Senin, 01 Desember 2014

Macam-Macam Manajemen Pendidikan Islam
Membahas tentang macam-macam manajemen pendidikan Islam, terdapat beberapa sudut pandang yang dapat digunakan untuk mengupasnya, misalnya berdasarkan sumber, jenis lembaga, struktur organisasi, dan fungsinya.
1.      Berdasarkan Sumbernya
Manajemen pendidikan Islam berdasarkan sumber, dapat dikelompokkan menjadi dua bagian. Pertama, berangkat dari manajemen Islam itu sendiri, artinya menelisik di dalam tubuh Islam tentang berbagai manajemen yang ada dan bersumber asli dari ajaran Islam, yakni Al-Qur’an dan al-Hadits. Kedua, berangkat dari manajemen di luar Islam. Maksudnya mengkaji berbagai teori manajemen yang lahir di luar Islam, dalam hal ini adalah teori Barat, kemudian memasukkan ajaran Islam dalam kajian manajemennya. Dengan kata lain memfilterisasi teori manajemen Barat agar mengandung nilai-nilai keislaman.
a.      Manajemen Pendidikan Islam dari Sumber Islam
Gambaran manajemen telah diungkapkan dalam Al-Qur’an surat As-Sajadah ayat 5 yang berbunyi:
يُدَبِّرُ اْلأَمْرَ مِنَ السَّمَآءِ إِلَى اْلأَرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ أَلْفَ سَنَةِ مِّمَّا تَعُدُّونَ
Artinya : Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadanya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu (As-Sajdah : 5)[1]
Dalam ayat itu dijelaskan bahwa Allah Swt adalah pengatur (manage) segala urusan yang di langit dan di bumi. Keteraturan siklus yang terjadi di alam semesta ini berada dalam genggaman-Nya. Namun demikian, Allah memberikan keistimewaan kepada manusia untuk ikut mengelola bumi, khalifah fil ardh, karena itu manusia juga dibekali akal oleh Allah Swt supaya kreatif positif dalam mengelolanya.
Pengelolaan yang baik akan mengantarkan suatu lembaga pendidikan Islam menuju visi utama, yaitu berprestasi dan bahagia dunia dan akhirat.. Abudin Nata menyatakan bahwa berbagai lembaga pendidikan Islam yang tergolong ideal dan maju pada umumnya memiliki ciri-ciri berikut: Pertama, memiliki visi, misi dan tujuan yang dibangun dan ajaran Islam yang tidak mengenal dikotomi ilmu.[2] Islam telah mengajarkan kepada pemeluknya bahwa manusia harus visioner, karena apapun yang diperbuatnya akan mendapatkan hasil sesuati perbuatannya (QS. Az-Zalzalah ayat 7 – 8).
Kedua, memiliki kurikulum yang didasarkan pada pandangan tentang tidak adanya dikotomi antara ilmu agama dan umum, dunia dan akhirat.[3] Dalam Islam tidak dijumpai perintah untuk mengabaikan salah satunya, antara dunia dan akhirat. Ajaran Islam mengarahkan manusia pada pandangan bahwa keduanya patut diraih. Rasulullah Saw menjelaskan bahwa siapapun orangnya yang ingin memperoleh kebahagiaan dunia akhirat harus menggunakan ilmu. Di Al-Qur’an dijelaskan bahwa akhirat adalah sebaik-baik tempat kembali, namun tidak ditekankan untuk mengabaikan urusan dunia.
Ketiga, didukung oleh proses belajar mengajar yang berbasis pada pemberdayaan siswa.[4] Rasulullah Saw memberikan konsep pengajaran kepada umat Islam supaya mengajari siswa dalam menjawab tantangan masa depan, bukan di era ia hidup sekarang.
Keempat, didukung oleh tenaga pendidik dan kependidikan yang profesional, yaitu SDM yang selain memiliki keilmuan yang luas dan mendalam, berlatar belakang pendidikan yang relevan juga memiliki etos kerja yang tinggi.[5] Hal ini sejalan dengan Sabda Nabi Muhammad Saw yang intinya jika urusan tidak dipegang ahlinya maka dunia akan rusak.
Kelima, memiliki calon peserta (input) yang unggul melalui seleksi dengan ketat. Poin kelima ini terkesan mengesampingkan input yang tidak unggul.[6] Namun demikian, penulis meyakini bahwa Abuddin Nata tidak berniat seperti itu, orientasi utamanya adalah membesarkan lembaga pendidikan Islam. Di era modern ini, telah banyak bermunculan jenis lembaga pendidikan yang siap mengelola berbagai keunikan manusia, dari sini terlihat bahwa setiap anak memiliki tempat yang sesuai dengan kebutuhannya. 
Keenam, memiliki sarana dan prasarana yang sesuai standar nasional pendidikan yang baik.[7] Di lapangan sering dijumpai beberapa lembaga pendidikan Islam yang belum memiliki sarpras standar, sehingga ini dijadikan alibi terkait turunnya prestasi. Tetapi tidak jarang lembaga yang sarprasnya tidak standar tetapi mampu melahirkan output yang melebihi sekolah bersarana standar. Yang ingin penulis tegaskan adalah bahwa adanya sarpras adalah penting. Jika menilik sejarah perkembangan dakwah Islam, Nabi Saw mendirikan sarana berupa masjid dalam mendukung upaya dakwahnya.
Ketujuh, memiliki sistem pengelolaan yang profesional dan andal.[8] Meluasnya dakwah Islam dari era kenabian hingga sekarang merupakan perwujudan dari salah satu komponen penting dakwah, yakni sistem pengelolaan yang profesional dan andal.
Kedelapan, memiliki lingkungan yang dapat mendukung terlaksananaya kegiatan belajar mengajar dan lainnya, yang memadai.[9] Pentingnya situasi yang kondusif juga telah digambarkan dalam sejarah dakwah Islam. Saat Nabi Saw menilai awal dakwah di Makkah tidak kondusif maka Allah Swt memerintahkan beliau untuk hijrah ke Madinah.
b.      Manajemen Pendidikan Islam dari Sumber di Luar Islam
Pola pelaksanaan manajemen di banyak lembaga pendidikan Islam yang kini berkembang di masyarakat sebetulnya tidak bisa lepas dari teori-teori manajemen yang digagas oleh pemikiran Barat. Walaupun sejak munculnya Islam ilmu-ilmu tentang organisasi tentunya sudah ada, namun penyusunannya secara ilmiah banyak dicetuskan oleh Barat.
Di bagian sub bab ini, macam-macam teori manajemen dari Barat akan diintegrasikan dengan pola pikir Islam. Walaupun pada dasarnya keduanya jelas berbeda, orientasinya tidak sama, tetapi terdapat sisi kesamaannya. Dalam Islam, landasannya adalah tauhid dan rahmatan lil ‘alamin (keakhiratan dan keduniaan) sedangkan Barat hanya rahmatan lil ‘alamin (keduniaan). Dalam Islam terdapat unsur khalifah fil ardh dan penghambaan, sedangkan Barat cenderunga hanya khalifah fil ardh saja.
Sebetulnya, awal kemunculan teori manajemen di Barat tidak difokuskan pada dunia pendidikan, tetapi justru bidang ekonomi. Ditandai dengan adanya dua peristiwa penting sebelum abad ke-20. Pertama, terjadi tahun 1776 ketika Adam Smith menerbitkan doktrin ekonomi klasik dalam bukunya The Wealth of Nation. Di situ dijelaskan bahwa keunggulan ekonomis akan diperoleh organisasi melalui pembagian kerja yang spesifik dan berulang. Kedua, terjadinya revolusi industri di Inggris. Di mana banyak tenaga manusia yang diganti tenaga mesin karena dinilai lebih menguntungkan. Meredupnya rumah produksi dan menjamurnya pabrik.
Beberapa teori manajemen yang lahir di Barat dapat digolongkan menjadi beberapa madzhab, di antaranya adalah:
1)                Mazhab teori manajemen klasik.
Tokoh utamanya adalah Frederick Winslow Taylor, lahir 1856. Ia menyatakan bahwa manusia harus diperlakukan seperti mesin demi efisiensi dan efektifitas organisasi.[10] Tokoh lainnya adalah Henry L. Gantt, The Gilbreths, Harigton Emerson, Edward A. Filene.
Teori F.W. taylor tersebut dikembangkan oleh Henry Fayol (1841-1925). Ia berpendapat bahwa keberhasilan para manajer tidak ditentukan oleh mutu pribadinya, tetapi oleh adanya peramalan yang ilmiah dan penggunaan metode manajemen yang tepat.[11]
2)                Mazhab hubungan manusia (human relation approach)
Mazhab ini mengkritik mazhab sebelumnya, menurut aliran ini mazhab klasik kurang mampu mewujudkan efisiensi dan keharmonisan di tempat kerja, manusia dalam organisasi tidak selalu bisa diramal dengan mudah, perilakunya juga sering tidak rasional.[12] Tokohnya adalah Hugo Munsterberg, Elton Mayo dan Willian Ouchi.
3)                Mazhab teori perilaku (behavior approach)
Mazhab ini berpendapat bahwa perilaku dapat dipahami melalui tiga model pen dekatan, yaitu model pendekatan rasional, sosiologis dan hubungan manusia.[13] Pada perkembangannya mazhab ini membentuk teori-teori, seperti teori motivasi, kepemimpinan, konflik, komunikasi, kekuasaan, perubahan organisasi, dan lain-lain.[14] Tokohnya adalah Abraham maslow, Douglas Mc Gregor, Frederick Hezberg, dan lain-lain.
4)                Mazhab kuantitatif (quantitative approach)
Perkembangan mazhab ini ditandai dengan tim-tim peneliti operasi untuk memecahkan masalah industri. Teori ini didukung para ahli matematika, fisika, dan sarjana eksakta lain.[15] Teknologi komputer semakin memudahkan penggunaan metode inidalam memecahkan masalah rumit yang dihadapi manajer.[16]


5)                Mazhab sistem
Mazhab ini menganggap bahwa sebuah oraganisasi adalah sebuah sistem. Organisasi dipandang sebagai satu keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan (subsistem) dan berinteraksi dengan lingkungannya. Asusmsi dasar yang dibangun oleh mazhab ini adalah satu kegiatan dalam sebuah organisasi sangat berpengaruh  terhadap kegiatan dari setiap bagian lainnya. Tokoh mazhab ini adalah Vilfredo Pareto (1896-1917).
6)                Mazhab kontigensi
Ajaran pokok dalam mazhab ini adalah bahwa manajemen tergantung pada situasi yang melatarbelakanginya. Prinsip manajemen yang sukses pada situasi tertentu, belum tentu efektif apabila digunakan di situasi lainnya.[17]
7)                Mazhab neo-hubungan manusia
Mazhab ini berusaha mengintegrasikan sisi positif manusia dan manajemen ilmiah. Pendekatan ini melihat bahwa manusia merupakan makhluk yang emosional, intuitif dan kreatif. Dengan memahami kedudukan manusia tersebut, prinsip manajemen dapat dikembangkan lebih lanjut.[18] Tokoh mazhab ini adalah W. Edward Deming.
Selain beberapa mazhab di atas, terdapat pula model-model manajemen pendidikan yang dikemukakan oleh Sharma. Menurutnya model manajemen pendidikan ada enam yaitu (1) formal, (2) kolegial, (3) politik, (4) subyektif, (5) mendua, dan (6) kultural.[19] Model formal lebih menekankan pada struktur organisasi, model kolegial menekankan pada teori kekuasaan dan pengambilan keputusan dilakukan dengan melibatkan seluruh organisasi (partisipatif), model politik penekanannya pada area tawar-menawar dalam mengambil keputusan (negosiasi), model subyektif adalah menekankan pada individu-individu daripada keseluruhan, model mendua menekankan pada ketidakpastian atau tidak dapat diramalkan, dan model kultural penekanannya pada aspek informal organisasi (nilai-nilai keyakinan, norma, tradisi menurut persepsi individu).[20]
Beberapa teori manajemen tersebut apabila dipraktikkan oleh lembaga pendidikan Islam maka penulis sebut sebagai integrasi manajemen pendidikan Islam dengan pola pemikiran manajemen Barat. Hal semacam ini adalah sah karena ilmu manajemen sebetulnya suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri tidak terikat agama manapun, sehingga bisa dimanfaatkan bagi yang membutuhkan.
Ilmu manajemen berdiri sendiri dan berkembang sesuai dengan pemegangnya. Namun, jika di make up dengan nilai-nilai pendidikan keislaman bisa disebut sebagai manajemen pendidikan Islam, jika di poles dengan nilai-nilai pendidikan agama Kristen bisa disebut sebagai manajemen pendidikan Kristen, dan seterusnya.
Konsep pengembangan ilmu pengetahuan dalam Islam harus didasari beberapa konsep berikut: (1) kerangka tauhid/teologi, (2) dikembangkan sebagai upaya meningkatkan takwa dan ibadah kepada Allah Swt, (3) harus dimulai dari suatu pemahaman kritis atas epistemologi Islam klasik dan rumusan kontemporer tentang ilmu, (4) harus dikembangkan oleh orang muslim yang seimbang kecerdasan akal dan spiritualnya, (5) ilmu pengetahuan harus dikembangkan dalam kerangka integral.[21]

2.      Berdasarkan Jenis Lembaganya
Macam-macam manajemen pendidikan Islam yang berkembang di Indonesia apabila dilihat dari sudut pandang lembaganya dapat dikategorikan menjadi beberapa macam, di antaranya manajemen pondok pesantren, manajemen madrasah, dan manajemen PAI di sekolah umum. Hal itu diungkapkan oleh Prof. Dr. H. Haidar Putra Daulany, M.A. dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, bab dua.
a.      Manajemen Pendidikan Islam Pondok Pesantren
Menurut Yacub (1984), secara garis besar lembaga pesantren dapat digolongkan menjadi dua tipologi, yaitu tipe pesantren salafi dan tipe pesantren khalafi. Pesantren salafi yaitu pesantren yang mengajarkan kitab-kitab klasik Islam/ huruf Arab gundul. Sistem sorogan sendi utama yang diterapkan. Pengetahuan non agama tidak diajarkan. Sedangkan pesantren khalafi adalah sistem pesantren yang menerapkan sistem madrasah yang diajarkan secara klasikal, memasukkan pengetahuan umum dan bahasa non Arab dalam kurikulum, dan akhir-akhir ini diperkaya dengan berbagai keterampilan.[22]
Terdapat beberapa jenis pola manajemen pendidikan di pondok pesantren, di antaranya adalah:
1)   Pola I.
Ciri-cirinya adalah masih terikat kuat dengan sistem pendidikan islam sebelum zaman pembaruan pendidikan di Indonesia. (a) pengkajian kitab-kitab kalsik semata-mata (2) memakai metode sorogan, wetonan dan hafalan (3) tidak memakai sistem klasikal, tingkat pengetahuan diukur dari banyak kitab yang dipelajari kepada ulama mana ia berguru (4) tujuan pendidikan adalah meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan kejujuran serta menyiapkan hati yang bersih.[23]
2)                Pola II
Pada pola II tetap menggunakan kitab-kitab klasik tetapi sudah ada yang klasikal dan non-klasikal (sorogan dan wetonan yang terjadwal). Disamping itu diajarkan ekstrakulikuler seperti keterampilan dan praktik keorganisasian. Sistem klasikal dibagi menjadi jenjang dasar (ibtidaiyah) 6 tahun, jenjang menengah pertama (tsanawiyah) 3 tahun, dan jenang menengah atas (aliyah) 3 tahun.[24]
3)                Pola III
Cirinya telah diupayakan menyeimbangkan antara ilmu agama dan umum. Ditanamkan sikap positif terhadap kedua jenis ilmu tersebut kepada santri. Berbagai aspek pendidikan juga ditanamkan, seperti kemasyarakatan, keterampilan, kesenian, kejasmanian, kepramukaan, dan pengembangan masyarakat. Struktur kurikulumnya memodifikasikan madrasah negeri dan pelajaran agama, dan ada pula memakai kurikulum yang dibuat oleh pondok sendiri. Pelajaran ilmu-ilmu agama pada pola III juga tidak harus bersumber dari kitab-kitab klasik.[25]
4)                Pola IV
Cirinya mengutamakan pengajaran ilmu-ilmu keterampilan hidup (life skill) di samping ilmu-ilmu agama sebagai mata pelajaran pokok. Dengan demikian kegiatan pendidikannya meliputi kegiatan kelas, praktik di laboratorium, bengkel, kebun/lapangan.[26]
5)                Pola V
Cirinya mengasuh beraneka ragam lembaga pendidikan yang tergolong formal dan non  formal, lebih lengkap dari pola-pola sebelumnya. Di pesantren tersebut ditemukan pendidikan madrasah, sekolah, perguruan tinggi, pengkajian kitab-kitab klasik, majlis taklim, dan pendidikan keterampilan.[27]

b.      Manajemen Pendidikan Islam Madrasah
Sejak Indonesia merdeka, perkembangan manajemen pendidikan Islam madrasah menurut Prof. Dr. H. Haidar Putra Daulay, M.A. mengalami tiga fase. Fase pertama, konsentrasi madrasah adalah pada pengembangan ilmu-ilmu agama dan tamatan madrasah otomatis menjadi keluarga besar Departemen Agama, baik untuk melanjutkan pelajaran maupun untuk lapangan kerja.[28]
Fase kedua, telah terjadi perubahan orientasi yang awalnya agama berubah ke pengetahuan umum. Pada fase ini ijazah madrasah memiliki nilai sama dengan sekolah umum, lulusan madrasah bisa melanjutkan di sekolah umum dan siswa madrasah boleh pindah ke sekolah umum yang setingkat.[29] Pada fase ini, pengajaran pendidikan agama Islam sekurang-kurangnya adalah 30% di samping mata pelajaran umum.
Fase ketiga, madrasah disebut sebagai sekolah yang berciri khas Islam. pengertiannya bahwa seluruh programnya sama dengan sekolah ditambah dengan mata pelajaran agama Islam sebagai ciri Islamnya.[30] Madrasah Aliyah sebagai sekolah tingkat menengah juga disebut sebagai sekolah menengah yang berciri khas Islam.
c.       Manajemen Pendidikan Islam Sekolah Umum
Sekolah umum memberikan porsi keagamaan yang cukup sedikit dibandingkan dengan madrasah. Sehingga dibutuhkan manajemen pendidikan yang lebih efektif-efisien untuk menanamkan nilai-nilai keagamaan. Dalam hal ini adalah agama Islam.
Di antara jenis pengelolaan pendidikan yang dinilai efektif adalah dengan mengupayakan adanya bimbingan kehidupan beragama, uswatun  hasanah (contoh teladan), malam ibadah, pesantren kilat, laboratorium pendidikan agama, iklim religius dan hubungan sekolah dan rumah tangga.[31] Hal itu harus dilakukan dengan komitmen yang tinggi, kerja keras secara kontinyu dan kerja sama yang baik antar personal dalam lembaga pendidikan Islam tertentu.

3.      Berdasarkan Struktur Kelembagaannya
Setidaknya terdapat tujuh kosen cabang dalam manajemen pendidikan apabila didasarkan pada struktur kelembagaannya, yakni manajemen kurikulum, kesiswaan, sarana dan prasarana, tenaga pendidik, hubungan masyarakat, keuangan, dan tenaga kependidikan.
a.      Kurikulum
Menurut Olivia (1984), kurikulum adalah seperangkat pengalaman anak di bawah bimbingan sekolah.[32] Termasuk dalam konsep ini adalah semua pengalaman belajar di dalam dan di luar sekolah. Di dalam sekolah seperti proses belajar mengajar sehari-hari, sedangkan di luar sekolah misalnya study tour, out bound, dan lain-lain.
Di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Islam Nasional dinyatakan bahwa “kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”. Dalam kurikulum terdapat prinsip kolektivitas tim, yang mana ini menuntut kerjasama satu sama lainnya. Selain itu, kurikulum pula tempat mengejewatahkan nilai, ide dan pembelajaran serta kebutuhan dan tuntutan masyarakat.[33] Dari kurikulum inilah akan diketahui arah pendidikan serta hasil pendidikan yang hendak dicapai dari aktivitas pendidikan.
b.      Kesiswaan
Kesiswaan meliputi berbagai macam kegiatan terkait dengan siswa, mulai dari pendaftaran siswa sampai mereka tamat mengikuti pendidikan di sekolah. Terkait dengan penerimaan peserta didik baru membentuk panitia, menentukan syarat pendaftaran calon peserta didik baru, penyediaan formulir, pengumuman pendaftaran calon, menyediakan buku pendaftaran, waktu pendaftaran hingga pengumuman calon yang diterima.[34] Setelah diterima maka ditulis di buku induk, diberlakukan peraturan-peraturan atau tata tertib kepada mereka, dan berbagai kegiatan lain yang dilalui hingga mereka lulus.
c.       Sarana dan Prasarana
Ditinjau dari fungsi atau peranannya terhadap proses belajar mengajar maka sarana pendidikan (sarana material) dibedakan menjadi tiga macam, yakni alat pelajaran, alat peraga dan media pengajaran. Sedangkan prasarana adalah bangunan sekolah dan alat perabot sekolah.[35] Alat pelajaran adalah alat yang digunakan secara langsung dalam proses belajar mengajar, seperti buku dan alat tulis. Alat peraga menurut Anwar Yassin M.Ed yang dikutip oleh Dra. Suharsimi Arikunto (1975) adalah alat pembantu pendidikan dan pengjaran, dapat berupa perbuatan-perbuatan atau benda-benda yang sudah memberi pengertian kepada anak didik berturut-turut dari yang abstrak kepada yang konkret. Media pendidikan menurut Umar Suwito (1978) adalah sarana pendidikan yang digunakan sebagai perantara dalam proses belajar mengajar, untuk lebih mempertinggi efektifitas dan efisiensi dalam mencapai tujuan pendidikan. Media pendidikan meliputi audio, visual dan audio visual.[36]
d.      Tenaga Pendidikan
Dalam proses pendidikan guru memiliki peranan sangat penting dan strategis dalam membimbing peserta didik ke arah kedewasaan, kematangan dan kemandirian, sehingga guru sering dikatakan sebagai ujung tombak pendidikan.[37] Dengan demikian guru memegang peranan vital dalam mencapai tujuan pendidikan.
Disebutkan dalam buku Dimensi-Dimensi Administrasi Pendidikan di Sekolah karya Drs. B. Suryo Subroto bahwa untuk mencapai tujuan pendidikan, guru harus terlibat dengan masalah-masalah administrasi.[38] Walaupun pencatatan administrasi kadang justru membuat sibuk guru dan dimungkinkan melalaikan tugasnya untuk mendidik siswanya, namun arti penting keterlibatan guru dalam urusan administrasi adalah untuk mendokumenkan segala rekaman pembelajarannya terkait dengan setiap siswanya. Melalui data rekam yang lengkap tentu lebih memudahkan guru untuk mengarahkan siswanya, terlebih jika terjadi pergantian wali kelas, maka wali kelas yang baru pasti membutuhkan rekaman tentang calon siswanya.
Dalam buku Pedoman Administrasi dan Supervisi yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1978) di halaman 4 tertulis tugas dan tanggung jawab guru sebagai administrator sebagai berikut: (1) menguasasi program pengajaran (garis-garis besar program), (2) menyusun program kegiatan mengajar, (3) menyusun model satuan pelajaran dan pembagian waktu, (4) melaksanakan tata usaha kelas, antara lain pencatatan data murid.[39]
e.       Hubungan Masyarakat
Hubungan masyarakat (public relation) didefinisikan sebagai seni dan ilmu untuk menganalisis kecenderungan, memprediksi konsekuensi-konsekuensi, menasehati para pemimpin organisasi, dan melaksanakan program yang terencana mengenai kegiatan-kegiatan yang melayani, baik kepentingan organisasi maupun publik. Difinisi tersebut dirumuskan oleh Rosadi Ruslan (1998).[40] Intinya adalah seni menjalin hubungan antara organisasi dengan masyarakat demi tercapainya tujuan bersama.
Pakar humas internasional, Cultip, merumuskan fungsi humas sebagai berikut: (1) menunjang aktifitas utama manajemen dalam mencapai tujuan bersama, (2) membina hubungan yang harmonis antara badan/organisasi dengan pihak publiknya, sebagai khalayak sasarannya, (3) mengidentifikasi opini, persepsi dan tanggapan masyarakat terhadap badan/organisasi yang diwakilinya atau sebaliknya, (4) melayani keinginan publiknya dan memberikan sumbang saran kepada pemimpin manajemen demi tujuan dan manfaat bersama, dan (5) menciptakan komunikasi dua arah timbal balik, dan mengatur arus informasi, publikasi, serta pesan dari badan/organisasi ke publiknya atau sebaliknya demi tercapainya citra positif bagi kedua belah pihak.[41]
f.       Keuangan
Manajemen keuangan diartikan sebagai pengelolaan atas fungsi-fungsi keuangan. Manajemen keuangan berfungsi sebagai unit penunjang (supporting unit) dalam suatu organisasi/badan, termasuk lembaga pendidikan Islam.
Berkaitan dengan manajemen keuangan, beberapa hal penting yang harus diperhatikan adalah (1) konsep manajemen keuangan, peran dan fungsi harus dijalankan, (2) anggaran (budgetting), (3) kegiatan investasi (capital budhetting), (4) pengendalian keuangan (kas dan biaya).[42]
g.      Tenaga Kependidikan
Tenaga kependidikan adalah tim pendukung kelancaran pelaksanaan program-program sekolah. Termasuk di dalamnya adalah tata usaha (TU), chef sekolah, cleaning service, dan lain-lain selain guru dan kepala sekolah. Perbedaan jenis tenaga kependidikan tergantung pada kebutuhan sekolah masing-masing.
       
Selain tujuh konsen tersebut, terdapat juga manajemen layanan khusus (perpustakaan, UKS, asrama, bimbingan dan konseling, koperasi, keamanan, kafetaria, dan laboratorium), manajemen mutu, manajemen personalia, manajemen tata lingkungan, dan lain-lain. Banyaknya jenis manajemen berdasarkan struktur organisasinya tersebut sebetulnya adalah pengembangan dari tujuh konsen di atas.
4.      Berdasarkan Fungsinya
Dilihat dari fungsinya, Menurut Fayol, yang ditulis dalam bukunya Marno dan Tryo Supriyatno, terdapat tujuh macam fungsi manajemen, yakni planning, organizing, staffing, directing, coordinating, reporting, dan budgeting, biasa disingkat POSDCORB. Sedangkan menurut Pierce dan Robinson, dan juga lazimnya digunakan dalam lembaga-lembaga di Indonseia terdiri atas manajemen perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), penggerakan/pelaksanaan (directing/actuating), dan pengawasan/pengendalian (controlling).[43] Walaupun terdapat pendapat lain yang berbeda jumlah formulasi fungsinya, namun secara umum tidak akan lari dari beberapa fungsi di atas, termasuk di dalamnya adalah pengelolaan lembaga pendidikan Islam.
a.      Perencanaan (Planning)
Dari sudut pandang organisasi, Hicks & Gullett (1981) menyatakan perencanaan berurusan dengan: (1) penentuan tujuan dan maksud-maksud organisasi, (2) prakiraan-prakiraan lingkungan di mana tujuan hendak dicapai, (3) penetapan pendekatan di mana tujuan dan maksud organisasi hendak dicapai.[44] Untuk membuat perencanaan harus memperhatikan sumber-sumber perencanaan dan kategori perencanaan. Sumber-sumber perencanaan antara lain kebijaksanaan pemimpin, hasil pengawasan, kebutuhan masa depan, inovasi, prakarsa dari dalam dan luar. Sedangkan kategori perencanaan adalah perencanaan fisik, fungsional, secara luas (intern-ekstern), dan kombinasi (banyak unsur).
Terdapat beberapa modelperencanaan dalam pendidikan, antara lain (1) model perencanaan komperehensif, yakni menganalisis perubahan-perubahan dalam sistem pendidikan secara keseluruhan, (2) model target setting, yakni menentukan target yang akan dicapai dengan setingan tertentu, (3) model costing (pembiayaan) dan keefektifan biaya, model ini sering digunakan dalam kriteria efisiensi dan efektifitas ekonomis, dan (4) model PPBS (planning, programming, budgetting system). Model ini memandang bahwa perencanaan, penyusunan program, dan penyelenggaraan adalah satu sistem yang tak terpisahkan.[45]
b.      Pengorganisasian (Organizing)
Hicks & Gullett (1981) mengatakan bahwa pengorganisasian adalah kegiatan membagi-bagi tugas, tanggung jawab, dan wewenang di antara sekelompok orang untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.[46] Beberapa unsur organisasi yang harus diperhatikan adalah manusia yang bekerjasama, sasaran, jabatan, tanggung jawab dan wewenang, teknologi, dan lingkungan.[47]
Prinsip-prinsip dalam organisasi, menurut Siagian (1990) ada lima belas, yakni (1) kejelasan tujuan, (2) pemahaman tujuan oleh semua anggota, (3) penerimaan tujuan oleh semua anggota, (4) kesatuan arah, (5) kesatuan perintah, (6) fungsionalisasi, (7) deleniasi berbagai tugas, (8) keseimbangan wewenang dan tanggung jawab, (9) pembagian tugas, (10) kesederhanaan struktur, (11) pola dasar organisasi yang relatif permanen, (12) adanya pola pendelegasian wewenang, (13) retang pengawasan, (14) jaminan pekerjaan, dan (15) keseimbangan jasa dan imbalan.[48]
c.       Pergerakan/Pelaksanaan (Directing/Actuating)
Terry (1986) mendefinisikan actuating sebagai usaha menggerakkan anggota kelompok sedemikian rupa sehingga mereka berkeinginan dan berusaha  untuk mencapai sasaran perusahaan yang bersangkutan dan sasaran anggota perusahaan, karena anggota itu ingin mencapai sasaran-sasaran tersebut.[49] Secara sederhana, dalam konteks lembaga pendidikan Islam, actuating dapat diartikan sebagai  upaya menggerakkan tim sedemikian rupa untuk mencapai tujuan pendidikan Islam yang telah ditentukan.
Poin-poin penting yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan adalah motivasi, kepemimpinan dan komunikasi. Motivasi adalah dorongan berbuat setiap individu. Kepemimpinan adalah suatu proses mempengaruhi orang lain atau kelompok bawahan guna mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Komunikasi adalah suatu alat untuk menyampaikan ide, pesan, peringatan, dan instruksi dari seseorang kepada orang lain agar di antara mereka terdapat interaksi.[50]
d.      Pengawasan/Pengendalian (Controlling)
Konnts & O’Donnell (1964) mengartikan bahwa pengendalian atau pengawasan adalah pengukuran dan perbaikan terhadap pelaksanaan kerja bawahan agar rencana-rencana yang telah dibuat untuk mencapai tujuan organisasi dapat terselenggara dengan baik.[51] Dengan demikian, pengendalian mengandung makna penertiban, penilaian, dan perbaikan.
Proses pengendalian bisa diaktualisasikan melalui tahap-tahap yang telah disusun sebelumnya. Seorang pemimpin dapat melakukan pengendalian dengan baik apabila dia memiliki acuan apa yang ingin dikontrol. Tahap-tahap pengendalian banyak dikemukakan oleh para ahli, antara lain menurut pendapat Hasibuan (1990) menyatakan bahwa proses pengendalian atau kontrol dilakukan melalui langkah-langkah berikut: (1) melakukan standar-standar atau dasar untuk melakukan kontrol, (2) mengukur pelaksanaan kerja, (3) membandingkan pelaksanaan dengan standar utama, (4) melakukan tindakan-tindakan perbaikan jika terdapat penyimpangan (deviasi) agar pelaksanaan dan tujuan sesuai dengan rencana.[52]

Keempat sudut pandang tersebut sebetulnya saling mengkait. Pengelompokan manajemen pendidikan Islam berdasarkan fungsinya, sebetulnya masuk di dalam  pengelompokkan manajemen menurut struktur organisasinya. Demikian juga pengelompokan macam-macam manajemen secara struktural, sebetulnya berada di dalam wilayah pengelompokan manajemen berdasarkan pada jenis lembaganya. Selanjutnya, pengelompokan jenis manajemen berdasarkan pada jenis lembaga, adalah masuk di dalam kajian manajemen berdasarkan konsep besarnya.

 










[1] Zaini Dahlan, Azharuddin Sahil, Qur’an Karim dan Terjemahan Artinya (Yogyakarta: UII Press, 2000), hal. 732.
[2] Prof. Dr. Abuddin Nata, M.A. Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Edisi Keempat (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hal. 334.
[3] Ibid.
[4] Ibid, hal 335.
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Ibid, hal 336.
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Didin Kurniadin, M.Pd., Dr. Imam Machali, M.Pd., Manajemen Pendidikan: Konsep & Prinsip Pengelolaan Pendidikan (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2012), hal. 75.
[11] Ibid, hal 79.
[12] Ibid, hal 92.
[13] Ibid, hal. 95.
[14] Ibid, hal 96.
[15] Ibid, hal 98.
[16] Ibid.
[17] Ibid, hal 102.
[18] Ibid, hal 103.
[19] Prof. Dr. Husaini Usman, M.Pd., M.T., Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan, Edisi 4 (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2013), hal. 15.
[20] Ibid, hal. 16.
[21] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hal. 117-121.
[22] Marno, M.Ag., Triyo Supriyatno, M.Ag., Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan Islam (Bandung: PT. Refika Aditama, 2008), hal. 62.
[23] Prof. Dr. H. Haidar Putra Daulay, M.A., Pendidikan islam: Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hal.28.
[24] Ibid, hal 28-29.
[25] Ibid, hal 29-30.
[26] Ibid, hal. 30.
[27] Ibid.
[28] Ibid, hal 47.
[29] Ibid, hal 48.
[30] Ibid.
[31] Baca buku Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan nasional di Indonesia karya Prof. Dr. H. Haidar Putra Daulay, M.A., di halaman 41-44.
[32] Marno, M.Ag., Triyo Supriyatno, M.Ag., Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan Islam (Bandung: PT. Refika Aditama, 2008), hal 86.
[33] http://ferigramesa.blogspot.com/2011/12/macam-macam-manajemen-pendidikan-islam.html.
[34] Baca Dimensi-Dimensi Administrasi Pendidikan di Sekolah karya Drs. B. Suryo Subroto, hal 36-45.
[35] Drs. B. Suryo Subroto, Dimensi-Dimensi Administrasi Pendidikan di Sekolah (Jakarta: Bina Aksara, 1984), hal. 75.
[36] Ibid, hal 75-76.
[37] Syaiful Sagala, Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu Pendidikan: Pembuka Ruang Kreativitas, Inovasi, dan Pemberdayaan Potensi Sekolah dalam Sistem Otonomi Sekolah (Bandung: Alfabeta, 2013), hal 99.
[38] Drs. B. Suryo Subroto, Dimensi-Dimensi Administrasi Pendidikan di Sekolah, hal. 130.
[39] Ibid.
[40] Marno, M.Ag., Triyo Supriyatno, M.Ag., Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan Islam, hal. 95.
[41] Ibid, hal 95-96.
[42] Ibid, hal 77.
[43] Marno, M.Ag., Triyo Suprayitno, M.Ag., Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan Islam (Bandung: PT.  Refika Aditama, 2008),  hal.12.
[44] Ibid, hal. 14.
[45] Didin Kurniadin, M.Pd., Dr. Ilham Machali, M.Pd., Manajemen Pendidikan: Konsep & Prinsip Pengelolaan Pendidikan (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2012), hal. 177.
[46] Marno, M.Ag., Triyo Suprayitno, M.Ag., Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan Islam hal 16.
[47] Ibid, hal. 18.
[48] Ibid.
[49] Ibid, hal. 21
[50] Ibid, hal. 23.
[51] Ibid, hal. 24.
[52] Ibid, hal. 27.

0 komentar :

Posting Komentar