BAB
II
AL-QUR’AN
DAN WAHYU
A. PENGERTIAN AL-QUR’AN
Secara etimologis
Al-Qur’an adalah mashdar (infinitif) dari qara-a---yaqra-u—qira-atan—qur’a-nan
yang berarti bacaan. Al-Qur’an dalam pengertian bacaan ini misalnya terdapat
dalam firman Allah SWT:
¨bÎ) $uZøn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ #sÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè% ÇÊÑÈ
“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah
mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami
telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu.” (Q.S. Al-Qiyamah 75:17-18)
Di samping dalam pengertian mashdar
dengan pengertian bacaan atau cara membacaranya, Qur’an juga dapat dipahami
dalam pengertian maf’ul, dengan pengertian yang dibaca (maqru’).
Dalam hal ini apa yang dibaca (maqru’) diberi nama bacaan (qur’an)
atau penamaan maf’ul dengan mashdar.
Menurut sebagian
ulama seperti Imam Syafi’i, sebagaimana dikutip as-Suyûthi[1], Qur’an adalah ism ‘alam
ghairu musytâq (nama sesuatu yang tidak ada asal katanya), merupakan nama
khusus untuk firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, seperti
halnya Taurah dan Injil yang juga tidak ada asal katanya. Jika Qur’an berasal
dari kata qara-a berarti setiap yang dibaca dapat dinamai Qur’an.[2]
Secara
terminologis, Al-Qur’an adalah:
كلامُ اللهِ المنزّلُ على محمّدٍ
صلىّ اللهُ عليهِ وسلّم المتلو بالتّواترِ والمتعبّدُ بتلاوتهِ
“Firman Allah yang diturunkan kepada
Muhammad SAW, yang dibaca dengan mutawatir dan beribadah dengan membacanya”.
Pengertian terminologis di atas
dinilai cukup untuk mendefenisikan apa itu Al-Qur’an. Penyebutan lafzh al-jalâlah
Allah setelah kalâm (firman-perkataan) membedakan Al-Qur’an dari kalâm
atau perkataan malaikat, jin dan manusia. Sifat al-munazzal (yang
diturunkan) setelah kalâmullah (firman Allah) diperlukan untuk
membedakan Al-Qur’an dari kalam Allah yang lainnya, karena langit dan bumi dan
seluruh isinya juga termasuk kalam Allah. Keterangan ‘Ala Muhammadin
Shallahu ‘alaihi wa sallam diperlukan untuk membedakan Al-Qur’an dengan
kalam Allah lainnya yang diturunkan kepada nabi dan rasul sebelumnya seperti
Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa AS, Zabur kepada Nabi Daud AS, Injil
kepada Nabi ‘Isa AS dan Shuhuf Ibrahim dan Musa AS. Sifat bi at-tâwatur
diperlukan untuk membedakan Al-Qur’an dengan firman Allah lainnya yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW tapi tidak masuk kategori mutawatir seperti
hadits âhâd. Karena hadits nabawi pun ada yang bersifat mutawatir maka
untuk membedakannya dengan Al-Qur’an ditambahkan keterangan di bagian akhir
defenisi al-muta’abbad bi tilâwatihi, karena hanya Al-Qur’an lah firman
Allah SWT yang dibaca di waktu melaksanakan ibadah seperti shalat (maksudnya
setelah membaca Surat Al-Fatihah), sedangkan firman Allah berupa hadits tidak
dibaca dalam shalat.
Sebagian ulama masih menambahkan
sifat lain. Misalnya, Muhammad ‘Ali ash-Shabûni menambahkan sifat al-mu’jiz
(mukjizat), bi wâsithah al-Amin Jibril ‘alaihi as-salâm (melalui
perantaraan Malaikat Jibril), al-maktûb fi al-mashâhif (tertulis dalam
mushaf-mushaf), al-Mabdu’ bi Sûrah al-Fâtihah (diawali dengan Surat
Al-Fâtihah), dan al-Mukhattam bi Sûrah an-Nâs (ditutup dengan Surat
An-Nâs). Lengkapnya defenisi Al-Qur’an versi ash-Shabûni[3] adalah:
هو كلام الله المعجز, المنزّل
على خاتم اللأنبياء والمرسلين, بواسطة الأمين جبريل عليه السلام , المكتوب في
االمصاحف, المنقول إلينا بالتواتر, المتعبّد
بتلاوته, المبدؤ بسورة الفاتحة, المختم بسورة النّاس
“Al-Qur’an adalah firman Allah yang
bersifat mukjizat, diturunkan kepada penutup para nabi dan rasul, dengan
perantaraan al-Amin Jibril ‘alaihi as-salam, ditulis di mushaf-mushaf,
diriwayatkan kepada kita dengan mutawatir, bernilai ibadah membacanya, dimulai
dengan Surat Al-Fatihah dan ditutup dengan Surat An-Nas”
Defenisi ash-Shabuni di atas lebih
tepat digunakan untuk mushaf, bukan Al-Qur’an, karena yang disebut Al-Qur’an
tidak hanya yang ditulis di dalam mushaf, tetapi juga yang dibaca secara lisan
berdasarkan hafalan. Apalagi pada era teknologi informasi sekarang ini,
Al-Qur’an tidak hanya dalam bentuk mushaf yang tertulis tetapi juga dalam
bentuk digital, compact disc dan rekaman suara.
Perlu juga
ditambahkan di sini bahwa istilah Al-Qur’an
di samping digunakan untuk keseluruhan juga untuk sebagian. Jika anda
membaca satu Surat bahkan satu ayat saja dari Kitab Suci Al-Qur’an anda sudah
disebut membaca Al-Qur’an. Allah SWT berfirman:
#sÎ)ur
Ìè% ãb#uäöà)ø9$# (#qãèÏJtGó$$sù ¼çms9 (#qçFÅÁRr&ur
öNä3ª=yès9
tbqçHxqöè? ÇËÉÍÈ
“Dan
apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah
dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (Q.S. Al-‘Araf 7:204)
Perintah
untuk mendengarkan Al-Qur’an dalam ayat di atas berlaku baik tatkala Al-Qur’an
dibacakan seluruhnya atau dibacakan sebagiannya saja.
Demikianlah
defenisi Al-Qur’an secara etimologis dan terminologis. Lalu apa beda Al-Qur’an
dengan Hadits Qudsi yang juga merupakan kalam Allah? Perbedaannya ada pada teks
(redaksi). Al-Qur’an adalah firman Allah yang teks (redaksi) dan maknanya (isi)
dari Allah SWT (lafzhan wa ma’nan minallah). Nabi Muhammad SAW hanya
berperan menerima dan menyampaikan apa adanya sebagaimana yang diwahyukan
kepada beliau.
Sedangkan
Hadits Qudsi, adalah firman Allah yang maknanya (isi) datang dari Allah tetapi
teks (redaksi) nya dari Rasulullah SAW.
Sementara
itu hadits Nabi umumnya (yang bukan hadits qudsi) sekali pun teks (redaksi) dan maknanya (isi)
datang dari Nabi Muhammad SAW, tetapi tetap bersumber dari wahyu baik secara langsung mau pun tidak
langsung. Untuk hal-hal yang tidak
mungkin bersumber dari hasil ijtihad beliau sendiri tentu Nabi mengetahuinya
dari firman Allah SWT yang diwahyukan kepada beliau, misalnya tentang alam
barzakh, peristiwa yang akan terjadi di Akhirat, pahala dan dosa, sorga dan
neraka dan hal-hal ghaib lainnya. Untuk hal-hal seperti itu tentu sumbernya
dari Allah sekali pun Nabi tidak mengatakannya sebagai firman Allah sebagaimana
Al-Qur’an dan Hadits Qudsi. Ini lah yang dimaksud dengan hadits nabawi yang
bersumber dari wahyu secara langsung. Sedangkan untuk hal-hal yang diungkapkan
oleh Nabi berdasarkan ijtihad beliau sendiri, maka nilai wahyu nya terletak
pada kontrol yang diberikan. Jika ada di antara ijtihad Nabi itu yang salah,
Allah SWT akan langsung mengoreksinya seperti peristiwa yang terjadi antara
Nabi dan Abdullah ibn Ummi Maktum di Makkah yang kemudian menjadi sebab
turunnya Surat ‘Abasa. Inilah yang dimaksud dengan hadits nabawi yang bersumber
dari wahyu secara tidak langsung.
Jadi
ringkasnya perbedaan antara Al-Qur’an, Hadits Qudsi dan Hadits Nabawi lainnya
adalah sebagai berikut:
Al-Qur’an: Isi dan redaksi dari
Allah SWT
Hadits Qudsi: Isi dari Allah SWT dan redaksi dari Nabi Muhammad SAW
Hadits Nabawi: Isi dan redaksi dari Nabi Muhammad SAW, tetapi bersumber
dari wahyu langsung atau tidak langsung.
B. NAMA-NAMA,
SIFAT DAN FUNGSI AL-QUR’AN
Al-Qur’an
mempunyai beberapa nama yang sekaligus menunjukkan fungsinya. Al-Qur’an dan
Al-Kitâb adalah dua nama yang paling populer. Di samping itu Al-Qur’an juga
dinamai Al-Furqân, Adz-Dzikr dan At-Tanzîl. Berikut ini adalah ayat-ayat
Al-Qur’an yang menyebutkan nama-nama tersebut, dan sedikit penjelasan tentang wajh
at-tasmiyah.
1. Al-Qur’an
¨bÎ) #x»yd tb#uäöà)ø9$# Ïöku ÓÉL¯=Ï9 Ïf ãPuqø%r& çÅe³u;ãur tûüÏZÏB÷sßJø9$# tûïÏ%©!$# tbqè=yJ÷èt ÏM»ysÎ=»¢Á9$# ¨br& öNçlm; #\ô_r& #ZÎ6x. ÇÒÈ
“Sesungguhnya
Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi
khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi
mereka ada pahala yang besar.” (Q.S. Al-Isra’ 17:9)
Dinamai Al-Qur’an, karena
kitab suci terakhir yang diturunkan Allah SWT ini berfungsi sebagai bacaan
sesuai dengan arti kata Qur’an itu sendiri sebagaimana yang sudah dijelaskan
pada bagian awal bab ini.
2.Al-Kitâb
y7Ï9ºs Ü=»tGÅ6ø9$# w |=÷u ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`É)FßJù=Ïj9 ÇËÈ
“Kitab
(Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.”
(Q.S. Al-Baqarah 2:2)
Al-Kitab secara
bahasa berarti al-jam’u (mengumpulkan). Menurut as-Suyûthi,
dinamai Al-Kitâb karena Al-Qur’an mengumpulkan berbaga macam ilmu,
kisah dan berita.[4]
Menurut Muhammad Abdullah Drâz, sebagaimana dikutip Manna’
al-Qathân,
Al-Qur’an di samping dipelihara melalui lisan, juga dipelihara dengan tulisan.
Penamaannya dengan Al-Qur’an dan Al-Kitâb, dua nama yang paling
populer, mengisyaratkan bahwa kitab suci Al-Qur’an haruslah dipelihara melalui
dua cara secara bersama, tidak dengan salah satu saja, yaitu melalui hafalan (hifzhuhu fi as-suthûr) dan melalui tulisan (hifzhuhu
fi as-shudûr).[5]
3. Al-Furqân
x8u$t6s? Ï%©!$# tA¨tR tb$s%öàÿø9$# 4n?tã ¾ÍnÏö6tã tbqä3uÏ9 úüÏJn=»yèù=Ï9 #·ÉtR ÇÊÈ
“Maha
suci Allah yang telah menurunkan Al Furqan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar
Dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (Q.S. Al-Furqan 25:1)
Al-Furqân,
masdar dari asal kata faraqa,
dalam wazan fu’lân, mengambil bentuk sifat
musyabahah dengan arti ‘yang sangat memisahkan’. Dinamai demikian karena
Al-Qur’an memisahkan dengan tegas antara haq dan batil, antara benar dan salah
dan antara baik dan buruk.
4. Adz-Dzikr
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ
Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikr (Al Quran) dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya.” (Q.S. Al-Hijr 15:9)
Adz-Dzikr
artinya ingat, mengingatkan. Dinamai Adz-Dzikr karena di dalam kitab suci ini
terdapat pelajaran dan nasehat dan kisah umat masa yang lalu. Adz-Dzikr juga
berarti asy-syaraf (kemuliaan) sebagaimana terdapat dalam firman Allah:
¼çm¯RÎ)ur Öø.Ï%s! y7©9 y7ÏBöqs)Ï9ur ( t$ôqyur tbqè=t«ó¡è? ÇÍÍÈ
“Dan Sesungguhnya Al Quran itu
benar-benar adalah suatu kemuliaan besar bagimu dan bagi kaummu dan kelak kamu
akan diminta pertanggungan jawab.” (Q.S. Az-Zukhruf 43:44)[6]
5. At-Tanzîl
¼çm¯RÎ)ur ã@Í\tGs9 Éb>u tûüÏHs>»yèø9$# ÇÊÒËÈ tAttR
ÏmÎ/
ßyr9$# ßûüÏBF{$# ÇÊÒÌÈ
“Dan
Sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Dia
dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril).” Q.S. Asy-Syu’ara 26: 192-193)
At-Tanzîl
artinya yang benar-benar diturunkan. Dinamai demikian karena Al-Qur’an adalah
kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui
Malaikat Jibril.
Demikianlah
lima nama Al-Qur’an yang umumnya disepakati oleh para ulama sebagai nama-nama
Al-Qur’an. Ada pun nama-nama lain seperti An-Nûr, Mau’izhah, Syifâ’,
Hudan, Rahmah dan lain sebagainya, menurut sebagian ulama bukanlah nama-nama
Al-Qur’an, tetapi sifat-sifatnya. Sementara sebagian ulama seperti as-Suyûthi
mengganggapnya sebagai nama-nama Al-Qur’an juga. Menurut as-Suyûthi,
mengutip Abu al-‘Ali ‘Uzaiza ibn Abdillah Syaidzalah, salah seorang fuqahâ’
Syafi’iyyah, penulis kitab Al-Burhân fi Musykilât
Al-Qur’an,
Allah SWT menamai Al-Qur’an dengan 55 nama. [7]
Di
antara sifat-sifat Al-Qur’an yang disebutkan dalam beberapa ayat adalah sebagai
berikut:
1. Nûr
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# ôs% Nä.uä!%y` Ö`»ydöç/ `ÏiB öNä3În/§ !$uZø9tRr&ur öNä3ös9Î) #YqçR $YYÎ6B ÇÊÐÍÈ
“Hai
manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu.
(Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang
terang benderang (Al Quran).” (Q.S. An-Nisa’ 4:174)
2. Mau’izhah, Syifâ’,
Hudan dan Rahmah
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# ôs% Nä3ø?uä!$y_ ×psàÏãöq¨B `ÏiB öNà6În/§ Öä!$xÿÏ©ur $yJÏj9 Îû ÍrßÁ9$# Yèdur ×puH÷quur tûüÏYÏB÷sßJù=Ïj9 ÇÎÐÈ
“Hai
manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan
penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta
rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Q.S. Yunus 11:57)
3. Mubîn
4... ôs%
Nà2uä!%y` ÆÏiB «!$# ÖqçR Ò=»tGÅ2ur ÑúüÎ7B ÇÊÎÈ
“...
Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang
menerangkan.” (Q.S. Al-Maidah 5:57)
4. Mubârak
#x»ydur ë=»tGÏ.
çm»oYø9tRr& Ô8u$t6ãB ä-Ïd|ÁB
Ï%©!$#
tû÷üt/ Ïm÷yt ... ÇÒËÈ
“Dan
ini (Al Quran) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi;
membenarkan Kitab-Kitab yang (diturunkan) sebelumnya...” (Q.S. Al-An’am 6:
92)
5. Basyîr dan Nadzîr
Ò=»tGÏ.
ôMn=Å_Áèù ¼çmçG»t#uä $ºR#uäöè% $|Î/ttã 5Qöqs)Ïj9
tbqßJn=ôèt ÇÌÈ #Zϱo0 #\ÉtRur uÚtôãr'sù
öNèdçsYò2r& ôMßgsù w tbqãèyJó¡o ÇÍÈ
“Kitab
yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang
mengetahui. Yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi
kebanyakan mereka berpaling, tidak mau mendengarkan.” (Q.S. Fushilat 41:
3-4)
6. Majîd
ö@t/
uqèd
×b#uäöè% ÓÅg¤C ÇËÊÈ
“Bahkan yang didustakan mereka itu
ialah Al Quran yang mulia. “
(Q.S. Al-Buruj 85:21)
C. PENGERTIAN WAHYU
Kata wahyu adalah bentuk
mashdar (infinitif) dari auha-yuhi-wahyan dengan dua pengertian pokok
yaitu al-khafâ’ (tersembunyi) dan as-sur’ah
(cepat). Oleh sebab itu, secara etimologis wahyu didefenisikan sebagai:
االإعلام الخفي
السريع الخاص بمن يوجه إليه بحيث يخفي على غيره
"Pemberitahuan secara tersembunyi
dan cepat yang khusus ditujukan kepada orang yang diberitahu tanpa diketahui
oleh yang lainnya" [8]
Secara terminologis wahyu
adalah:
كلام الله تعالى المنزل على نبي من أنبياءه
“Firman
Allah SWT yang diturunkan kepada nabi-nabi-Nya.”[9]
D. PENGGUNAAN ISTILAH WAHYU DALAM
AL-QUR’AN
Istilah
wahu di dalam Al-Qur’an tidak hanya digunakan
dalam pengertian firman Allah SWT yang diturunkan kepada nabi-nabi-Nya, tetapi
juga digunakan dalam pengertian lain yang beragam. Berikut ini beberapa ayat
Al-Qur’an yang menggunakan istilah wahyu dalam pengertian lain tersebut:
1. Al-Ilham al-fithri li al-insan
!$uZøym÷rr&ur #n<Î) ÏdQé& #ÓyqãB ÷br& ÏmÏèÅÊör&
( #sÎ*sù ÏMøÿÅz Ïmøn=tã ÏmÉ)ø9r'sù Îû ÉdOuø9$# wur Îû$srB wur þÎTtøtrB ( $¯RÎ) çnr!#u Å7øs9Î) çnqè=Ïæ%y`ur ÆÏB úüÎ=yößJø9$# ÇÐÈ
“Dan
Kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir
terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). dan janganlah kamu khawatir
dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya
kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.” (Q.S. Al-Qashash 28:7)
Wahyu
dalam ayat di atas berarti ilham yang diberikan Allah SWT kepada ibu
Musa untuk menyusukan bayinya yang dihanyutkan ke sungai Nil dalam rangka
menyelamatkannya dari pembunuhan semua bayi Bani Israil sebagaimana yang
diperintahkan Fir’aun.
2. Al-Ilham al-gharizi li
al-hayawan
4ym÷rr&ur y7/u n<Î) È@øtª[$# Èbr& ÉϪB$# z`ÏB ÉA$t6Ågø:$# $Y?qãç/ z`ÏBur Ìyf¤±9$# $£JÏBur tbqä©Ì÷èt ÇÏÑÈ
“Dan
Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di
pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia", (Q.S.
An-Nahl 16:68)
Wahyu
dalam ayat di atas berarti instink yang diberikan oleh Allah SWT kepada
lebah untuk membuat sarang di bukit, pohon-pohon kayu dan tempat-tempat yang dibikin manusia.
3. Al-Isyarah as-sari’ah
yltsmú 4n?tã ¾ÏmÏBöqs% z`ÏB É>#tósÏJø9$# #Óyr÷rr'sù öNÍkös9Î) br&
(#qßsÎm7y Zotõ3ç/ $|ϱtãur ÇÊÊÈ
“Maka
ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka;
hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang.” (Q.S. Maryam 19:11)
Wahyu
dalam ayat di atas berarti isyarat fisik yang diberikan oleh Zakariya
kepada umatnya untuk bertasbih di waktu pagi dan petang. Ayat ini bercerita
tentang Nabi Zakariya yang berpuasa bicara tiga hari tiga malam sebagai tanda
isterinya akan hamil dan kemudian melahirkan Yahya.
4. Waswasatu asy-Syaithan
wur (#qè=à2ù's? $£JÏB óOs9 Ìx.õã ÞOó$# «!$# Ïmøn=tã ¼çm¯RÎ)ur ×,ó¡Ïÿs9 3 ¨bÎ)ur úüÏÜ»u¤±9$# tbqãmqãs9 #n<Î) óOÎgͬ!$uÏ9÷rr& öNä.qä9Ï»yfãÏ9 ( ÷bÎ)ur öNèdqßJçG÷èsÛr&
öNä3¯RÎ) tbqä.Îô³çRmQ ÇÊËÊÈ
“Dan
janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika
menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.
Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka
membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah
menjadi orang-orang yang musyrik.” (Q.S. Al-An’am 6:121)
Wahyu
dalam ayat di atas berarti bisikan sesama syaitan untuk membantah
orang-orang yang beriman.
5. Ma yulqihillahu ila malaikatihi
min amrin liyaf’aluhu
øÎ) ÓÇrqã y7/u n<Î) Ïps3Í´¯»n=yJø9$# ÎoTr&
öNä3yètB (#qçGÎm;sWsù úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä 4 Å+ø9é'y Îû É>qè=è% úïÏ%©!$# (#rãxÿx. |=ôã9$# (#qç/ÎôÑ$$sù s-öqsù É-$oYôãF{$# (#qç/ÎôÑ$#ur öNåk÷]ÏB ¨@à2 5b$uZt/ ÇÊËÈ
“(ingatlah),
ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para Malaikat: "Sesungguhnya aku bersama
kamu, maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang telah beriman". Kelak
akan aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka
penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka.” (Q.S. Al-Anfal 8:12)
Wahyu
dalam ayat di atas berarti perintah Allah SWT kepada para malaikat untuk
meneguhkan hati orang-orang yang beriman (dalam Perang Badar) dan memasukkan
rasa takut ke dalam hati musuh-musuh mereka kaum musyrikin Mekkah.
D. CARA TURUNNYA WAHYU KEPADA PARA
NABI
Karena
wahyu secara terminologis adalah firman Allah yang diturunkan kepada
nabi-nabi-Nya maka perlu juga dikemukakan dalam kesempatan ini bagaimana cara
Allah menurunkan wahyu kepada para nabi.
Di
dalam Surat As-Syura ayat 51 dijelaskan bagaimana Allah menurunkan wahyunya
kepada seseorang. Allah SWT berfirman:
*
$tBur tb%x. A|³u;Ï9 br& çmyJÏk=s3ã ª!$#
wÎ)
$·ômur
÷rr&
`ÏB Ç!#uur A>$pgÉo ÷rr& @Åöã Zwqßu
zÓÇrqãsù ¾ÏmÏRøÎ*Î/ $tB
âä!$t±o 4
¼çm¯RÎ)
;Í?tã ÒOÅ6ym ÇÎÊÈ
“Dan tidak mungkin bagi seorang
manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu
atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu
diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia
Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (Q. S. Asy-Syura 42:51)
Yang
dimaksud dengan perantaraan wahyu dalam ayat di atas adalah melalui mimpi atau
ilham.[10]
Sedangkan yang dimaksud dengan di belakang tabir ialah seorang dapat mendengar
kalam Ilahi akan tetapi dia tidak dapat melihat-Nya seperti yang terjadi kepada
Nabi Musa a.s. Rasul yang dimaksud dalam ayat di atas adalah Malaikat seperti
Malaikat Jibril AS.
Dari
ayat di atas dapat disimpulkan ada tiga ara turunnya wahyu kepada para Nabi. (1)
Melalui mimpi yang benar (ru’ya shâlihah fi al-manâm); (2) Dari balik tabir (min
warâ’ hijâb; (3) Melalui perantaraan Malaikat seperti
Malaikat Jibril.
1. Melalui Mimpi Yang Benar
Wahyu
dengan cara ini disampaikan langsung kepada para nabi tanpa perantara Malaikat.
Contohnya adalah mimpi Nabi Ibrahim AS
agar menyembelih puteranya Isma’il. Allah SWT berfirman:
çm»tRö¤±t6sù
AO»n=äóÎ/ 5OÎ=ym ÇÊÉÊÈ $¬Hs>sù x÷n=t/
çmyètB zÓ÷ë¡¡9$#
tA$s% ¢Óo_ç6»t þÎoTÎ) 3ur& Îû ÏQ$uZyJø9$# þÎoTr& y7çtr2ør&
öÝàR$$sù #s$tB
2ts? 4 tA$s% ÏMt/r'¯»t
ö@yèøù$# $tB ãtB÷sè? ( þÎTßÉftFy bÎ)
uä!$x© ª!$# z`ÏB
tûïÎÉ9»¢Á9$#
ÇÊÉËÈ !$£Jn=sù $yJn=ór&
¼ã&©#s?ur
ÈûüÎ7yfù=Ï9 ÇÊÉÌÈ çm»oY÷y»tRur br&
ÞOÏdºtö/Î*¯»t
ÇÊÉÍÈ ôs% |Mø%£|¹ !$töä9$# 4
$¯RÎ) y7Ï9ºxx. ÌøgwU tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÊÉÎÈ cÎ) #x»yd uqçlm;
(#às¯»n=t7ø9$# ßûüÎ7ßJø9$# ÇÊÉÏÈ çm»oY÷ysùur ?xö/ÉÎ/ 5OÏàtã
ÇÊÉÐÈ $oYø.ts?ur Ïmøn=tã Îû
tûïÌÅzFy$# ÇÊÉÑÈ íN»n=y #n?tã zOÏdºtö/Î)
ÇÊÉÒÈ y7Ï9ºxx.
ÌøgwU
tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÊÊÉÈ ¼çm¯RÎ) ô`ÏB
$tRÏ$t6Ïã
úüÏZÏB÷sßJø9$# ÇÊÊÊÈ çm»tR÷¤³o0ur t,»ysóÎ*Î/ $wÎ;tR
z`ÏiB úüÅsÎ=»¢Á9$#
ÇÊÊËÈ
“Maka
Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala
anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim
berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai
bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan
mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".Tatkala keduanya telah
berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah
kesabaran keduanya ). Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya
kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan
kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian
yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami
abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang
datang kemudian, (yaitu)"Kesejahteraan dilimpahkan atas
Ibrahim".Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat
baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman. Dan Kami beri dia
kabar gembira dengan (kelahiran) Ishaq seorang Nabi yang termasuk orang-orang
yang saleh.” (Q.S. Ash-Shaffat 37: 101-112)
2. Dari Balik Tabir
Wahyu
dengan cara ini juga disampaikan secara langsung kepada para nabi tanpa
perantara Malaikat. Nabi yang menerima wahyu dapat mendengar kalam Ilahi akan
tetapi dia tidak dapat melihat-Nya seperti yang terjadi kepada Nabi Musa AS.
Allah SWT berfirman:
$£Js9ur
uä!%y` 4ÓyqãB $uZÏF»s)ÏJÏ9
¼çmyJ¯=x.ur ¼çm/u
tA$s% Éb>u þÎTÍr& öÝàRr&
øs9Î) 4
tA$s% `s9 ÓÍ_1ts? Ç`Å3»s9ur
öÝàR$#
n<Î) È@t6yfø9$# ÈbÎ*sù §s)tGó$# ¼çmtR$x6tB
t$öq|¡sù ÓÍ_1ts? 4
$£Jn=sù
4©?pgrB ¼çm/u
È@t7yfù=Ï9
¼ã&s#yèy_
$y2y §yzur 4ÓyqãB $Z)Ïè|¹
4
!$£Jn=sù s-$sùr&
tA$s% oY»ysö6ß àMö6è? øs9Î) O$tRr&ur ãA¨rr&
tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇÊÍÌÈ
“Dan tatkala Musa datang untuk
(munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah
berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah
(diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan
berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke
bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu
dapat melihat-Ku". Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu,
dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah
Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha suci Engkau, aku bertaubat kepada
Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman". (Q.S. Al-‘Araf 7: 143)
Wxßâur ôs%
öNßg»oYóÁ|Ás%
øn=tã `ÏB ã@ö6s%
Wxßâur öN©9
öNßgóÁÝÁø)tR øn=tã 4 zN¯=x.ur ª!$#
4ÓyqãB
$VJÎ=ò6s?
ÇÊÏÍÈ
“Dan (kami telah mengutus)
Rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu,
dan Rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. dan Allah
telah berbicara kepada Musa dengan langsung.” (Q.S. An-Nisa’ 4: 164)
Di
samping dengan Nabi Musa AS, Allah SWT pun telah berbicara langsung kepada Nabi
Muhammad SAW pada malam Isra’ Mi’raj. Nabi dapat mendengar firman Allah
langsung tanpa perantara Jibril tetapi tidak dapat melihat-Nya. Di dalam
Al-Qur’an tidak ada satu pun ayat yang diterima dengan cara ini.[11]
3. Melalui Perantaraan Malaikat
Cara
yang ketiga wahyu Allah diturunkan kepada para nabi-Nya adalah melalui
perantaraan malaikat penyampai wahyu seperti Malaikat Jibril AS. Keseluruhan
ayat-ayat dari Kitab Suci Al-Qur’an diturunkan dengan cara ini. Ada dua cara
Malaikat Jibril datang menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad SAW:
a. Datang kepada Nabi suara seperti dencingan lonceng
dan suara yang amat kuat yang mempengaruhi faktor-faktor kesadaran, sehingga
Nabi dengan segala kekuatannya siap menerima pengaruh itu. Cara ini yang paling
berat buat Nabi. Apabila wahyu turun kepada Rasulullah SAW dengan cara ini maka
beliau akan mengumpulkan segala kekuatan kesadarannya untuk menerima, menghafal
dan memahaminya. Dan suara itu mungkin sekali suara kepakan sayap-sayap para
malaikat, seperti diisyaratkan dalam hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا قَضَى اللَّهُ الْأَمْرَ فِي السَّمَاءِ
ضَرَبَتِ الْمَلَائِكَةُ بِأَجْنِحَتِهَا خُضْعَانًا لِقَوْلِهِ كَالسِّلْسِلَةِ عَلَى
صَفْوَانٍ (رواه البخاري)
“Diriwayatkan
dari Abu Hurairah RA, Nabi SAW bersabda: “Apabila Allah menghendaki suatu
urusan di langit, maka para malaikat memukul-mukulkan sayapnya karena tunduk
kepada firman-Nya bagaikan gemerincing mata rantai di atas batu-batu yang
licin.” (H. R. Bukhari)[12]
b. Malaikat menjelma menjadi seorang laki-laki lalu
datang menyampaikan wahyu kepada Nabi. Cara ini lebih ringan dari cara yang
pertama, karena adanya kesesuaian antara pembicara dan pendengar, seperti
seseorang yang berbicara dengan saudaranya sendiri. Menurut Ibn Khaldun,
seperti dikutip Manna' Qathan, dalam keadaan yang pertama Rasulullah,
melepaskan kodratnya sebagai manusia yang bersifat jasmani untuk berhubungan
dengan malaikat yang rohani sifatnya. Sedangkan dalam keadaan lain sebaliknya,
malaikat berobah diri dari yang rohani semata menjadi manusia jasmani.[13]
Tentang
dua cara Malaikat Jibril datang membawa wahyu kepada Nabi ini disebutkan dalam
hadits riwayat Aisyah RA.
عَنْ
عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِي اللَّه عَنْهَا أَنَّ الْحَارِثَ بْنَ
هِشَامٍ رَضِي اللَّه عَنْه سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ يَأْتِيكَ الْوَحْيُ فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْيَانًا يَأْتِينِي مِثْلَ
صَلْصَلَةِ الْجَرَسِ وَهُوَ أَشَدُّهُ عَلَيَّ فَيُفْصَمُ عَنِّي وَقَدْ وَعَيْتُ
عَنْهُ مَا قَالَ وَأَحْيَانًا يَتَمَثَّلُ لِيَ الْمَلَكُ رَجُلًا فَيُكَلِّمُنِي
فَأَعِي مَا يَقُولُ قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِي اللَّه عَنْهَا وَلَقَدْ رَأَيْتُهُ
يَنْزِلُ عَلَيْهِ الْوَحْيُ فِي الْيَوْمِ الشَّدِيدِ الْبَرْدِ فَيَفْصِمُ
عَنْهُ وَإِنَّ جَبِينَهُ لَيَتَفَصَّدُ عَرَقًا *(رواه البخاري)
“Diriwayatkan dari ‘Aisyah
Ummul Mukminin RA, bahwasanya al-Harits ibn Hisyam RA bertanya kepada
Rasulullah SAW. Dia berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana datang wahyu kepada
engkau?”. Rasulullah SAW menjawab: “Kadang-kadang datang kepadaku sebagaimana
gemerincing lonceng dan itulah yang paling berat bagiku. Lalu ia pergi dan aku
telah menyadari apa yang dikatakannya. Dan kadang pula Malaikat menjelma di
hadapanku sebagai seorang laki-laki lalu dia berbicara kepadaku dan aku pun
memahami apa yag dia katakan. Aisyah RA mengatakan: “Aku pernah melihat beliau
tatkala wahyu sedang turun kepadanya, pada suatu hari yang amat dingin. Lalu
Malaikat itu pergi, sedang keringat pun mengucur dari dahi Rasulullah SAW.”
(H.R. Bukhari)[14]
[1]
Al-Hâfizh Jalâl ad-Dîn ‘Abd ar-Rahmân as-Suyûthi, Al-Itqân fi ‘Ulûm
Al-Qur’an (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyah, 2003), juz 1 hlm. 146.
[2] Lihat
juga Shubhi as-Shâlih, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, terjemahan Tim
Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hlm. 10.
[3]
Muhammad ‘Ali ash-Shabûni, At-Tibyân
Fi ‘Ulûm Al-Qur’an, hlm. 6
[5]
Manna’ al-Qathân, Mabâhits...hlm. l22.
[6]
As-Suyûthi, Al-Itqân....I: 147-148.
[7]
As-Suyûthi, Al-Itqân...I:143-146.
[8]
Manna’ al-Qathân, Mabâhits ...hlm. 32.
[9]
Manna’ al-Qathân, Mabâhits...hlm. 32.
[10] Jalâl ad-Dîn Muhammad ibn Ahmad Al-Mahalli dan Jalâl
ad-Dîn ‘Abd ar-Rahmân ibn Abi Bakar as-Suyûthi, Tafsir al-Jalâlain,
Maktabah Syâmilah 9:334
[11]
Manna’ al-Qathân, Mabâhits ...hlm. 38.
[12]
Maktabah Syâmilah, Shahîh al-Bukhâri, hadits no 4332.
[13] Manna’ Khalil Qathan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terjemahan
Mudzakkir (Jakarta: Litera Antar Nusa, cet ke-8 tahun 2004), hlm. 49.
[14]
Maktabah Syamilah, Shahih al-Bukhari, hadits no 2
0 komentar :
Posting Komentar