni, bahwa ilmu pengetahuan apa pun baru
diakui sebagai ilmiah jika memiliki basis empirisme. Dengan pola pikir ini,
hermeneutika menjadi bagian dari alam positivisme yang mensyaratkan
objektivisme. Oleh karena itu, model hermeneutik yang diusung oleh
Schleiermacher dan Dilthey, juga Betti, ini sering juga disebut hermeneutika
objektivis. Pandangan ini dibantah oleh Gadamer. Gadamer berpendapat bahwa
upaya objektivistik hanya akan menjadi kesia-siaan belaka bagi siapa pun yang
akan menafsirkan sebuah teks. Sebab, jurang tradisi antara pengarang dan
penafsir tidak mungkin disatukan lagi. Selain itu, penafsir juga tidak dapat
dikosongkan dari pengaruh kulturalnya. Oleh karena itu, menurut Gadamer, upaya
objektivisme murni dalam hermeneutik hanya akan menjadi kesia-siaan. Hal yang
mungkin dilakukan adalah memproduksi makna yang dikandung oleh teks sehingga
teks tersebut akan menjadi lebih kaya makna. Gadamer menegaskan bahwa jurang
waktu dan jurang tradisi antara pengarang dan penafsir tidak mungkin disatukan.
Menurutnya, yang terpenting adalah dialektika atau dialog yang produktif antara
masa lalu dan masa kini.
E.
Sistem dan
Metode Yang Ditawarkan Gadamer.
Dalam pandangan Gadamer, pemahaman manusia senantiasa merupakan
peristiwa historis, dialektik, dan linguistik.[24]
Menurut Gadamer, tujuan hermeneutik bukanlah menerapkan berbagai macam aturan
baku dan kaku untuk meraih pemahaman yang “benar objektif”, tetapi untuk
mendapatkan pemahaman seluas mungkin. Dengan demikian, kunci untuk memahami
bukan dengan cara memanipulasi atau menguasai, tetapi dengan partisipasi dan
keterbukaan; bukan dengan pengetahuan, tetapi dengan pengalaman; dan bukan
dengan metodologi, tetapi dengan dialektika.[25]
Dalam proses dialektika, teks dan penafsir menjalani suatu keterbukaan satu
sama lain sehingga keduanya saling memberi dan menerima yang kemudian memungkinkan
bagi lahirnya pemahaman yang baru.[26]
Dalam membangun sistem pengetahuannya ini, Gadamer banyak dipengaruhi
oleh pemikiran Hegel. Oleh karena itu, dialektika dan spekulativitas dalam
sistem pengetahuan yang dibangun oleh Gadamer merujuk pada pemikiran Hegel.[27]
Dalam proses pemahaman dan interpretasi dengan sistem dialektika
ini, Gadamer meniscayakan empat faktor yang tidak boleh diabaikan :
1. Bildung atau
pembentukan jalan pikiran. Dalam kaitannya dengan proses pemahaman atau
penafsiran, jika seseorang membaca sebuah teks, maka seluruh pengalaman yang
dimiliki oleh orang tersebut akan ikut berperan. Dengan demikian, penafsiran
dua orang yang memiliki latar belakang, kebudayaan, usia, dan tingkat
pendidikan yang berbeda tidak akan sama. Dalam proses penafsiran, bildung sangat
penting. Sebab, tanpa bildung, orang tidak akan dapat
memahami ilmu-ilmu tentang hidup atau ilmu-ilmu kemanusiaan. Singkatnya, orang
tidak dapat menginterpretasi ilmu-ilmu tersebut dengan caranya sendiri.
2. Sensus communis atau pertimbangan praktis yang baik atau pandangan yang mendasari
komunitas. Istilah ini merujuk pada aspek-aspek sosial atau pergaulan sosial.
Para filsuf zaman dulu menyebutnya dengan “kebijaksanaan”. Istilah mudahnya
adalah “suara hati”. Misalnya, sejarawan sangat memerlukan sensus
communis untuk memahami latar belakang yang mendasari pola sikap
manusia.
3. Pertimbangan, yaitu menggolongkan hal-hal yang khusus atas dasar
pandangan tentang yang universal. Pertimbangan merupakan sesuatu yang
berhubungan dengan apa yang harus dilakukan. Faktor ini memang sulit untuk
dipelajari dan diajarkan. Faktor ini hanya dapat dilakukan sesuai dengan
kasus-kasus yang ada. Faktor ini menjadi pembeda antara orang pintar dan orang
bodoh. Orang bodoh yang miskin pertimbangan tidak dapat menghimpun kembali apa
yang telah dipelajari dan diketahuinya sehingga ia tidak dapat mempergunakan
hal-hal tersebut dengan benar.
4. Taste atau
selera, yaitu sikap subjektif yang berhubungan dengan macam-macam rasa atau
keseimbangan antara insting pancaindra dan kebebasan intelektual. Gadamer
menyamakan selera dengan rasa. Dalam operasionalnya, selera tidak memakai
pengetahuan akali. Jika selera menunjukkan reaksi negatif atas sesuatu, kita
tidak tahu penyebabnya.[28]
F.
Konstruksi
Epistemologis Gadamer
1.
Sumber dan
Hakikat Pengetahuan
Menurut
Gadamer, sejarah atau sosialitas masyarakat merupakan medium berlangsungnya
semua sistem pengetahuan. Sejarah sendiri merupakan sebuah perjalanan tradisi
yang ingin membangun visi dan horison kehidupan di masa depan.[29]
Di dalam sejarah, setiap orang mengembangkan cara-cara memahami satu sama lain.
Mereka mengkombinasikan berbagai makna menjadi satu sistem makna yang general.
Dengan demikian, bahasa suatu masyarakat (native language) tidak hanya
sebagai simbol yang merepresentasi diri (self), tetapi juga karakter (nature)
dan pemikiran atau pandangan masyarakat (worldview, thought, weltanschaung).
Bahasa memiliki kekuatan untuk mengungkap dan juga menyembunyikan suatu makna
yang dimiliki atau dipahami secara eksklusif oleh komunitas setempat. Oleh
karena itu, orang lain yang hendak memahami bahasa atau pemikiran suatu
masyarakat harus masuk ke dalam sejarah dan cara membahasa mereka (baca:
tradisi mereka).[30]
Singkatnya,
kerangka pemikiran (worldview) dan pengetahuan (self-knowledge)
manusia dibentuk dan mewujud dalam seluruh proses sejarah. Dari sini dapat
disimpulkan bahwa tugas utama hermeneutik adalah memahami teks (baca: sejarah
dan tradisi)[31]
dan hakikat pengetahuan dalam tradisi hermeneutik filosofis Gadamer adalah
pemahaman atau penafsiran (verstehen) terhadap teks tersebut
sesuai dengan situasi dan kondisi sang penafsir.[32]
2.
Alat
Pengetahuan
Karena
bahasa merupakan the concrete expression of ‘form of life’ or ‘tradition’
(ekspresi kongkret dari kehidupan atau tradisi), maka bahasa
menjadi titik sentral dalam proses pemahaman (understanding/verstehen).[33]
Menurut Gadamer, “mengerti” tidak mungkin dapat terlaksana tanpa bahasa.
Karena “mengerti” bukan saja dilakukan dalam memahami teks-teks masa lampau,
tetapi merupakan sikap paling fundamental dalam eksistensi manusia, maka dapat
disimpulkan bahwa bahasa mempunyai relevansi ontologis. “Mengerti” sama dengan
mengadakan percakapan atau dialog dengan yang ada, suatu percakapan di mana
sungguh-sungguh terjadi sesuatu.[34]
Gadamer menegaskan bahwa masalah hermeneutik bukan penguasaan yang benar
terhadap bahasa, tetapi pemahaman yang tepat terhadap sesuatu yang terjadi
melalui media bahasa.[35]
Kaitannya dengan proses pemahaman, Gadamer menegaskan hanya melalui bahasalah
wujud (baca: makna) bisa disingkapkan.[36]
Berbicara
tentang bahasa, Gadamer sering menekankan bahwa bahasa tidak terutama
mengekspresikan pemikiran, tetapi mengekspresikan objek itu sendiri.
Menurutnya, tidak ada perkataan yang dapat mengungkapkan suatu objek secara
tuntas. Hal ini terjadi bukan karena keterbatasan bahasa, tetapi karena
keberhinggaan (baca: keluasan) subjek manusia.[37]
Selanjutnya, Gadamer juga menjelaskan bahwa bahasa lebih dari sekadar suatu
sistem tanda. Sebab, objek dan kata tidak dapat dipisahkan. Di antara keduanya
terdapat kesatuan yang begitu erat, sehingga mencari suatu kata sebetulnya
tidak lain daripada mencari kata yang seakan-akan melekat pada benda. Demikian
pula, bahasa dan pemikiran pun membentuk suatu kesatuan yang tak terpisahkan.[38]
3.
Teori atau
Metode Memperoleh Pengetahuan
a.
Teori “Kesadaran Keterpengaruhan oleh Sejarah”
(Historically
Effected Consciousness)
Menurut teori ini, pemahaman seorang
penafsir ternyata dipengaruhi oleh situasi hermeneutik tertentu yang
melingkupinya, baik itu berupa tradisi, kultur, ataupun pengalaman hidup. Oleh
karena itu, pada saat menafsirkan sebuah teks, seorang penafsir harus sadar
bahwa dia berada pada posisi tertentu yang bisa mempengaruhi pemahamannya
terhadap sebuah teks yang sedang ditafsirkannya. Lebih lanjut Gadamer
mengatakan, seseorang harus belajar memahami dan mengenali bahwa dalam setiap
pemahaman, baik dia sadar atau tidak, pengaruh dari affective history (sejarah yang
mempengaruhi seseorang) sangat mengambil peran. Sebagaimana diakui oleh
Gadamer, mengatasi problem keterpengaruhan ini memang tidaklah mudah. Pesan
dari teori ini adalah bahwa seorang penafsir harus mampu mengatasi
subjektivitasnya ketika dia menafsirkan sebuah teks.[39]
b.
Teori “Prapemahaman” (Pre-Understanding)
Keterpengaruhan oleh situasi
hermeneutik atau affective history tertentu
membentuk pada diri seorang penafsir apa yang disebut Gadamer dengan istilah pre-understanding
atau “prapemahaman” (baca: praanggapan) terhadap teks yang ditafsirkan.
Prapemahaman yang merupakan posisi awal penafsir memang pasti dan harus ada ketika
ia membaca teks. Gadamer menyatakan bahwa dalam proses pemahaman, prapemahaman
selalu memainkan peran. Dalam praktiknya, prapemahaman ini diwarnai oleh
tradisi yang berpengaruh, di mana seorang penafsir berada, dan juga diwarnai
oleh perkiraan awal (prejudice) yang terbentuk dalam
tradisi tersebut.[40]
Keharusan adanya prapemahaman
tersebut, menurut teori ini, dimaksudkan agar seorang penafsir mampu
mendialogkannya dengan isi teks yang ditafsirkan. Tanpa prapemahaman, seseorang
tidak akan berhasil memahami teks dengan baik. Bahkan, Oliver R. Scholz
menyatakan bahwa prapemahaman yang disebutnya dengan istilah “asumsi atau
dugaan awal” merupakan “sarana yang tak terelakkan bagi pemahaman yang benar”.
Meskipun demikian, menurut Gadamer, prapemahaman harus terbuka untuk dikritisi,
direhabilitasi, dan dikoreksi oleh penafsir itu sendiri ketika dia sadar atau
mengetahui bahwa prapemahamannya itu tidak sesuai dengan apa yang dimaksud oleh
teks yang ditafsirkan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kesalahpahaman
terhadap pesan teks. Hasil dari rehabilitasi atau koreksi terhadap prapemahaman
ini disebutnya dengan istilah “kesempurnaan prapemahaman”.[41]
c.
Teori “Penggabungan/Asimilasi Horison” (Fusion of Horizons) dan Teori “Lingkaran Hermeneutik” (Hermeneutical Circle)
Dalam menafsirkan teks, seseorang
harus selalu berusaha memperbarui prapemahamannya. Hal ini berkaitan erat
dengan teori “penggabungan atau asimilasi horison” (fusion of horizons). Menurut teori
ini, proses penafsiran seseorang dipengaruhi oleh dua horison, yakni cakrawala
(pengetahuan) atau horison yang ada di dalam teks dan cakrawala (pemahaman)
atau horison pembaca. Kedua horison ini selalu hadir dalam setiap proses
pemahaman dan penafsiran. Seorang pembaca teks akan memulai pemahaman dengan cakrawala
hermeneutiknya. Namun, dia juga memperhatikan bahwa teks yang dia baca
mempunyai horisonnya sendiri yang mungkin berbeda dengan horison yang dimiliki
pembaca. Dua bentuk horison ini, menurut Gadamer, harus dikomunikasikan,
sehingga ketegangan di antara keduanya dapat diatasi. Oleh karena itu, ketika
seseorang membaca teks yang muncul pada masa lalu, maka dia harus memperhatikan
horison historis di mana teks tersebut muncul (baca: diungkapkan atau ditulis).[42]
Seorang pembaca teks harus memiliki
keterbukaan untuk mengakui adanya horison lain, yakni horison teks yang mungkin
berbeda atau bahkan bertentangan dengan horison pembaca. Dalam hal ini, Gadamer
menegaskan, “Saya harus membiarkan teks masa lalu berlaku (memberikan informasi
tentang sesuatu). Hal ini tidak semata-mata berarti sebuah pengakuan terhadap
‘keberbedaan’ masa lalu, tetapi juga bahwa teks masa lalu mempunyai sesuatu
yang harus dikatakan kepadaku.” Intinya, memahami sebuah teks berarti
membiarkan teks yang dimaksud berbicara.[43]
Interaksi di antara dua horison tersebut dinamakan “lingkaran
hermeneutik” (hermeneutical circle). Menurut
Gadamer, horison pembaca hanya berperan sebagai titik berpijak seseorang dalam
memahami teks. Titik pijak pembaca ini hanya merupakan sebuah “pendapat” atau “kemungkinan”
bahwa teks berbicara tentang sesuatu. Titik pijak ini tidak boleh dibiarkan
memaksa pembaca agar teks harus berbicara sesuai dengan titik pijaknya.
Sebaliknya, titik pijak ini justru harus bisa membantu memahami apa yang
sebenarnya dimaksud oleh teks. Dalam proses ini terjadi pertemuan antara
subjektivitas pembaca dan objektivitas teks, di mana makna objektif teks harus
lebih diutamakan oleh pembaca atau penafsir teks.[44]
d.
Teori “Penerapan/Aplikasi” (Application)
Makna objektif teks harus mendapat
perhatian dalam proses pemahaman dan penafsiran. Ketika makna objektif telah
dipahami, kemudian apa yang harus dilakukan oleh pembaca atau penafsir teks
yang di dalamnya terkandung pesan-pesan yang harus dipraktikkan dalam kehidupan
sehari-hari. Di sisi lain, situasi ketika munculnya teks tersebut dan masa
ketika seorang penafsir hidup telah jauh berbeda. Menurut Gadamer, ketika
seseorang membaca kitab suci, maka selain proses memahami dan menafsirkan, ada
satu hal lagi yang dituntut, yakni “penerapan” (application) pesan-pesan atau
ajaran-ajaran pada masa ketika teks kitab suci itu ditafsirkan. Pertanyaannya
adalah: apakah makna objektif teks tersebut harus terus dipertahankan dan
diaplikasikan pada masa ketika seorang penafsir hidup? Menanggapi pertanyaan
ini, Gadamer berpendapat bahwa pesan yang harus diaplikasikan pada masa
penafsiran bukan makna literal teks, tetapi “makna yang berarti” (meaningfull
sense)
atau pesan yang lebih berarti daripada sekadar makna literal.[45]
Intinya, dalam membaca dan mamahami
teks-teks historis berlaku proses hermeneutis yang dalam istilah Gadamer
disebut effective
history.[46]
Konsep ini dimaksudkan untuk melihat tiga kerangka waktu yang mengitari wilayah
teks-teks historis. Pertama, masa lampau, di mana
sebuah teks dilahirkan atau dipublikasikan. Di sini, makna teks bukan hanya
milik pengarang, tetapi juga milik setiap orang yang berusaha membaca dan
memahaminya. Kedua, masa kini, di mana penafsir
datang dengan membawa sejumlah prasangka atau praanggapan. Dengan prasangka
ini, penafsir akan berdialog dengan masa lalu sehingga melahirkan makna baru
yang sesuai dengan kondisi penafsir. Ketiga, masa depan, di mana di
dalamnya terdapat nuansa baru yang produktif.[47]
4. Teori
Kebenaran Pengetahuan
Dalam Truth
and Method, Gadamer berusaha melanjutkan dan menyempurnakan gagasan
gurunya, Martin Heidegger, tentang keterkaitan antara keberadaan manusia dan
kemungkinan pemahaman yang bisa dilakukan. Dalam pandangan Heidegger, yang
kemudian diikuti dan disempurnakan oleh Gadamer, hermeneutik adalah penafsiran
terhadap esensi (being) yang dalam kenyataannya
selalu tampil dalam eksistensi. Dengan demikian, suatu kebenaran tidak lagi
ditandai oleh adanya kesesuaian (koherensi) antara konsep teoritis dan realitas
objektif (sebagaimana dilakukan oleh kalangan positivisme dengan dalih mencari
objektivitas), tetapi oleh tersingkapnya esensi atau hakikat sesuatu. Dan,
satu-satunya wahana bagi penampakan being tersebut adalah eksistensi
manusia.[48]
5.
Pengujian
Kebenaran Pengetahuan
Di
atas telah dinyatakan bahwa dalam tradisi hermeneutika filosofis yang digagas
oleh Heidegger dan Gadamer, suatu kebenaran tidak lagi ditandai oleh adanya
kesesuaian (koherensi) antara konsep teoritis dan realitas objektif, tetapi
oleh tersingkapnya esensi atau hakikat sesuatu. Dengan demikian, dalam tradisi
hermeneutika filosofis tidak ada konsep pengujian kebenaran lewat media
verifikasi dan falsifikasi sebagaimana lazim dilakukan dalam tradisi filsafat
positivisme abad pencerahan. Sebab, studi filosofis dalam hermeneutika ala
Gadamer lebih menekankan pada masalah interpretasi atau pemahaman (verstehen)
daripada masalah kepastian (evidence) dan masalah objektivitas
kebenaran.[49]
G.
Relevansi
Epistemologi Hermeneutika Gadamer bagi
Ilmu Pendidikan (Islam)
Sumbangan penting pemikiran Gadamer bagi dunia pendidikan.
1.
Dapat
digunakan untuk menafsirkan teks al-Qur’an/tafsir Qur’an.
Sebenarnya
untuk memahami kandungan al-Qur’an kaum muslimin telah mempunyai ilmu
tersendiri yang sudah mapan yaitu ilmu tafsir. Ilmu ini telah digunakan sebagai
pembedah al-Qur’an sejak masa awal Islam sampai sekarang. Dewasa ini muncul
ilmu yang belum dikenal sebelumnya yaitu hermeneutika sebagai alat bantu untuk
memahami al-Qur’an. Penggunaan ilmu ini dalam dunia tafsir adalah hal baru
sehingga menimbulkan kontroversi. Dengan demikian perlulah hati-hati dalam
implementasinya. Hermeneutika ditempatkan sebagai komplemen, bukan sebagai
suplemen dari ilmu tafsir.
2.
Keterbukaan
terhadap yang lain. Konsep penafsiran Gadamer adalah meleburnya latar belakang
penafsir dalam dunia makna sehingga melahirkan pluralitas penafsiran. Sehingga
dalam hal ini perlu keterbukaan terhadap yang lain namun harus saling
menghormati dan saling menghargai antara satu dengan yang lainnya.
3.
Tidak
fanatik terhadap paham atau mazhab yang dianut. Hal ini bisa dilihat dari sikap
Gadamer yang tidak pernah melegitimasi sebuah penafsiran sebagai sesuatu yang
benar. Sebab menurut Gadamer, setiap pemahaman dipengaruhi oleh situasi dan
kondisi sang penafsir sehingga penafsiran dan pemahaman akan sebuah teks
menjadi sangat beragam.
4.
Semangat
pendidikan untuk perubahan. Hal ini terinspirasi oleh proses pemahaman dan
pembacaan terhadap teks yang menurut Gadamer tidak akan pernah berhenti. Sehingga
dalam hal ini perlu ada sebuah pembaruan yang terus-menerus terhadap
pengetahuan dan pengetahuan dalam segala bidang akan berkembang seiring dengan
perkembangan zaman.
BAB III
PENUTUP
Bagi Gadamer hakekat hermenutika adalan ontologi dan fenomenologi
pemaaman. Gadamer akan membedakannya dari hermeneutika yang selama ini dikenal.
Bagi Gadamer filsafat bukanlah tujuan dari hermeneutika filosofis, tetapi
filsafat adalah sarananya. Gadamer mengatakan bahwa pemahaman bersifat
historikal. Dengan demikian pemahaman dari manusia itu sendiri dikuasai oleh
sejarah. Sejarah dan masa lalu adalah suatu struktur dengan pemahaman juga
pengetahuan, pikiran kita. Menurut Gadamer, pemahaman selalu dapat diterapkan
pada keadaan kita pada saat ini, meskipun pemahaman itu berhubungan dengan
peristiwa sejarah, dialektik dan bahasa. Sehingga pemahaman selalu bersifat
subyektif karena selalu dalam keadaan tertentu. Oleh karena itu Gadamer
menekankan, bahwa mengerti mempunyai struktur lingkaran. Maksudnya, agar
seseorang dapat mengerti, maka sudah harus ada pengertian dan untuk mencapai
pengertian.
Dalam hal ini hermeneutika Gadamer menjadi bagian penting dalam memaknai
realitas sosial. Sehingga bahasa tetap menjadi bagian penting dalam membongkar
makna bukan hanya terbatas pada rekonstruksi sosial seperti yang disampaikan
Hebermas. Bahasa sebagai alat membenturkan teks, tradisi, simbol, dengan
realitas sosial. Jadi, proses memaknai perlu melalui pendekatan komprehensif
dan ini menjadi ciri khas dalam ilmu hermeneutika. Hermeneutika diposisikan
sebagai komplemen bukan sebagai suplemen dalam memaknai suatu teks.
Bakhtiar, Amsal. 2009.
Filsafat Ilmu, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Bertens, K..
2002. Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia.
Chariri, Anis. Philosophy
of Social Science: Interpretative Sociology, dalam http://www.anischariri.multiply.com, 7 Januari 2014.
Fakhruddin
Faiz. 2005. Hermeneutika Al-Qur’an:
Tema-tema Kontroversial. Yogyakarta: eLSAQ Press.
Hidayat,
Komaruddin, 1996. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian
Hermeneutik Jakarta: Paramadina.
Husaini , Adian
dan Abdurrahman al-Baghdadi, 2007. Hermeneutika
dan Tafsir Al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani.
Inyiak Ridwan
Muzir, 2010. Hermeneutika filosofis Hans Georg Gadamer Yogyakarta:
ar-Ruzz.
Maspaitella,
Elifas Tomix . Hermeneutika Gadamer dalam Konteks Membahasa Masyarakat dalam http://www.kutikata.blogspot.com, diakses tanggal 7 Januari 2014.
Mulyono
,Edi, 2003. Hermeneutika Linguistik-Dialektis.
Yogyakarta: IRCiSoD.
Muslih,
Mohammad. 2005. Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar
Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar.
Muzir, Inyiak
Ridwan. 2008. Hermeneutika Filosofis
Hans-George Gadamer, disadur dari buku Truth and Method karangan
Hans-George Gadamer. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Palmer ,
Richard E. 2005. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi,
terj. Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed . Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Smith, Linda
dan William Reaper, 2000. A
Beginner’s Guide to Ideas, diterjemahkan oleh P. Hardono Hadi dengan judul Ide-ide,
Filsafat dan Agama, Dulu dan Sekarang. Yogyakarta: Kanisius.
Sumaryono, [1] E. 1999. Hermeutik: Sebuah Metode Filsafat,
Yogyakarta: Kanisius.
Syahiron
Syamsuddin, Integrasi Hermeneutika Hans-Georg Gadamer ke dalam Ilmu Tafsir:
Sebuah Proyek Pengembangan Metode Pembacaan Al-Qur’an pada Masa Kontemporer,
Makalah
pada Annual Conference Islamic Studies (ACIS) yang dilaksanakan oleh Ditpertais
Departeman Agama RI, Bandung, 26-30 November 2006.
Zarkasyi,
Hamid Fahmy. 2006. Hermeneutika
Sebagai Produk Pandangan Hidup, dalam Kumpulan Makalah Workshop
Pemikiran Islam Kontemporer: IKPM cabang Kairo
[1] Hamid Fahmy Zarkasyi, Hermeneutika Sebagai Produk Pandangan Hidup,
dalam Kumpulan Makalah Workshop Pemikiran Islam Kontemporer, IKPM cabang Kairo,
2006, hlm. 8
[2] Fakhruddin
Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial (Yogyakarta: eLSAQ
Press, 2005), hlm. 8-11
[3] Inyiak Ridwan
Muzir, Hermeneutika filosofis Hans Georg Gadamer,(Jogjakarta: ar-Ruzz,
2010), hlm. 37-38
[4] K. Bertens, Filsafat
Barat Kontemporer: Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm. 254
[5] Inyiak Ridwan
Muzir, Op.cit, hlm. 40
[6] Ibid,
hlm. 40-41
[7] Ibid,, hlm.
42-43
[8] Ibid,,
hlm. 43
[9] K. Bertens, Op.cit,
254-255
[11] Inyiak Ridwan
Muzir, Op.cit, hlm. 45-46
[12] Ibid,
hlm. 46-47
[13] Linda Smith
dan William Reaper, A Beginner’s Guide to Ideas, diterjemahkan oleh P.
Hardono Hadi dengan judul Ide-ide, Filsafat dan Agama, Dulu dan Sekarang,
(Yogyakarta: Kanisius, 2000), cet. ke 1, hlm. 10.
[14] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2009), cet.
ke 7, hlm. 148.
[15] Adian Husaini
dan Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an,
(Jakarta: Gema Insani, 2007), cet. ke 1, hlm. 7.
[16] Inyiak Ridwan
Muzir, Op.cit. hlm. 65-67.
[20] E. Sumaryono, Op.cit.
hlm. 109
[23] Ibid., hlm.
264-265
[24] Richard E.
Palmer, Hermeneutika:
Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj. Musnur Hery dan Damanhuri
Muhammed (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 255
[25] Richard E.
Palmer, Op.cit. hlm.
255
[26] Edi Mulyono,
“Hermeneutika Linguistik-Dialektis, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), hlm. 142
[28] E. Sumaryono, Op.cit.,
hlm. 71-77 dan 84
[29] Komaruddin
Hidayat, Memahami
Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadina,
1996), hlm. 21-22.
[30] Elifas Tomix
Maspaitella, “Hermeneutika Gadamer dalam Konteks Membahasa Masyarakat”, dalam http://www.kutikata.blogspot.com, diakses
tanggal 7 Januari 2014
[32] Mohammad
Muslih, Op.cit
hlm. 141
[33] Anis Chariri,
“Philosophy of Social Science: Interpretative Sociology”, dalam http://www.anischariri.multiply.com, 7 Januari
2014, hlm. 25
[34] K. Bertens, Op.cit,
hlm. 265
[35] Hans-Georg
Gadamer, Op.cit
Metode, hlm. 467
[36] Edi Mulyono, “Op.cit”,
hlm. 140
[37] K. Bertens, Op.cit,
hlm. 265-266
[39] Syahiron
Syamsuddin, “Integrasi Hermeneutika Hans-Georg Gadamer ke dalam Ilmu Tafsir:
Sebuah Proyek Pengembangan Metode Pembacaan Al-Qur’an pada Masa Kontemporer”, Makalah
pada Annual Conference Islamic Studies (ACIS) yang dilaksanakan oleh Ditpertais
Departeman Agama RI, Bandung, 26-30 November 2006, hlm. 6-7
[40] Ibid.,
hlm. 7
[42] Ibid.,
hlm. 8
[44] Ibid.,
hlm. 8-9
[45] Ibid.,
hlm. 9
[46] Komaruddin
Hidayat. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneuti,k
(Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 22
[48] Ibid.,
hlm. 140-141.
minta soft copynya yhaa,,, thanks
BalasHapusKAMPUS SWASTA TERBAIK
BalasHapusKAMPUS SWASTA TERBAIK
KAMPUS SWASTA TERBAIK
KAMPUS SWASTA TERBAIK