Selasa, 11 November 2014


A.    Devinisi
Menurut bahasa: Qiraat adalah jamak dari qira’ah yang berarti ‘bcaan’, dan berupa mashdar dari kata qar’a.
Menurut Istilah: Qiraat adalah salah satu mazhab (aliran) pengucapan Qur’an yang dipilih oleh salah seorang imam Qurra’ sebagai suatu mazhab yang berbeda dengan mazhab lainnya.

Qiraat ini ditetapkan berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada Rasulullah SAW. Para Imam qiraat yang mengajarkan bacaan qur’an pada orang-orang menurut cara mereka masing-masing adalah dengan berpedoman pada masa para sahabat.
Diantara para sahabat yang terkenal mengajarkan qiraat adalah Ubai, Ali, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain. Dari mereka itulah sebagian besar sahabat dan tabi’in di berbagai negeri belajar qiraat. Pada permulaan abad pertama hijrah di masa tabi’in, sejumlah ulama’ sangat besar perhatiannya terhadap masalah qira’at karena keadaan yang menuntut demikian, sehingga mereka menjadikannya sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Pada generasi tabi’n ini maupun generasi setelahnya terdapat tujuh orang terkenal sebagai Imam yang dikenal sampai sekarang diseluruh dunia diantaranya adalah: Abu ‘amr ibnu al-‘Alaa’, Nafi’ al-madaniy, Ibnu ‘Amir al-Symiy, ‘Ashim al-Kûfiy, Hamzah al-Kûfiy, al-Kisa’I dan Ibnu katsir.

B.     Popularitas Tutjuh Imam Qiraat
Imam qiraat cukup banyak jumlahnya, namun yang popular hanya tujuh orang, qiraat tujuh orang imam ini adalah qiraat yang disepakati. Namun para ulama’ menambah tiga orang lagiimam qiraat, mereka adalah: Abu Ja’far Yazid bin Qa’qa’ al-Madaniy, Ya’qub bin Ishaq al-Hadrami dan Khalaf bin Hisyam. Ketiga imam qiraat ini dan tujuh imam qiraat yang telah disebutkan tadi dikenal dengan imam qiraat. Dan qiraat di luar yang sepuluh ini dipandang qiraat yang syaz, seperti Qiraat Yazidi, Hasan, A’masy, Ibnu Jubair dan lain-lain.
As-Suyuti mengatakan: “orang pertama yang menyusun kitab tentang qiraat adalah Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam, kemudian Ahmad bin Jubair al-kũfi, kemudian Isma’il bin Ishaq al-Maliki, kemudian Abu Ja’far bin Jarir at-Tabari, dan lain-lain.
Imam Ibnu Jaziri di dalam an-Nasyr mengemukakan, Imam pertama yang dipandang telah menghimpun bermacam-macam qiraat dalam satu kitab adalah Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam, menurut perhitungannya, ia mengumpulkan duapuluh lima imam ahli qiraat. Kemudian al ‘Abbas bin Mujahid merupakan orang yang pertama yang membatasi hanya tujuh orang imam qiraat saja.


C.    Macam-macam Qiraat, Hukum dan Kaidahnya

Sebagian ulama’ menyebutkan bahwa qiraat itu ada yang mutawatir, ahad dan syaz. Menurut mereka, qiraat mutawatir ialah qiraat yang tujuh, sedang qiraat yang ahad ialah tiga qiraat yang menggenapkannya menjadi sepuluh qiraat ditmbah qiraat para sahabat, dan selain itu adalah qiraat syaz.
Menurut imam qiraat Dhabit atau kaidah qiraat yang shahih adalah sebagai berikut:
1.      Sesuai dengan kaidah bahasa Arab
2.      Qiraat sesuai dengan salah satu Mushaf Utsmani
3.      Qiraat itu harus shahih sanadnya

Dan bila salah satu kaidah qiraat tersebut tidak terpenuhi, maka qiraat itu dinamakan qiraat yang lemah, syaz atau batil.

Sebagian Ulama’ menyimpulkan macam-macam qiraat menjadi enam macam:
1.      Mutawatir: yaitu qiraat yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat yang tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta, kemudian sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah SAW.
2.      Masyhur: yaitu qiraat yang shahih sanadnya tapi tidak mencapai derajat mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasam Utsmani serta terkenal pula dikalangan para ahli qiraat
3.      Ȃhȃd: yaitu qiraat yang shahih sanadnya tetpi menyalahi rasam Utsmani, menyalahi kaidah bahasa Arab atau tidak terkenal sperti halnya qiraat masyur. Qiraat macam ini menurut para ulama’ tidak dapat diamalkan bacaannya.
      Contoh: Yang diriwayatkan dari Abu Bakrah, bahwa Nabi membaca
متكئين على رفارف خضر                kata rafarif di dalam rasam Utsmani di baca رَفْرَفٍ                 
4.      Syaz: yaitu qiraat yang tidak shahih sanadnya, seperti qiraat مَلَكَ يَوْمَ الدّيْنِ (al-Fatihah:4)
5.      Maudhu’: Yaitu qiraat yang tidak ada asalnya.
6.      Mudraj: Yaitu sesuatu ditambahkan ke dalam qiraat sebagai penafsiran, seperti qiraat Ibnu ‘Abbas dalam Q.S al-Baqarah:
...أن تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ فِى مَوَاسِمِ الْحَجِّ فَإِذَا أَفَضَتُمْ.... kalimat فِى مَوَاسِمِ الْحَجِّ adalah penafsiran yang disisipkan ke dalam ayat. Sebenarnya dalam rasam Utsmani tidak ada kalimat tersebut.
Keempat macam qiraat terakhir ini tidak boleh diamalkan bacaannya.

D.    Faedah Beraneka Ragamnya Qiraat yang Shahih
1.      Menunjukkan betapa terjaga dan terpeliharanya Kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan.
2.      Meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk membacanya.
3.      Bukti kemukjizatan  al-Qur’an dari segi makna dan lafadznya.
4.      Bacaan (qiraat) nisa saling menjelaskan dan membantu penafsiran.
5.      Menghindarkan dari pemahaman yang tidak dikehendaki (yang dimaksud oleh al-Qur’an)




0 komentar :

Posting Komentar