Selasa, 11 November 2014

BAB II
AL-QUR’AN DAN WAHYU

A. PENGERTIAN AL-QUR’AN
            Secara etimologis Al-Qur’an adalah mashdar (infinitif) dari qara-a---yaqra-u—qira-atan—qur’a-nan yang berarti bacaan. Al-Qur’an dalam pengertian bacaan ini misalnya terdapat dalam firman Allah SWT:
¨bÎ) $uZøŠn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ   #sŒÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè% ÇÊÑÈ  
            “Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu.” (Q.S. Al-Qiyamah 75:17-18)
            Di samping dalam pengertian mashdar dengan pengertian bacaan atau cara membacaranya, Qur’an juga dapat dipahami dalam pengertian maf’ul, dengan pengertian yang dibaca (maqru’). Dalam hal ini apa yang dibaca (maqru’) diberi nama bacaan (qur’an) atau penamaan maf’ul dengan mashdar.
            Menurut sebagian ulama seperti Imam Syafi’i, sebagaimana dikutip as-Suyûthi[1], Qur’an adalah ism ‘alam ghairu musytâq (nama sesuatu yang tidak ada asal katanya), merupakan nama khusus untuk firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, seperti halnya Taurah dan Injil yang juga tidak ada asal katanya. Jika Qur’an berasal dari kata qara-a berarti setiap yang dibaca dapat dinamai Qur’an.[2]
            Secara terminologis, Al-Qur’an  adalah:
كلامُ اللهِ المنزّلُ على محمّدٍ صلىّ اللهُ عليهِ وسلّم المتلو بالتّواترِ والمتعبّدُ بتلاوتهِ
            “Firman Allah yang diturunkan kepada Muhammad SAW, yang dibaca dengan mutawatir dan beribadah dengan membacanya”.
            Pengertian terminologis di atas dinilai cukup untuk mendefenisikan apa itu Al-Qur’an. Penyebutan lafzh al-jalâlah Allah setelah kalâm (firman-perkataan) membedakan Al-Qur’an dari kalâm atau perkataan malaikat, jin dan manusia. Sifat al-munazzal (yang diturunkan) setelah kalâmullah (firman Allah) diperlukan untuk membedakan Al-Qur’an dari kalam Allah yang lainnya, karena langit dan bumi dan seluruh isinya juga termasuk kalam Allah. Keterangan ‘Ala Muhammadin Shallahu ‘alaihi wa sallam diperlukan untuk membedakan Al-Qur’an dengan kalam Allah lainnya yang diturunkan kepada nabi dan rasul sebelumnya seperti Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa AS, Zabur kepada Nabi Daud AS, Injil kepada Nabi ‘Isa AS dan Shuhuf Ibrahim dan Musa AS. Sifat bi at-tâwatur diperlukan untuk membedakan Al-Qur’an dengan firman Allah lainnya yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW tapi tidak masuk kategori mutawatir seperti hadits âhâd. Karena hadits nabawi pun ada yang bersifat mutawatir maka untuk membedakannya dengan Al-Qur’an ditambahkan keterangan di bagian akhir defenisi al-muta’abbad bi tilâwatihi, karena hanya Al-Qur’an lah firman Allah SWT yang dibaca di waktu melaksanakan ibadah seperti shalat (maksudnya setelah membaca Surat Al-Fatihah), sedangkan firman Allah berupa hadits tidak dibaca dalam shalat.
            Sebagian ulama masih menambahkan sifat lain. Misalnya, Muhammad ‘Ali ash-Shabûni menambahkan sifat al-mu’jiz (mukjizat), bi wâsithah al-Amin Jibril ‘alaihi as-salâm (melalui perantaraan Malaikat Jibril), al-maktûb fi al-mashâhif (tertulis dalam mushaf-mushaf), al-Mabdu’ bi Sûrah al-Fâtihah (diawali dengan Surat Al-Fâtihah), dan al-Mukhattam bi Sûrah an-Nâs (ditutup dengan Surat An-Nâs). Lengkapnya defenisi Al-Qur’an versi ash-Shabûni[3] adalah:
هو كلام الله المعجز, المنزّل على خاتم اللأنبياء والمرسلين, بواسطة الأمين جبريل عليه السلام , المكتوب في االمصاحف,  المنقول إلينا بالتواتر, المتعبّد بتلاوته, المبدؤ بسورة الفاتحة, المختم بسورة النّاس
            “Al-Qur’an adalah firman Allah yang bersifat mukjizat, diturunkan kepada penutup para nabi dan rasul, dengan perantaraan al-Amin Jibril ‘alaihi as-salam, ditulis di mushaf-mushaf, diriwayatkan kepada kita dengan mutawatir, bernilai ibadah membacanya, dimulai dengan Surat Al-Fatihah dan ditutup dengan Surat An-Nas”
            Defenisi ash-Shabuni di atas lebih tepat digunakan untuk mushaf, bukan Al-Qur’an, karena yang disebut Al-Qur’an tidak hanya yang ditulis di dalam mushaf, tetapi juga yang dibaca secara lisan berdasarkan hafalan. Apalagi pada era teknologi informasi sekarang ini, Al-Qur’an tidak hanya dalam bentuk mushaf yang tertulis tetapi juga dalam bentuk digital, compact disc dan rekaman suara.
            Perlu juga ditambahkan di sini bahwa istilah Al-Qur’an  di samping digunakan untuk keseluruhan juga untuk sebagian. Jika anda membaca satu Surat bahkan satu ayat saja dari Kitab Suci Al-Qur’an anda sudah disebut membaca Al-Qur’an. Allah SWT berfirman:
#sŒÎ)ur ˜Ìè% ãb#uäöà)ø9$# (#qãèÏJtGó$$sù ¼çms9 (#qçFÅÁRr&ur öNä3ª=yès9 tbqçHxqöè? ÇËÉÍÈ  
            “Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (Q.S. Al-‘Araf 7:204)
            Perintah untuk mendengarkan Al-Qur’an dalam ayat di atas berlaku baik tatkala Al-Qur’an dibacakan seluruhnya atau dibacakan sebagiannya saja.
            Demikianlah defenisi Al-Qur’an secara etimologis dan terminologis. Lalu apa beda Al-Qur’an dengan Hadits Qudsi yang juga merupakan kalam Allah?      Perbedaannya ada pada teks (redaksi). Al-Qur’an adalah firman Allah yang teks (redaksi) dan maknanya (isi) dari Allah SWT (lafzhan wa ma’nan minallah). Nabi Muhammad SAW hanya berperan menerima dan menyampaikan apa adanya sebagaimana yang diwahyukan kepada beliau.
            Sedangkan Hadits Qudsi, adalah firman Allah yang maknanya (isi) datang dari Allah tetapi teks (redaksi) nya dari Rasulullah SAW.
            Sementara itu hadits Nabi umumnya (yang bukan hadits qudsi)  sekali pun teks (redaksi) dan maknanya (isi) datang dari Nabi Muhammad SAW, tetapi tetap bersumber  dari wahyu baik secara langsung mau pun tidak langsung.  Untuk hal-hal yang tidak mungkin bersumber dari hasil ijtihad beliau sendiri tentu Nabi mengetahuinya dari firman Allah SWT yang diwahyukan kepada beliau, misalnya tentang alam barzakh, peristiwa yang akan terjadi di Akhirat, pahala dan dosa, sorga dan neraka dan hal-hal ghaib lainnya. Untuk hal-hal seperti itu tentu sumbernya dari Allah sekali pun Nabi tidak mengatakannya sebagai firman Allah sebagaimana Al-Qur’an dan Hadits Qudsi. Ini lah yang dimaksud dengan hadits nabawi yang bersumber dari wahyu secara langsung. Sedangkan untuk hal-hal yang diungkapkan oleh Nabi berdasarkan ijtihad beliau sendiri, maka nilai wahyu nya terletak pada kontrol yang diberikan. Jika ada di antara ijtihad Nabi itu yang salah, Allah SWT akan langsung mengoreksinya seperti peristiwa yang terjadi antara Nabi dan Abdullah ibn Ummi Maktum di Makkah yang kemudian menjadi sebab turunnya Surat ‘Abasa. Inilah yang dimaksud dengan hadits nabawi yang bersumber dari wahyu secara tidak langsung.
            Jadi ringkasnya perbedaan antara Al-Qur’an, Hadits Qudsi dan Hadits Nabawi lainnya adalah sebagai berikut:
            Al-Qur’an: Isi dan redaksi dari Allah SWT
            Hadits Qudsi: Isi dari Allah SWT dan redaksi dari Nabi Muhammad SAW
            Hadits Nabawi: Isi dan redaksi dari Nabi Muhammad SAW, tetapi bersumber dari wahyu langsung atau tidak langsung.

B. NAMA-NAMA, SIFAT DAN FUNGSI AL-QUR’AN
            Al-Qur’an mempunyai beberapa nama yang sekaligus menunjukkan fungsinya. Al-Qur’an dan Al-Kitâb adalah dua nama yang paling populer. Di samping itu Al-Qur’an juga dinamai Al-Furqân, Adz-Dzikr dan At-Tanzîl. Berikut ini adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang menyebutkan nama-nama tersebut, dan sedikit penjelasan tentang wajh at-tasmiyah.




1. Al-Qur’an
¨bÎ) #x»yd tb#uäöà)ø9$# Ïöku ÓÉL¯=Ï9 šÏf ãPuqø%r& çŽÅe³u;ãƒur tûüÏZÏB÷sßJø9$# tûïÏ%©!$# tbqè=yJ÷ètƒ ÏM»ysÎ=»¢Á9$# ¨br& öNçlm; #\ô_r& #ZŽÎ6x. ÇÒÈ  
            “Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (Q.S. Al-Isra’ 17:9)
            Dinamai Al-Qur’an, karena kitab suci terakhir yang diturunkan Allah SWT ini berfungsi sebagai bacaan sesuai dengan arti kata Qur’an itu sendiri sebagaimana yang sudah dijelaskan pada bagian awal bab ini.

2.Al-Kitâb
y7Ï9ºsŒ Ü=»tGÅ6ø9$# Ÿw |=÷ƒu ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`ŠÉ)­FßJù=Ïj9 ÇËÈ  
            “Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.” (Q.S. Al-Baqarah 2:2)
            Al-Kitab secara bahasa berarti al-jam’u (mengumpulkan). Menurut as-Suyûthi, dinamai Al-Kitâb karena Al-Qur’an mengumpulkan berbaga macam ilmu, kisah dan berita.[4] Menurut Muhammad Abdullah Drâz, sebagaimana dikutip Manna’ al-Qathân, Al-Qur’an di samping dipelihara melalui lisan, juga dipelihara dengan tulisan. Penamaannya dengan Al-Qur’an dan Al-Kitâb, dua nama yang paling populer, mengisyaratkan bahwa kitab suci Al-Qur’an haruslah dipelihara melalui dua cara secara bersama, tidak dengan salah satu saja,  yaitu melalui hafalan (hifzhuhu fi as-suthûr) dan melalui tulisan (hifzhuhu fi as-shudûr).[5]

3. Al-Furqân
x8u$t6s? Ï%©!$# tA¨tR tb$s%öàÿø9$# 4n?tã ¾ÍnÏö6tã tbqä3uÏ9 šúüÏJn=»yèù=Ï9 #·ƒÉtR ÇÊÈ  
            “Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar Dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (Q.S. Al-Furqan 25:1)
            Al-Furqân, masdar dari  asal kata faraqa, dalam wazan fu’lân, mengambil bentuk sifat musyabahah dengan arti ‘yang sangat memisahkan’. Dinamai demikian karena Al-Qur’an memisahkan dengan tegas antara haq dan batil, antara benar dan salah dan antara baik dan buruk.

4. Adz-Dzikr
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ  
            Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikr (Al Quran) dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Q.S. Al-Hijr 15:9)
            Adz-Dzikr artinya ingat, mengingatkan. Dinamai Adz-Dzikr karena di dalam kitab suci ini terdapat pelajaran dan nasehat dan kisah umat masa yang lalu. Adz-Dzikr juga berarti asy-syaraf (kemuliaan) sebagaimana terdapat dalam firman Allah:
¼çm¯RÎ)ur ֍ø.Ï%s! y7©9 y7ÏBöqs)Ï9ur ( t$ôqyur tbqè=t«ó¡è? ÇÍÍÈ  
                Dan Sesungguhnya Al Quran itu benar-benar adalah suatu kemuliaan besar bagimu dan bagi kaummu dan kelak kamu akan diminta pertanggungan jawab.” (Q.S. Az-Zukhruf 43:44)[6]

5. At-Tanzîl
¼çm¯RÎ)ur ã@ƒÍ\tGs9 Éb>u tûüÏHs>»yèø9$# ÇÊÒËÈ   tAttR ÏmÎ/ ßyr9$# ßûüÏBF{$# ÇÊÒÌÈ  
            “Dan Sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril).” Q.S. Asy-Syu’ara 26: 192-193)
            At-Tanzîl artinya yang benar-benar diturunkan. Dinamai demikian karena Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril.
            Demikianlah lima nama Al-Qur’an yang umumnya disepakati oleh para ulama sebagai nama-nama Al-Qur’an. Ada pun nama-nama lain seperti An-Nûr, Mau’izhah, Syifâ’, Hudan, Rahmah dan lain sebagainya, menurut sebagian ulama bukanlah nama-nama Al-Qur’an, tetapi sifat-sifatnya. Sementara sebagian ulama seperti as-Suyûthi mengganggapnya sebagai nama-nama Al-Qur’an juga. Menurut as-Suyûthi, mengutip Abu al-‘Ali ‘Uzaiza ibn Abdillah Syaidzalah, salah seorang fuqahâ’ Syafi’iyyah, penulis kitab Al-Burhân fi Musykilât Al-Qur’an, Allah SWT menamai Al-Qur’an dengan 55 nama. [7]
            Di antara sifat-sifat Al-Qur’an yang disebutkan dalam beberapa ayat adalah sebagai berikut:
1. Nûr
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# ôs% Nä.uä!%y` Ö`»ydöç/ `ÏiB öNä3În/§ !$uZø9tRr&ur öNä3ös9Î) #YqçR $YYÎ6B ÇÊÐÍÈ  
            “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu. (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Quran).” (Q.S. An-Nisa’ 4:174)

2. Mau’izhah, Syifâ’, Hudan dan Rahmah
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# ôs% Nä3ø?uä!$y_ ×psàÏãöq¨B `ÏiB öNà6În/§ Öä!$xÿÏ©ur $yJÏj9 Îû ÍrߐÁ9$# Yèdur ×puH÷quur tûüÏYÏB÷sßJù=Ïj9 ÇÎÐÈ  
            “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Q.S. Yunus 11:57)
3. Mubîn
4... ôs% Nà2uä!%y` šÆÏiB «!$# ÖqçR Ò=»tGÅ2ur ÑúüÎ7B ÇÊÎÈ  
            “... Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan.” (Q.S. Al-Maidah 5:57)

4. Mubârak
#x»ydur ë=»tGÏ. çm»oYø9tRr& Ô8u$t6ãB ä-Ïd|ÁB Ï%©!$# tû÷üt/ Ïm÷ƒytƒ ... ÇÒËÈ  
            “Dan ini (Al Quran) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan Kitab-Kitab yang (diturunkan) sebelumnya...” (Q.S. Al-An’am 6: 92)

5. Basyîr dan Nadzîr
Ò=»tGÏ. ôMn=Å_Áèù ¼çmçG»tƒ#uä $ºR#uäöè% $|Î/ttã 5Qöqs)Ïj9 tbqßJn=ôètƒ ÇÌÈ   #ZŽÏ±o0 #\ƒÉtRur uÚtôãr'sù öNèdçŽsYò2r& ôMßgsù Ÿw tbqãèyJó¡o ÇÍÈ  
            “Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui. Yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling, tidak mau mendengarkan.” (Q.S. Fushilat 41: 3-4)

6. Majîd
ö@t/ uqèd ×b#uäöè% ÓÅg¤C ÇËÊÈ  
                “Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Quran yang mulia. “ (Q.S. Al-Buruj 85:21)

C. PENGERTIAN WAHYU
            Kata wahyu adalah bentuk mashdar (infinitif) dari auha-yuhi-wahyan dengan dua pengertian pokok yaitu al-khafâ (tersembunyi) dan as-sur’ah (cepat). Oleh sebab itu, secara etimologis wahyu didefenisikan sebagai:
االإعلام الخفي السريع الخاص بمن يوجه إليه بحيث يخفي على غيره
            "Pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat yang khusus ditujukan kepada orang yang diberitahu tanpa diketahui oleh yang lainnya" [8]
            Secara terminologis wahyu adalah:
كلام الله تعالى  المنزل على نبي من أنبياءه
            “Firman Allah SWT yang diturunkan kepada nabi-nabi-Nya.”[9]

D. PENGGUNAAN ISTILAH WAHYU DALAM AL-QUR’AN
            Istilah wahu  di dalam Al-Qur’an tidak hanya digunakan dalam pengertian firman Allah SWT yang diturunkan kepada nabi-nabi-Nya, tetapi juga digunakan dalam pengertian lain yang beragam. Berikut ini beberapa ayat Al-Qur’an yang menggunakan istilah wahyu dalam pengertian lain tersebut:
1. Al-Ilham al-fithri li al-insan
!$uZøŠym÷rr&ur #n<Î) ÏdQé& #ÓyqãB ÷br& ÏmÏèÅÊör& ( #sŒÎ*sù ÏMøÿÅz Ïmøn=tã ÏmŠÉ)ø9r'sù Îû ÉdOuŠø9$# Ÿwur Îû$sƒrB Ÿwur þÎTtøtrB ( $¯RÎ) çnrŠ!#u Å7øs9Î) çnqè=Ïæ%y`ur šÆÏB šúüÎ=yößJø9$# ÇÐÈ  
            “Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.” (Q.S. Al-Qashash 28:7)
            Wahyu dalam ayat di atas berarti ilham yang diberikan Allah SWT kepada ibu Musa untuk menyusukan bayinya yang dihanyutkan ke sungai Nil dalam rangka menyelamatkannya dari pembunuhan semua bayi Bani Israil sebagaimana yang diperintahkan Fir’aun.

2. Al-Ilham al-gharizi li al-hayawan
4ym÷rr&ur y7/u n<Î) È@øtª[$# Èbr& ÉσªB$# z`ÏB ÉA$t6Ågø:$# $Y?qãç/ z`ÏBur ̍yf¤±9$# $£JÏBur tbqä©Ì÷ètƒ ÇÏÑÈ  
            “Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia", (Q.S. An-Nahl 16:68)
            Wahyu dalam ayat di atas berarti instink yang diberikan oleh Allah SWT kepada lebah untuk membuat sarang di bukit, pohon-pohon kayu  dan tempat-tempat yang dibikin manusia.

3. Al-Isyarah as-sari’ah
yltsƒmú 4n?tã ¾ÏmÏBöqs% z`ÏB É>#tósÏJø9$# #Óyr÷rr'sù öNÍköŽs9Î) br& (#qßsÎm7y Zotõ3ç/ $|ϱtãur ÇÊÊÈ  
            “Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang.” (Q.S. Maryam 19:11)
            Wahyu dalam ayat di atas berarti isyarat fisik yang diberikan oleh Zakariya kepada umatnya untuk bertasbih di waktu pagi dan petang. Ayat ini bercerita tentang Nabi Zakariya yang berpuasa bicara tiga hari tiga malam sebagai tanda isterinya akan hamil dan kemudian melahirkan Yahya.

4. Waswasatu asy-Syaithan
Ÿwur (#qè=à2ù's? $£JÏB óOs9 ̍x.õムÞOó$# «!$# Ïmøn=tã ¼çm¯RÎ)ur ×,ó¡Ïÿs9 3 ¨bÎ)ur šúüÏÜ»u¤±9$# tbqãmqãs9 #n<Î) óOÎgͬ!$uÏ9÷rr& öNä.qä9Ï»yfãÏ9 ( ÷bÎ)ur öNèdqßJçG÷èsÛr& öNä3¯RÎ) tbqä.ÎŽô³çRmQ ÇÊËÊÈ  
            “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (Q.S. Al-An’am 6:121)
            Wahyu dalam ayat di atas berarti bisikan sesama syaitan untuk membantah orang-orang yang beriman.

5. Ma yulqihillahu ila malaikatihi min amrin liyaf’aluhu
øŒÎ) ÓÇrqムy7/u n<Î) Ïps3Í´¯»n=yJø9$# ÎoTr& öNä3yètB (#qçGÎm;sWsù šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä 4 Å+ø9é'y Îû É>qè=è% šúïÏ%©!$# (#rãxÿx. |=ôã9$# (#qç/ÎŽôÑ$$sù s-öqsù É-$oYôãF{$# (#qç/ÎŽôÑ$#ur öNåk÷]ÏB ¨@à2 5b$uZt/ ÇÊËÈ  
            “(ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para Malaikat: "Sesungguhnya aku bersama kamu, maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang telah beriman". Kelak akan aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka.” (Q.S. Al-Anfal 8:12)
            Wahyu dalam ayat di atas berarti perintah Allah SWT kepada para malaikat untuk meneguhkan hati orang-orang yang beriman (dalam Perang Badar) dan memasukkan rasa takut ke dalam hati musuh-musuh mereka kaum musyrikin Mekkah.


D. CARA TURUNNYA WAHYU KEPADA PARA NABI
            Karena wahyu secara terminologis adalah firman Allah yang diturunkan kepada nabi-nabi-Nya maka perlu juga dikemukakan dalam kesempatan ini bagaimana cara Allah menurunkan wahyu kepada para nabi.
            Di dalam Surat As-Syura ayat 51 dijelaskan bagaimana Allah menurunkan wahyunya kepada seseorang. Allah SWT berfirman:
* $tBur tb%x. AŽ|³u;Ï9 br& çmyJÏk=s3ムª!$# žwÎ) $·ômur ÷rr& `ÏB Ç!#uur A>$pgÉo ÷rr& Ÿ@Åöãƒ Zwqßu zÓÇrqãsù ¾ÏmÏRøŒÎ*Î/ $tB âä!$t±o 4 ¼çm¯RÎ) ;Í?tã ÒOŠÅ6ym ÇÎÊÈ  
                “Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (Q. S. Asy-Syura 42:51)
            Yang dimaksud dengan perantaraan wahyu dalam ayat di atas adalah melalui mimpi atau ilham.[10] Sedangkan yang dimaksud dengan di belakang tabir ialah seorang dapat mendengar kalam Ilahi akan tetapi dia tidak dapat melihat-Nya seperti yang terjadi kepada Nabi Musa a.s. Rasul yang dimaksud dalam ayat di atas adalah Malaikat seperti Malaikat Jibril AS.
            Dari ayat di atas dapat disimpulkan ada tiga ara turunnya wahyu kepada para Nabi. (1) Melalui mimpi yang benar (ru’ya shâlihah fi al-manâm); (2) Dari balik tabir (min warâ’ hijâb; (3) Melalui perantaraan Malaikat seperti Malaikat Jibril.
1. Melalui Mimpi Yang Benar
            Wahyu dengan cara ini disampaikan langsung kepada para nabi tanpa perantara Malaikat. Contohnya  adalah mimpi Nabi Ibrahim AS agar menyembelih puteranya Isma’il. Allah SWT berfirman:
çm»tRö¤±t6sù AO»n=äóÎ/ 5OŠÎ=ym ÇÊÉÊÈ   $¬Hs>sù x÷n=t/ çmyètB zÓ÷ë¡¡9$# tA$s% ¢Óo_ç6»tƒ þÎoTÎ) 3ur& Îû ÏQ$uZyJø9$# þÎoTr& y7çtr2øŒr& öÝàR$$sù #sŒ$tB 2ts? 4 tA$s% ÏMt/r'¯»tƒ ö@yèøù$# $tB ãtB÷sè? ( þÎTßÉftFy bÎ) uä!$x© ª!$# z`ÏB tûïÎŽÉ9»¢Á9$# ÇÊÉËÈ   !$£Jn=sù $yJn=ór& ¼ã&©#s?ur ÈûüÎ7yfù=Ï9 ÇÊÉÌÈ   çm»oY÷ƒy»tRur br& ÞOŠÏdºtö/Î*¯»tƒ ÇÊÉÍÈ   ôs% |Mø%£|¹ !$tƒöä9$# 4 $¯RÎ) y7Ï9ºxx. ÌøgwU tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÊÉÎÈ   žcÎ) #x»yd uqçlm; (#às¯»n=t7ø9$# ßûüÎ7ßJø9$# ÇÊÉÏÈ   çm»oY÷ƒysùur ?xö/ÉÎ/ 5OŠÏàtã ÇÊÉÐÈ   $oYø.ts?ur Ïmøn=tã Îû tûï̍ÅzFy$# ÇÊÉÑÈ   íN»n=y #n?tã zOŠÏdºtö/Î) ÇÊÉÒÈ   y7Ï9ºxx. ÌøgwU tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÊÊÉÈ   ¼çm¯RÎ) ô`ÏB $tRÏŠ$t6Ïã šúüÏZÏB÷sßJø9$# ÇÊÊÊÈ   çm»tR÷ޤ³o0ur t,»ysóÎ*Î/ $wŠÎ;tR z`ÏiB šúüÅsÎ=»¢Á9$# ÇÊÊËÈ  
            “Maka Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ). Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu)"Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim".Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman. Dan Kami beri dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishaq seorang Nabi yang termasuk orang-orang yang saleh.” (Q.S. Ash-Shaffat 37: 101-112)
           
2. Dari Balik Tabir
            Wahyu dengan cara ini juga disampaikan secara langsung kepada para nabi tanpa perantara Malaikat. Nabi yang menerima wahyu dapat mendengar kalam Ilahi akan tetapi dia tidak dapat melihat-Nya seperti yang terjadi kepada Nabi Musa AS. Allah SWT berfirman:
$£Js9ur uä!%y` 4ÓyqãB $uZÏF»s)ŠÏJÏ9 ¼çmyJ¯=x.ur ¼çmš/u tA$s% Éb>u þÎTÍr& öÝàRr& šøs9Î) 4 tA$s% `s9 ÓÍ_1ts? Ç`Å3»s9ur öÝàR$# n<Î) È@t6yfø9$# ÈbÎ*sù §s)tGó$# ¼çmtR$x6tB t$öq|¡sù ÓÍ_1ts? 4 $£Jn=sù 4©?pgrB ¼çmš/u È@t7yfù=Ï9 ¼ã&s#yèy_ $y2yŠ §yzur 4ÓyqãB $Z)Ïè|¹ 4 !$£Jn=sù s-$sùr& tA$s% šoY»ysö6ß àMö6è? šøs9Î) O$tRr&ur ãA¨rr& tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇÊÍÌÈ  
                “Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman". (Q.S. Al-‘Araf 7: 143)
Wxßâur ôs% öNßg»oYóÁ|Ás% šøn=tã `ÏB ã@ö6s% Wxßâur öN©9 öNßgóÁÝÁø)tR šøn=tã 4 zN¯=x.ur ª!$# 4ÓyqãB $VJŠÎ=ò6s? ÇÊÏÍÈ  
                “Dan (kami telah mengutus) Rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan Rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.” (Q.S. An-Nisa’ 4: 164)
            Di samping dengan Nabi Musa AS, Allah SWT pun telah berbicara langsung kepada Nabi Muhammad SAW pada malam Isra’ Mi’raj. Nabi dapat mendengar firman Allah langsung tanpa perantara Jibril tetapi tidak dapat melihat-Nya. Di dalam Al-Qur’an tidak ada satu pun ayat yang diterima dengan cara ini.[11]

3. Melalui Perantaraan Malaikat
            Cara yang ketiga wahyu Allah diturunkan kepada para nabi-Nya adalah melalui perantaraan malaikat penyampai wahyu seperti Malaikat Jibril AS. Keseluruhan ayat-ayat dari Kitab Suci Al-Qur’an diturunkan dengan cara ini. Ada dua cara Malaikat Jibril datang menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad SAW:
a. Datang kepada Nabi suara seperti dencingan lonceng dan suara yang amat kuat yang mempengaruhi faktor-faktor kesadaran, sehingga Nabi dengan segala kekuatannya siap menerima pengaruh itu. Cara ini yang paling berat buat Nabi. Apabila wahyu turun kepada Rasulullah SAW dengan cara ini maka beliau akan mengumpulkan segala kekuatan kesadarannya untuk menerima, menghafal dan memahaminya. Dan suara itu mungkin sekali suara kepakan sayap-sayap para malaikat, seperti diisyaratkan dalam hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا قَضَى اللَّهُ الْأَمْرَ فِي السَّمَاءِ ضَرَبَتِ الْمَلَائِكَةُ بِأَجْنِحَتِهَا خُضْعَانًا لِقَوْلِهِ كَالسِّلْسِلَةِ عَلَى صَفْوَانٍ (رواه البخاري)

            “Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Nabi SAW bersabda: “Apabila Allah menghendaki suatu urusan di langit, maka para malaikat memukul-mukulkan sayapnya karena tunduk kepada firman-Nya bagaikan gemerincing mata rantai di atas batu-batu yang licin.” (H. R. Bukhari)[12]
b. Malaikat menjelma menjadi seorang laki-laki lalu datang menyampaikan wahyu kepada Nabi. Cara ini lebih ringan dari cara yang pertama, karena adanya kesesuaian antara pembicara dan pendengar, seperti seseorang yang berbicara dengan saudaranya sendiri. Menurut Ibn Khaldun, seperti dikutip Manna' Qathan, dalam keadaan yang pertama Rasulullah, melepaskan kodratnya sebagai manusia yang bersifat jasmani untuk berhubungan dengan malaikat yang rohani sifatnya. Sedangkan dalam keadaan lain sebaliknya, malaikat berobah diri dari yang rohani semata menjadi manusia jasmani.[13]
            Tentang dua cara Malaikat Jibril datang membawa wahyu kepada Nabi ini disebutkan dalam hadits riwayat Aisyah RA.
 عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِي اللَّه عَنْهَا أَنَّ الْحَارِثَ بْنَ هِشَامٍ رَضِي اللَّه عَنْه سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ يَأْتِيكَ الْوَحْيُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْيَانًا يَأْتِينِي مِثْلَ صَلْصَلَةِ الْجَرَسِ وَهُوَ أَشَدُّهُ عَلَيَّ فَيُفْصَمُ عَنِّي وَقَدْ وَعَيْتُ عَنْهُ مَا قَالَ وَأَحْيَانًا يَتَمَثَّلُ لِيَ الْمَلَكُ رَجُلًا فَيُكَلِّمُنِي فَأَعِي مَا يَقُولُ قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِي اللَّه عَنْهَا وَلَقَدْ رَأَيْتُهُ يَنْزِلُ عَلَيْهِ الْوَحْيُ فِي الْيَوْمِ الشَّدِيدِ الْبَرْدِ فَيَفْصِمُ عَنْهُ وَإِنَّ جَبِينَهُ لَيَتَفَصَّدُ عَرَقًا *(رواه البخاري)
          “Diriwayatkan dari ‘Aisyah Ummul Mukminin RA, bahwasanya al-Harits ibn Hisyam RA bertanya kepada Rasulullah SAW. Dia berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana datang wahyu kepada engkau?”. Rasulullah SAW menjawab: “Kadang-kadang datang kepadaku sebagaimana gemerincing lonceng dan itulah yang paling berat bagiku. Lalu ia pergi dan aku telah menyadari apa yang dikatakannya. Dan kadang pula Malaikat menjelma di hadapanku sebagai seorang laki-laki lalu dia berbicara kepadaku dan aku pun memahami apa yag dia katakan. Aisyah RA mengatakan: “Aku pernah melihat beliau tatkala wahyu sedang turun kepadanya, pada suatu hari yang amat dingin. Lalu Malaikat itu pergi, sedang keringat pun mengucur dari dahi Rasulullah SAW.” (H.R. Bukhari)[14]

           
























[1] Al-Hâfizh Jalâl ad-Dîn ‘Abd ar-Rahmân as-Suyûthi, Al-Itqân fi ‘Ulûm Al-Qur’an (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyah, 2003), juz 1 hlm. 146.
[2] Lihat juga Shubhi as-Shâlih, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, terjemahan Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hlm. 10.
[3] Muhammad ‘Ali ash-Shabûni, At-Tibyân  Fi ‘Ulûm Al-Qur’an, hlm. 6
[4][4] As-Suyûthi, Al-Itqân ...jld I  hlm. 146
[5] Manna’ al-Qathân, Mabâhits...hlm. l22.
[6] As-Suyûthi, Al-Itqân....I: 147-148.
[7] As-Suyûthi, Al-Itqân...I:143-146.
[8] Manna’ al-Qathân, Mabâhits ...hlm. 32.
[9] Manna’ al-Qathân, Mabâhits...hlm. 32.
[10] Jalâl ad-Dîn Muhammad ibn Ahmad Al-Mahalli dan Jalâl ad-Dîn ‘Abd ar-Rahmân ibn Abi Bakar as-Suyûthi, Tafsir al-Jalâlain, Maktabah Syâmilah 9:334

[11] Manna’ al-Qathân, Mabâhits ...hlm. 38.
[12] Maktabah Syâmilah, Shahîh al-Bukhâri, hadits no 4332.
[13] Manna’ Khalil Qathan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terjemahan Mudzakkir (Jakarta: Litera Antar Nusa, cet ke-8 tahun 2004), hlm. 49.
[14] Maktabah Syamilah, Shahih al-Bukhari, hadits no 2

0 komentar :

Posting Komentar