Macam-Macam Manajemen Pendidikan Islam
Membahas tentang macam-macam manajemen pendidikan
Islam, terdapat beberapa sudut pandang yang dapat digunakan untuk mengupasnya,
misalnya berdasarkan sumber, jenis lembaga, struktur organisasi, dan fungsinya.
1. Berdasarkan Sumbernya
Manajemen pendidikan
Islam berdasarkan sumber, dapat dikelompokkan menjadi dua bagian. Pertama, berangkat dari manajemen Islam
itu sendiri, artinya menelisik di dalam tubuh Islam tentang berbagai manajemen
yang ada dan bersumber asli dari ajaran Islam, yakni Al-Qur’an dan al-Hadits. Kedua, berangkat dari manajemen di luar
Islam. Maksudnya mengkaji berbagai teori manajemen yang lahir di luar Islam,
dalam hal ini adalah teori Barat, kemudian memasukkan ajaran Islam dalam kajian
manajemennya. Dengan kata lain memfilterisasi teori manajemen Barat agar
mengandung nilai-nilai keislaman.
a. Manajemen Pendidikan Islam dari Sumber Islam
Gambaran manajemen telah diungkapkan dalam Al-Qur’an
surat As-Sajadah ayat 5 yang berbunyi:
يُدَبِّرُ اْلأَمْرَ مِنَ السَّمَآءِ إِلَى اْلأَرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ
فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ أَلْفَ سَنَةِ مِّمَّا تَعُدُّونَ
Artinya : Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu
naik kepadanya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut
perhitunganmu (As-Sajdah : 5)[1]
Dalam ayat itu dijelaskan bahwa Allah Swt adalah
pengatur (manage) segala urusan yang
di langit dan di bumi. Keteraturan siklus yang terjadi di alam semesta ini
berada dalam genggaman-Nya. Namun demikian, Allah memberikan keistimewaan
kepada manusia untuk ikut mengelola bumi, khalifah
fil ardh, karena itu manusia juga dibekali akal oleh Allah Swt supaya
kreatif positif dalam mengelolanya.
Pengelolaan yang baik akan mengantarkan suatu
lembaga pendidikan Islam menuju visi utama, yaitu berprestasi dan bahagia dunia
dan akhirat.. Abudin Nata menyatakan bahwa berbagai lembaga pendidikan Islam
yang tergolong ideal dan maju pada umumnya memiliki ciri-ciri berikut: Pertama, memiliki visi, misi dan tujuan
yang dibangun dan ajaran Islam yang tidak mengenal dikotomi ilmu.[2]
Islam telah mengajarkan kepada pemeluknya bahwa manusia harus visioner, karena
apapun yang diperbuatnya akan mendapatkan hasil sesuati perbuatannya (QS.
Az-Zalzalah ayat 7 – 8).
Kedua, memiliki kurikulum yang didasarkan
pada pandangan tentang tidak adanya dikotomi antara ilmu agama dan umum, dunia
dan akhirat.[3]
Dalam Islam tidak dijumpai perintah untuk mengabaikan salah satunya, antara
dunia dan akhirat. Ajaran Islam mengarahkan manusia pada pandangan bahwa
keduanya patut diraih. Rasulullah Saw menjelaskan bahwa siapapun orangnya yang
ingin memperoleh kebahagiaan dunia akhirat harus menggunakan ilmu. Di Al-Qur’an
dijelaskan bahwa akhirat adalah sebaik-baik tempat kembali, namun tidak
ditekankan untuk mengabaikan urusan dunia.
Ketiga, didukung oleh proses belajar mengajar
yang berbasis pada pemberdayaan siswa.[4]
Rasulullah Saw memberikan konsep pengajaran kepada umat Islam supaya mengajari
siswa dalam menjawab tantangan masa depan, bukan di era ia hidup sekarang.
Keempat, didukung oleh tenaga pendidik dan
kependidikan yang profesional, yaitu SDM yang selain memiliki keilmuan yang
luas dan mendalam, berlatar belakang pendidikan yang relevan juga memiliki etos
kerja yang tinggi.[5]
Hal ini sejalan dengan Sabda Nabi Muhammad Saw yang intinya jika urusan tidak
dipegang ahlinya maka dunia akan rusak.
Kelima, memiliki calon peserta (input) yang
unggul melalui seleksi dengan ketat. Poin kelima ini terkesan mengesampingkan
input yang tidak unggul.[6]
Namun demikian, penulis meyakini bahwa Abuddin Nata tidak berniat seperti itu,
orientasi utamanya adalah membesarkan lembaga pendidikan Islam. Di era modern
ini, telah banyak bermunculan jenis lembaga pendidikan yang siap mengelola
berbagai keunikan manusia, dari sini terlihat bahwa setiap anak memiliki tempat
yang sesuai dengan kebutuhannya.
Keenam, memiliki sarana dan prasarana yang
sesuai standar nasional pendidikan yang baik.[7]
Di lapangan sering dijumpai beberapa lembaga pendidikan Islam yang belum
memiliki sarpras standar, sehingga ini dijadikan alibi terkait turunnya
prestasi. Tetapi tidak jarang lembaga yang sarprasnya tidak standar tetapi
mampu melahirkan output yang melebihi sekolah bersarana standar. Yang ingin
penulis tegaskan adalah bahwa adanya sarpras adalah penting. Jika menilik
sejarah perkembangan dakwah Islam, Nabi Saw mendirikan sarana berupa masjid
dalam mendukung upaya dakwahnya.
Ketujuh, memiliki sistem pengelolaan yang
profesional dan andal.[8]
Meluasnya dakwah Islam dari era kenabian hingga sekarang merupakan perwujudan
dari salah satu komponen penting dakwah, yakni sistem pengelolaan yang
profesional dan andal.
Kedelapan, memiliki lingkungan yang dapat mendukung
terlaksananaya kegiatan belajar mengajar dan lainnya, yang memadai.[9]
Pentingnya situasi yang kondusif juga telah digambarkan dalam sejarah dakwah
Islam. Saat Nabi Saw menilai awal dakwah di Makkah tidak kondusif maka Allah
Swt memerintahkan beliau untuk hijrah ke Madinah.
b. Manajemen Pendidikan Islam dari Sumber di Luar Islam
Pola pelaksanaan manajemen di banyak lembaga pendidikan
Islam yang kini berkembang di masyarakat sebetulnya tidak bisa lepas dari
teori-teori manajemen yang digagas oleh pemikiran Barat. Walaupun sejak
munculnya Islam ilmu-ilmu tentang organisasi tentunya sudah ada, namun
penyusunannya secara ilmiah banyak dicetuskan oleh Barat.
Di bagian sub bab ini, macam-macam teori manajemen
dari Barat akan diintegrasikan dengan pola pikir Islam. Walaupun pada dasarnya
keduanya jelas berbeda, orientasinya tidak sama, tetapi terdapat sisi
kesamaannya. Dalam Islam, landasannya adalah tauhid dan rahmatan lil ‘alamin (keakhiratan dan keduniaan) sedangkan Barat
hanya rahmatan lil ‘alamin (keduniaan).
Dalam Islam terdapat unsur khalifah fil
ardh dan penghambaan, sedangkan Barat cenderunga hanya khalifah fil ardh saja.
Sebetulnya, awal kemunculan teori manajemen di Barat
tidak difokuskan pada dunia pendidikan, tetapi justru bidang ekonomi. Ditandai
dengan adanya dua peristiwa penting sebelum abad ke-20. Pertama, terjadi tahun 1776 ketika Adam Smith menerbitkan doktrin
ekonomi klasik dalam bukunya The Wealth of Nation. Di situ dijelaskan bahwa
keunggulan ekonomis akan diperoleh organisasi melalui pembagian kerja yang
spesifik dan berulang. Kedua, terjadinya
revolusi industri di Inggris. Di mana banyak tenaga manusia yang diganti tenaga
mesin karena dinilai lebih menguntungkan. Meredupnya rumah produksi dan
menjamurnya pabrik.
Beberapa teori manajemen yang lahir di Barat dapat
digolongkan menjadi beberapa madzhab, di antaranya adalah:
1)
Mazhab teori manajemen klasik.
Tokoh utamanya adalah Frederick Winslow Taylor,
lahir 1856. Ia menyatakan bahwa manusia harus diperlakukan seperti mesin demi
efisiensi dan efektifitas organisasi.[10]
Tokoh lainnya adalah Henry L. Gantt, The Gilbreths, Harigton Emerson, Edward A.
Filene.
Teori F.W. taylor tersebut dikembangkan oleh Henry
Fayol (1841-1925). Ia berpendapat bahwa keberhasilan para manajer tidak
ditentukan oleh mutu pribadinya, tetapi oleh adanya peramalan yang ilmiah dan
penggunaan metode manajemen yang tepat.[11]
2)
Mazhab hubungan manusia (human relation approach)
Mazhab ini mengkritik mazhab sebelumnya, menurut
aliran ini mazhab klasik kurang mampu mewujudkan efisiensi dan keharmonisan di
tempat kerja, manusia dalam organisasi tidak selalu bisa diramal dengan mudah,
perilakunya juga sering tidak rasional.[12]
Tokohnya adalah Hugo Munsterberg, Elton Mayo dan Willian Ouchi.
3)
Mazhab teori perilaku (behavior approach)
Mazhab ini berpendapat bahwa perilaku dapat dipahami
melalui tiga model pen dekatan, yaitu model pendekatan rasional, sosiologis dan
hubungan manusia.[13]
Pada perkembangannya mazhab ini membentuk teori-teori, seperti teori motivasi,
kepemimpinan, konflik, komunikasi, kekuasaan, perubahan organisasi, dan
lain-lain.[14]
Tokohnya adalah Abraham maslow, Douglas Mc Gregor, Frederick Hezberg, dan
lain-lain.
4)
Mazhab kuantitatif (quantitative approach)
Perkembangan mazhab ini ditandai dengan tim-tim
peneliti operasi untuk memecahkan masalah industri. Teori ini didukung para
ahli matematika, fisika, dan sarjana eksakta lain.[15]
Teknologi komputer semakin memudahkan penggunaan metode inidalam memecahkan
masalah rumit yang dihadapi manajer.[16]
5)
Mazhab sistem
Mazhab ini menganggap bahwa sebuah oraganisasi
adalah sebuah sistem. Organisasi dipandang sebagai satu keseluruhan yang
terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan (subsistem) dan berinteraksi dengan
lingkungannya. Asusmsi dasar yang dibangun oleh mazhab ini adalah satu kegiatan
dalam sebuah organisasi sangat berpengaruh
terhadap kegiatan dari setiap bagian lainnya. Tokoh mazhab ini adalah
Vilfredo Pareto (1896-1917).
6)
Mazhab kontigensi
Ajaran
pokok dalam mazhab ini adalah bahwa manajemen tergantung pada situasi yang
melatarbelakanginya. Prinsip manajemen yang sukses pada situasi tertentu, belum
tentu efektif apabila digunakan di situasi lainnya.[17]
7)
Mazhab neo-hubungan manusia
Mazhab ini berusaha mengintegrasikan sisi positif
manusia dan manajemen ilmiah. Pendekatan ini melihat bahwa manusia merupakan
makhluk yang emosional, intuitif dan kreatif. Dengan memahami kedudukan manusia
tersebut, prinsip manajemen dapat dikembangkan lebih lanjut.[18]
Tokoh mazhab ini adalah W. Edward Deming.
Selain beberapa mazhab di atas, terdapat pula
model-model manajemen pendidikan yang dikemukakan oleh Sharma. Menurutnya model
manajemen pendidikan ada enam yaitu (1) formal, (2) kolegial, (3) politik, (4)
subyektif, (5) mendua, dan (6) kultural.[19]
Model formal lebih menekankan pada struktur organisasi, model kolegial
menekankan pada teori kekuasaan dan pengambilan keputusan dilakukan dengan
melibatkan seluruh organisasi (partisipatif), model politik penekanannya pada
area tawar-menawar dalam mengambil keputusan (negosiasi), model subyektif
adalah menekankan pada individu-individu daripada keseluruhan, model mendua
menekankan pada ketidakpastian atau tidak dapat diramalkan, dan model kultural
penekanannya pada aspek informal organisasi (nilai-nilai keyakinan, norma,
tradisi menurut persepsi individu).[20]
Beberapa teori manajemen tersebut apabila dipraktikkan
oleh lembaga pendidikan Islam maka penulis sebut sebagai integrasi manajemen
pendidikan Islam dengan pola pemikiran manajemen Barat. Hal semacam ini adalah
sah karena ilmu manajemen sebetulnya suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri
tidak terikat agama manapun, sehingga bisa dimanfaatkan bagi yang membutuhkan.
Ilmu manajemen berdiri sendiri dan berkembang sesuai
dengan pemegangnya. Namun, jika di make
up dengan nilai-nilai pendidikan keislaman bisa disebut sebagai manajemen
pendidikan Islam, jika di poles dengan nilai-nilai pendidikan agama Kristen
bisa disebut sebagai manajemen pendidikan Kristen, dan seterusnya.
Konsep pengembangan ilmu pengetahuan dalam Islam
harus didasari beberapa konsep berikut: (1) kerangka tauhid/teologi, (2)
dikembangkan sebagai upaya meningkatkan takwa dan ibadah kepada Allah Swt, (3)
harus dimulai dari suatu pemahaman kritis atas epistemologi Islam klasik dan
rumusan kontemporer tentang ilmu, (4) harus dikembangkan oleh orang muslim yang
seimbang kecerdasan akal dan spiritualnya, (5) ilmu pengetahuan harus
dikembangkan dalam kerangka integral.[21]
2. Berdasarkan Jenis Lembaganya
Macam-macam manajemen
pendidikan Islam yang berkembang di Indonesia apabila dilihat dari sudut
pandang lembaganya dapat dikategorikan menjadi beberapa macam, di antaranya
manajemen pondok pesantren, manajemen madrasah, dan manajemen PAI di sekolah
umum. Hal itu diungkapkan oleh Prof. Dr. H. Haidar Putra Daulany, M.A. dalam
bukunya yang berjudul Pendidikan Islam
dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, bab dua.
a. Manajemen Pendidikan Islam Pondok Pesantren
Menurut Yacub (1984), secara garis besar lembaga
pesantren dapat digolongkan menjadi dua tipologi, yaitu tipe pesantren salafi dan tipe pesantren khalafi. Pesantren salafi yaitu pesantren yang mengajarkan kitab-kitab klasik Islam/
huruf Arab gundul. Sistem sorogan sendi utama yang diterapkan. Pengetahuan non
agama tidak diajarkan. Sedangkan pesantren khalafi
adalah sistem pesantren yang menerapkan sistem madrasah yang diajarkan secara
klasikal, memasukkan pengetahuan umum dan bahasa non Arab dalam kurikulum, dan
akhir-akhir ini diperkaya dengan berbagai keterampilan.[22]
Terdapat beberapa jenis pola manajemen pendidikan di
pondok pesantren, di antaranya adalah:
1)
Pola I.
Ciri-cirinya adalah masih terikat kuat dengan sistem
pendidikan islam sebelum zaman pembaruan pendidikan di Indonesia. (a)
pengkajian kitab-kitab kalsik semata-mata (2) memakai metode sorogan, wetonan
dan hafalan (3) tidak memakai sistem klasikal, tingkat pengetahuan diukur dari
banyak kitab yang dipelajari kepada ulama mana ia berguru (4) tujuan pendidikan
adalah meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai
nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan kejujuran serta menyiapkan
hati yang bersih.[23]
2)
Pola II
Pada pola II tetap menggunakan kitab-kitab klasik
tetapi sudah ada yang klasikal dan non-klasikal (sorogan dan wetonan yang
terjadwal). Disamping itu diajarkan ekstrakulikuler seperti keterampilan dan
praktik keorganisasian. Sistem klasikal dibagi menjadi jenjang dasar
(ibtidaiyah) 6 tahun, jenjang menengah pertama (tsanawiyah) 3 tahun, dan jenang
menengah atas (aliyah) 3 tahun.[24]
3)
Pola III
Cirinya telah diupayakan menyeimbangkan antara ilmu
agama dan umum. Ditanamkan sikap positif terhadap kedua jenis ilmu tersebut
kepada santri. Berbagai aspek pendidikan juga ditanamkan, seperti
kemasyarakatan, keterampilan, kesenian, kejasmanian, kepramukaan, dan
pengembangan masyarakat. Struktur kurikulumnya memodifikasikan madrasah negeri
dan pelajaran agama, dan ada pula memakai kurikulum yang dibuat oleh pondok sendiri.
Pelajaran ilmu-ilmu agama pada pola III juga tidak harus bersumber dari
kitab-kitab klasik.[25]
4)
Pola IV
Cirinya mengutamakan pengajaran ilmu-ilmu
keterampilan hidup (life skill) di samping ilmu-ilmu agama sebagai mata
pelajaran pokok. Dengan demikian kegiatan pendidikannya meliputi kegiatan
kelas, praktik di laboratorium, bengkel, kebun/lapangan.[26]
5)
Pola V
Cirinya mengasuh beraneka ragam lembaga pendidikan
yang tergolong formal dan non formal,
lebih lengkap dari pola-pola sebelumnya. Di pesantren tersebut ditemukan
pendidikan madrasah, sekolah, perguruan tinggi, pengkajian kitab-kitab klasik,
majlis taklim, dan pendidikan keterampilan.[27]
b. Manajemen Pendidikan Islam Madrasah
Sejak Indonesia merdeka, perkembangan manajemen
pendidikan Islam madrasah menurut Prof. Dr. H. Haidar Putra Daulay, M.A.
mengalami tiga fase. Fase pertama, konsentrasi
madrasah adalah pada pengembangan ilmu-ilmu agama dan tamatan madrasah otomatis
menjadi keluarga besar Departemen Agama, baik untuk melanjutkan pelajaran
maupun untuk lapangan kerja.[28]
Fase kedua, telah terjadi perubahan orientasi yang
awalnya agama berubah ke pengetahuan umum. Pada fase ini ijazah madrasah
memiliki nilai sama dengan sekolah umum, lulusan madrasah bisa melanjutkan di
sekolah umum dan siswa madrasah boleh pindah ke sekolah umum yang setingkat.[29]
Pada fase ini, pengajaran pendidikan agama Islam sekurang-kurangnya adalah 30%
di samping mata pelajaran umum.
Fase ketiga, madrasah disebut sebagai sekolah yang
berciri khas Islam. pengertiannya bahwa seluruh programnya sama dengan sekolah
ditambah dengan mata pelajaran agama Islam sebagai ciri Islamnya.[30]
Madrasah Aliyah sebagai sekolah tingkat menengah juga disebut sebagai sekolah
menengah yang berciri khas Islam.
c. Manajemen Pendidikan Islam Sekolah Umum
Sekolah umum memberikan porsi keagamaan yang cukup sedikit
dibandingkan dengan madrasah. Sehingga dibutuhkan manajemen pendidikan yang
lebih efektif-efisien untuk menanamkan nilai-nilai keagamaan. Dalam hal ini
adalah agama Islam.
Di antara jenis pengelolaan pendidikan yang dinilai
efektif adalah dengan mengupayakan adanya bimbingan kehidupan beragama,
uswatun hasanah (contoh teladan), malam
ibadah, pesantren kilat, laboratorium pendidikan agama, iklim religius dan
hubungan sekolah dan rumah tangga.[31]
Hal itu harus dilakukan dengan komitmen yang tinggi, kerja keras secara
kontinyu dan kerja sama yang baik antar personal dalam lembaga pendidikan Islam
tertentu.
3. Berdasarkan Struktur Kelembagaannya
Setidaknya terdapat
tujuh kosen cabang dalam manajemen pendidikan apabila didasarkan pada struktur
kelembagaannya, yakni manajemen kurikulum, kesiswaan, sarana dan prasarana,
tenaga pendidik, hubungan masyarakat, keuangan, dan tenaga kependidikan.
a. Kurikulum
Menurut
Olivia (1984), kurikulum adalah seperangkat pengalaman anak di bawah bimbingan
sekolah.[32]
Termasuk dalam konsep ini adalah semua pengalaman belajar di dalam dan di luar
sekolah. Di dalam sekolah seperti proses belajar mengajar sehari-hari,
sedangkan di luar sekolah misalnya study tour, out bound, dan lain-lain.
Di
dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Islam
Nasional dinyatakan bahwa “kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu”. Dalam kurikulum terdapat prinsip kolektivitas tim, yang mana ini
menuntut kerjasama satu sama lainnya. Selain itu, kurikulum pula tempat
mengejewatahkan nilai, ide dan pembelajaran serta kebutuhan dan tuntutan
masyarakat.[33] Dari
kurikulum inilah akan diketahui arah pendidikan serta hasil pendidikan yang
hendak dicapai dari aktivitas pendidikan.
b. Kesiswaan
Kesiswaan meliputi berbagai macam kegiatan terkait
dengan siswa, mulai dari pendaftaran siswa sampai mereka tamat mengikuti
pendidikan di sekolah. Terkait dengan penerimaan peserta didik baru membentuk
panitia, menentukan syarat pendaftaran calon peserta didik baru, penyediaan
formulir, pengumuman pendaftaran calon, menyediakan buku pendaftaran, waktu pendaftaran
hingga pengumuman calon yang diterima.[34]
Setelah diterima maka ditulis di buku induk, diberlakukan peraturan-peraturan
atau tata tertib kepada mereka, dan berbagai kegiatan lain yang dilalui hingga
mereka lulus.
c. Sarana dan Prasarana
Ditinjau dari fungsi atau peranannya terhadap proses
belajar mengajar maka sarana pendidikan (sarana material) dibedakan menjadi
tiga macam, yakni alat pelajaran, alat peraga dan media pengajaran. Sedangkan
prasarana adalah bangunan sekolah dan alat perabot sekolah.[35]
Alat pelajaran adalah alat yang digunakan secara langsung dalam proses belajar
mengajar, seperti buku dan alat tulis. Alat peraga menurut Anwar Yassin M.Ed
yang dikutip oleh Dra. Suharsimi Arikunto (1975) adalah alat pembantu
pendidikan dan pengjaran, dapat berupa perbuatan-perbuatan atau benda-benda
yang sudah memberi pengertian kepada anak didik berturut-turut dari yang
abstrak kepada yang konkret. Media pendidikan menurut Umar Suwito (1978) adalah
sarana pendidikan yang digunakan sebagai perantara dalam proses belajar
mengajar, untuk lebih mempertinggi efektifitas dan efisiensi dalam mencapai
tujuan pendidikan. Media pendidikan meliputi audio, visual dan audio visual.[36]
d. Tenaga Pendidikan
Dalam proses pendidikan guru memiliki peranan sangat
penting dan strategis dalam membimbing peserta didik ke arah kedewasaan,
kematangan dan kemandirian, sehingga guru sering dikatakan sebagai ujung tombak
pendidikan.[37]
Dengan demikian guru memegang peranan vital dalam mencapai tujuan pendidikan.
Disebutkan dalam buku Dimensi-Dimensi Administrasi Pendidikan di Sekolah karya Drs. B.
Suryo Subroto bahwa untuk mencapai tujuan pendidikan, guru harus terlibat
dengan masalah-masalah administrasi.[38]
Walaupun pencatatan administrasi kadang justru membuat sibuk guru dan
dimungkinkan melalaikan tugasnya untuk mendidik siswanya, namun arti penting
keterlibatan guru dalam urusan administrasi adalah untuk mendokumenkan segala
rekaman pembelajarannya terkait dengan setiap siswanya. Melalui data rekam yang
lengkap tentu lebih memudahkan guru untuk mengarahkan siswanya, terlebih jika
terjadi pergantian wali kelas, maka wali kelas yang baru pasti membutuhkan
rekaman tentang calon siswanya.
Dalam buku Pedoman Administrasi dan Supervisi yang
diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1978) di halaman 4
tertulis tugas dan tanggung jawab guru sebagai administrator sebagai berikut:
(1) menguasasi program pengajaran (garis-garis besar program), (2) menyusun
program kegiatan mengajar, (3) menyusun model satuan pelajaran dan pembagian
waktu, (4) melaksanakan tata usaha kelas, antara lain pencatatan data murid.[39]
e. Hubungan Masyarakat
Hubungan masyarakat (public relation) didefinisikan
sebagai seni dan ilmu untuk menganalisis kecenderungan, memprediksi
konsekuensi-konsekuensi, menasehati para pemimpin organisasi, dan melaksanakan
program yang terencana mengenai kegiatan-kegiatan yang melayani, baik
kepentingan organisasi maupun publik. Difinisi tersebut dirumuskan oleh Rosadi
Ruslan (1998).[40]
Intinya adalah seni menjalin hubungan antara organisasi dengan masyarakat demi
tercapainya tujuan bersama.
Pakar humas internasional, Cultip, merumuskan fungsi
humas sebagai berikut: (1) menunjang aktifitas utama manajemen dalam mencapai
tujuan bersama, (2) membina hubungan yang harmonis antara badan/organisasi dengan
pihak publiknya, sebagai khalayak sasarannya, (3) mengidentifikasi opini,
persepsi dan tanggapan masyarakat terhadap badan/organisasi yang diwakilinya
atau sebaliknya, (4) melayani keinginan publiknya dan memberikan sumbang saran
kepada pemimpin manajemen demi tujuan dan manfaat bersama, dan (5) menciptakan
komunikasi dua arah timbal balik, dan mengatur arus informasi, publikasi, serta
pesan dari badan/organisasi ke publiknya atau sebaliknya demi tercapainya citra
positif bagi kedua belah pihak.[41]
f. Keuangan
Manajemen keuangan diartikan sebagai pengelolaan
atas fungsi-fungsi keuangan. Manajemen keuangan berfungsi sebagai unit
penunjang (supporting unit) dalam
suatu organisasi/badan, termasuk lembaga pendidikan Islam.
Berkaitan dengan manajemen keuangan, beberapa hal
penting yang harus diperhatikan adalah (1) konsep manajemen keuangan, peran dan
fungsi harus dijalankan, (2) anggaran (budgetting),
(3) kegiatan investasi (capital
budhetting), (4) pengendalian keuangan (kas dan biaya).[42]
g. Tenaga Kependidikan
Tenaga kependidikan adalah tim pendukung kelancaran
pelaksanaan program-program sekolah. Termasuk di dalamnya adalah tata usaha
(TU), chef sekolah, cleaning service, dan lain-lain selain
guru dan kepala sekolah. Perbedaan jenis tenaga kependidikan tergantung pada
kebutuhan sekolah masing-masing.
Selain tujuh konsen
tersebut, terdapat juga manajemen layanan khusus (perpustakaan, UKS, asrama,
bimbingan dan konseling, koperasi, keamanan, kafetaria, dan laboratorium),
manajemen mutu, manajemen personalia, manajemen tata lingkungan, dan lain-lain.
Banyaknya jenis manajemen berdasarkan struktur organisasinya tersebut
sebetulnya adalah pengembangan dari tujuh konsen di atas.
4. Berdasarkan Fungsinya
Dilihat dari fungsinya,
Menurut Fayol, yang ditulis dalam bukunya Marno dan Tryo Supriyatno, terdapat
tujuh macam fungsi manajemen, yakni planning,
organizing, staffing, directing, coordinating, reporting, dan budgeting, biasa disingkat POSDCORB. Sedangkan
menurut Pierce dan Robinson, dan juga lazimnya digunakan dalam lembaga-lembaga
di Indonseia terdiri atas manajemen perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing),
penggerakan/pelaksanaan (directing/actuating),
dan pengawasan/pengendalian (controlling).[43]
Walaupun terdapat pendapat lain yang berbeda jumlah formulasi fungsinya, namun
secara umum tidak akan lari dari beberapa fungsi di atas, termasuk di dalamnya
adalah pengelolaan lembaga pendidikan Islam.
a. Perencanaan (Planning)
Dari sudut pandang organisasi, Hicks & Gullett
(1981) menyatakan perencanaan berurusan dengan: (1) penentuan tujuan dan
maksud-maksud organisasi, (2) prakiraan-prakiraan lingkungan di mana tujuan
hendak dicapai, (3) penetapan pendekatan di mana tujuan dan maksud organisasi
hendak dicapai.[44]
Untuk membuat perencanaan harus memperhatikan sumber-sumber perencanaan dan
kategori perencanaan. Sumber-sumber perencanaan antara lain kebijaksanaan
pemimpin, hasil pengawasan, kebutuhan masa depan, inovasi, prakarsa dari dalam
dan luar. Sedangkan kategori perencanaan adalah perencanaan fisik, fungsional,
secara luas (intern-ekstern), dan kombinasi (banyak unsur).
Terdapat beberapa modelperencanaan dalam pendidikan,
antara lain (1) model perencanaan komperehensif, yakni menganalisis
perubahan-perubahan dalam sistem pendidikan secara keseluruhan, (2) model target setting, yakni menentukan target
yang akan dicapai dengan setingan tertentu, (3) model costing (pembiayaan) dan
keefektifan biaya, model ini sering digunakan dalam kriteria efisiensi dan
efektifitas ekonomis, dan (4) model PPBS (planning,
programming, budgetting system). Model ini memandang bahwa perencanaan,
penyusunan program, dan penyelenggaraan adalah satu sistem yang tak
terpisahkan.[45]
b. Pengorganisasian (Organizing)
Hicks & Gullett (1981) mengatakan bahwa
pengorganisasian adalah kegiatan membagi-bagi tugas, tanggung jawab, dan
wewenang di antara sekelompok orang untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.[46]
Beberapa unsur organisasi yang harus diperhatikan adalah manusia yang
bekerjasama, sasaran, jabatan, tanggung jawab dan wewenang, teknologi, dan lingkungan.[47]
Prinsip-prinsip dalam organisasi, menurut Siagian
(1990) ada lima belas, yakni (1) kejelasan tujuan, (2) pemahaman tujuan oleh
semua anggota, (3) penerimaan tujuan oleh semua anggota, (4) kesatuan arah, (5)
kesatuan perintah, (6) fungsionalisasi, (7) deleniasi berbagai tugas, (8)
keseimbangan wewenang dan tanggung jawab, (9) pembagian tugas, (10)
kesederhanaan struktur, (11) pola dasar organisasi yang relatif permanen, (12)
adanya pola pendelegasian wewenang, (13) retang pengawasan, (14) jaminan pekerjaan,
dan (15) keseimbangan jasa dan imbalan.[48]
c. Pergerakan/Pelaksanaan (Directing/Actuating)
Terry (1986) mendefinisikan actuating sebagai usaha menggerakkan anggota kelompok sedemikian
rupa sehingga mereka berkeinginan dan berusaha untuk mencapai sasaran perusahaan yang
bersangkutan dan sasaran anggota perusahaan, karena anggota itu ingin mencapai
sasaran-sasaran tersebut.[49]
Secara sederhana, dalam konteks lembaga pendidikan Islam, actuating dapat diartikan sebagai
upaya menggerakkan tim sedemikian rupa untuk mencapai tujuan pendidikan
Islam yang telah ditentukan.
Poin-poin penting yang harus diperhatikan dalam
pelaksanaan adalah motivasi, kepemimpinan dan komunikasi. Motivasi adalah
dorongan berbuat setiap individu. Kepemimpinan adalah suatu proses mempengaruhi
orang lain atau kelompok bawahan guna mencapai tujuan secara efektif dan
efisien. Komunikasi adalah suatu alat untuk menyampaikan ide, pesan,
peringatan, dan instruksi dari seseorang kepada orang lain agar di antara
mereka terdapat interaksi.[50]
d. Pengawasan/Pengendalian (Controlling)
Konnts & O’Donnell (1964) mengartikan bahwa
pengendalian atau pengawasan adalah pengukuran dan perbaikan terhadap
pelaksanaan kerja bawahan agar rencana-rencana yang telah dibuat untuk mencapai
tujuan organisasi dapat terselenggara dengan baik.[51]
Dengan demikian, pengendalian mengandung makna penertiban, penilaian, dan
perbaikan.
Proses pengendalian bisa diaktualisasikan melalui
tahap-tahap yang telah disusun sebelumnya. Seorang pemimpin dapat melakukan
pengendalian dengan baik apabila dia memiliki acuan apa yang ingin dikontrol.
Tahap-tahap pengendalian banyak dikemukakan oleh para ahli, antara lain menurut
pendapat Hasibuan (1990) menyatakan bahwa proses pengendalian atau kontrol
dilakukan melalui langkah-langkah berikut: (1) melakukan standar-standar atau
dasar untuk melakukan kontrol, (2) mengukur pelaksanaan kerja, (3)
membandingkan pelaksanaan dengan standar utama, (4) melakukan tindakan-tindakan
perbaikan jika terdapat penyimpangan (deviasi) agar pelaksanaan dan tujuan
sesuai dengan rencana.[52]
Keempat sudut pandang tersebut sebetulnya saling
mengkait. Pengelompokan manajemen pendidikan Islam berdasarkan fungsinya,
sebetulnya masuk di dalam pengelompokkan
manajemen menurut struktur organisasinya. Demikian juga pengelompokan
macam-macam manajemen secara struktural, sebetulnya berada di dalam wilayah
pengelompokan manajemen berdasarkan pada jenis lembaganya. Selanjutnya,
pengelompokan jenis manajemen berdasarkan pada jenis lembaga, adalah masuk di
dalam kajian manajemen berdasarkan konsep besarnya.
Selanjutnya fungsi manajemen pendidikan Islam
[1]
Zaini Dahlan, Azharuddin Sahil, Qur’an Karim dan Terjemahan Artinya
(Yogyakarta: UII Press, 2000), hal. 732.
[2] Prof. Dr. Abuddin Nata, M.A. Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan
Pendidikan Islam di Indonesia, Edisi Keempat (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2010), hal. 334.
[3]
Ibid.
[4]
Ibid, hal 335.
[5]
Ibid
[6]
Ibid
[7]
Ibid, hal 336.
[8]
Ibid
[9]
Ibid
[10]
Didin Kurniadin, M.Pd., Dr. Imam
Machali, M.Pd., Manajemen Pendidikan:
Konsep & Prinsip Pengelolaan Pendidikan (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2012),
hal. 75.
[11]
Ibid, hal 79.
[12]
Ibid, hal 92.
[13]
Ibid, hal. 95.
[14]
Ibid, hal 96.
[15]
Ibid, hal 98.
[16]
Ibid.
[17]
Ibid, hal 102.
[18]
Ibid, hal 103.
[19]
Prof. Dr. Husaini Usman, M.Pd.,
M.T., Manajemen: Teori, Praktik, dan
Riset Pendidikan, Edisi 4 (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2013), hal. 15.
[20]
Ibid, hal. 16.
[21]
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A.
Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hal. 117-121.
[22]
Marno, M.Ag., Triyo Supriyatno,
M.Ag., Manajemen dan Kepemimpinan
Pendidikan Islam (Bandung: PT. Refika Aditama, 2008), hal. 62.
[23]
Prof. Dr. H. Haidar Putra Daulay,
M.A., Pendidikan islam: Dalam Sistem
Pendidikan Nasional di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2007), hal.28.
[24]
Ibid, hal 28-29.
[25]
Ibid, hal 29-30.
[26]
Ibid, hal. 30.
[27]
Ibid.
[28]
Ibid, hal 47.
[29]
Ibid, hal 48.
[30]
Ibid.
[31] Baca buku Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan nasional di Indonesia karya
Prof. Dr. H. Haidar Putra Daulay, M.A., di halaman 41-44.
[32]
Marno, M.Ag., Triyo Supriyatno,
M.Ag., Manajemen dan Kepemimpinan
Pendidikan Islam (Bandung: PT. Refika Aditama, 2008), hal 86.
[34]
Baca Dimensi-Dimensi Administrasi Pendidikan di Sekolah karya Drs. B.
Suryo Subroto, hal 36-45.
[35]
Drs. B. Suryo Subroto, Dimensi-Dimensi Administrasi Pendidikan di
Sekolah (Jakarta: Bina Aksara, 1984), hal. 75.
[36]
Ibid, hal 75-76.
[37] Syaiful Sagala, Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu
Pendidikan: Pembuka Ruang Kreativitas, Inovasi, dan Pemberdayaan Potensi
Sekolah dalam Sistem Otonomi Sekolah (Bandung: Alfabeta, 2013), hal 99.
[38]
Drs. B. Suryo Subroto, Dimensi-Dimensi Administrasi Pendidikan di
Sekolah, hal. 130.
[39]
Ibid.
[40]
Marno, M.Ag., Triyo Supriyatno,
M.Ag., Manajemen dan Kepemimpinan
Pendidikan Islam, hal. 95.
[41]
Ibid, hal 95-96.
[42]
Ibid, hal 77.
[43]
Marno, M.Ag., Triyo Suprayitno,
M.Ag., Manajemen dan Kepemimpinan
Pendidikan Islam (Bandung: PT.
Refika Aditama, 2008), hal.12.
[44]
Ibid, hal. 14.
[45]
Didin Kurniadin, M.Pd., Dr. Ilham
Machali, M.Pd., Manajemen Pendidikan:
Konsep & Prinsip Pengelolaan Pendidikan (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2012),
hal. 177.
[46] Marno, M.Ag., Triyo Suprayitno, M.Ag., Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan Islam
hal 16.
[47]
Ibid, hal. 18.
[48]
Ibid.
[49]
Ibid, hal. 21
[50]
Ibid, hal. 23.
[51]
Ibid, hal. 24.
[52]
Ibid, hal. 27.
0 komentar :
Posting Komentar