A.
Devinisi
Menurut
bahasa: Qiraat adalah jamak dari qira’ah yang berarti ‘bcaan’, dan
berupa mashdar dari kata qar’a.
Menurut
Istilah: Qiraat adalah salah satu mazhab (aliran) pengucapan Qur’an yang
dipilih oleh salah seorang imam Qurra’ sebagai suatu mazhab yang berbeda dengan
mazhab lainnya.
Qiraat ini ditetapkan berdasarkan sanad-sanadnya
sampai kepada Rasulullah SAW. Para Imam qiraat yang mengajarkan bacaan qur’an
pada orang-orang menurut cara mereka masing-masing adalah dengan berpedoman
pada masa para sahabat.
Diantara para sahabat yang terkenal mengajarkan
qiraat adalah Ubai, Ali, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari dan
lain-lain. Dari mereka itulah sebagian besar sahabat dan tabi’in di berbagai
negeri belajar qiraat. Pada permulaan abad pertama hijrah di masa tabi’in,
sejumlah ulama’ sangat besar perhatiannya terhadap masalah qira’at karena
keadaan yang menuntut demikian, sehingga mereka menjadikannya sebagai suatu
disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Pada generasi tabi’n ini maupun generasi setelahnya
terdapat tujuh orang terkenal sebagai Imam yang dikenal sampai sekarang
diseluruh dunia diantaranya adalah: Abu ‘amr ibnu al-‘Alaa’, Nafi’ al-madaniy,
Ibnu ‘Amir al-Symiy, ‘Ashim al-Kûfiy, Hamzah al-Kûfiy, al-Kisa’I dan Ibnu
katsir.
B. Popularitas Tutjuh Imam Qiraat
Imam qiraat cukup banyak jumlahnya, namun yang
popular hanya tujuh orang, qiraat tujuh orang imam ini adalah qiraat yang
disepakati. Namun para ulama’ menambah tiga orang lagiimam qiraat, mereka adalah:
Abu Ja’far Yazid bin Qa’qa’ al-Madaniy, Ya’qub bin Ishaq al-Hadrami dan Khalaf
bin Hisyam. Ketiga imam qiraat ini dan tujuh imam qiraat yang telah disebutkan
tadi dikenal dengan imam qiraat. Dan qiraat di luar yang sepuluh ini dipandang
qiraat yang syaz, seperti Qiraat Yazidi, Hasan, A’masy, Ibnu Jubair dan
lain-lain.
As-Suyuti mengatakan: “orang pertama yang menyusun
kitab tentang qiraat adalah Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam, kemudian Ahmad bin
Jubair al-kũfi, kemudian Isma’il bin Ishaq al-Maliki, kemudian Abu Ja’far bin
Jarir at-Tabari, dan lain-lain.
Imam Ibnu Jaziri di dalam an-Nasyr mengemukakan,
Imam pertama yang dipandang telah menghimpun bermacam-macam qiraat dalam satu
kitab adalah Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam, menurut perhitungannya, ia
mengumpulkan duapuluh lima imam ahli qiraat. Kemudian al ‘Abbas bin Mujahid
merupakan orang yang pertama yang membatasi hanya tujuh orang imam qiraat saja.
C. Macam-macam Qiraat, Hukum dan Kaidahnya
Sebagian ulama’ menyebutkan bahwa qiraat itu ada
yang mutawatir, ahad dan syaz. Menurut mereka, qiraat mutawatir ialah qiraat
yang tujuh, sedang qiraat yang ahad ialah tiga qiraat yang menggenapkannya
menjadi sepuluh qiraat ditmbah qiraat para sahabat, dan selain itu adalah
qiraat syaz.
Menurut imam qiraat Dhabit atau kaidah qiraat yang
shahih adalah sebagai berikut:
1. Sesuai
dengan kaidah bahasa Arab
2. Qiraat
sesuai dengan salah satu Mushaf Utsmani
3. Qiraat
itu harus shahih sanadnya
Dan
bila salah satu kaidah qiraat tersebut tidak terpenuhi, maka qiraat itu
dinamakan qiraat yang lemah, syaz atau batil.
Sebagian Ulama’ menyimpulkan macam-macam qiraat
menjadi enam macam:
1. Mutawatir:
yaitu qiraat yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat yang tidak mungkin
mereka bersepakat untuk berdusta, kemudian sanadnya bersambung sampai kepada
Rasulullah SAW.
2. Masyhur:
yaitu qiraat yang shahih sanadnya tapi tidak mencapai derajat mutawatir, sesuai
dengan kaidah bahasa Arab dan rasam Utsmani serta terkenal pula dikalangan para
ahli qiraat
3. Ȃhȃd:
yaitu qiraat yang shahih sanadnya tetpi menyalahi rasam Utsmani, menyalahi
kaidah bahasa Arab atau tidak terkenal sperti halnya qiraat masyur. Qiraat
macam ini menurut para ulama’ tidak dapat diamalkan bacaannya.
Contoh:
Yang diriwayatkan dari Abu Bakrah, bahwa Nabi membaca
متكئين
على رفارف خضر kata rafarif di dalam rasam
Utsmani di baca رَفْرَفٍ
4. Syaz:
yaitu qiraat yang tidak shahih sanadnya, seperti qiraat مَلَكَ
يَوْمَ الدّيْنِ (al-Fatihah:4)
5. Maudhu’:
Yaitu qiraat yang tidak ada asalnya.
6. Mudraj:
Yaitu sesuatu ditambahkan ke dalam qiraat sebagai penafsiran, seperti qiraat
Ibnu ‘Abbas dalam Q.S al-Baqarah:
...أن تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ فِى مَوَاسِمِ الْحَجِّ فَإِذَا أَفَضَتُمْ....
kalimat
فِى مَوَاسِمِ الْحَجِّ adalah penafsiran yang disisipkan ke
dalam ayat. Sebenarnya dalam rasam Utsmani tidak ada kalimat tersebut.
Keempat
macam qiraat terakhir ini tidak boleh diamalkan bacaannya.
D. Faedah Beraneka Ragamnya Qiraat yang Shahih
1. Menunjukkan
betapa terjaga dan terpeliharanya Kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan.
2. Meringankan
umat Islam dan memudahkan mereka untuk membacanya.
3. Bukti
kemukjizatan al-Qur’an dari segi makna
dan lafadznya.
4. Bacaan
(qiraat) nisa saling menjelaskan dan membantu penafsiran.
5. Menghindarkan
dari pemahaman yang tidak dikehendaki (yang dimaksud oleh al-Qur’an)
0 komentar :
Posting Komentar