Selasa, 11 November 2014

'ULÛM AL-HADÎTS

Ilmu Hadis, yang dalam khazanah keilmuan hadis lebih sering disebut dengan 'Ulûm al-Hadîts, karena banyak ragam dan macamnya, saat ini telah menjadi bagian dari perhatian umat Islam. Perhatian umat terhadapnya menjadi semakin besar, karena urgensi dan signifikansinya (artipenting dan kebermaknaannya) dalam upaya mereka (umat Islam) untuk memahami hadis Nabi s.a.w. Namun, hingga kini keseriusan umat Islam untuk melakukan kajian terhadapnya banyak terbatas hanya pada hal-hal sangat elementer (sederhana) dan belum cukup serius untuk masuk ke dalam rincian kajian yang sebenarnya sangat penting untuk dipahami oleh setiap muslim, dalam rangka untuk memahami makna hadis-hadis Nabi s.a.w. secara baik dan benar. Oleh karena itu, tulisan ini dimaksudkan untuk memaparkan esensi Ilmu Hadis, dan selanjutnya diharapkan dapat memberikan motiviasi kepada para pembacanya untuk melakukan kajian yang lebih mendalam.


A. Pendahuluan

Secara kebahasaan, 'Ulûm al-Hadîts berarti ilmu-ilmu tentang hadis. Kata  'ulûm adalah bentuk jamak dari kata 'ilm (ilmu).

Dalam hubungannya dengan pengetahuan tentang hadis, ada ulama yang menggunakan bentuk 'Ulûm al-Hadîts, seperti Ibnu Shalah (ahli hadis; w. 642 H/1246 M) dalam kitabnya 'Ulûm al-Hadîts, dan ada juga yang menggunakan bentuk 'Ilm al-Hadîts, seperti Jalaluddin as-Suyuthi dalam mukadimah kitab hadisnya Tadrib ar-Râwiy. Penggunaan bentuk jamak disebabkan ilmu tersebut bersangkut-paut dengan hadis Nabi s.a.w. yang banyak macam dan cabangnya. Hakim an-Naisaburi (321 H/933 M-405 H/1014M), misalnya,dalam kitabnya Ma'rifah 'Ulûm al-Hadîts mengemukakan 52 macam ilmu hadis. Muhammad bin Nasir al-Hazimi, ahli hadis klasik, mengatakan bahwa jumlah ilmu hadis mencapai lebih dari 100 macam yang masing-masing mempunyai objek kajian khusus sehingga bisa dianggap sebagai suatu ilmu tersendiri.
TM Hasbi ash-Shiddieqy, salah satu pakar hadis Indonesia, mengatakan bahwa ilmu hadis adalah ilmu yang berpautan dengan hadis Nabi s.a.w. Pemyataannya ini selain bertolak dari makna lughawi (bahasa), juga mengisyaratkan bahwa ilmu-ilmu yang bersangkut-paut dengan hadis Nabi s.a.w. itu banyak macam dan cabangnya.
B. Kajian llmu Hadis
Secara garis besar ulama hadis mengelompokkan ilmu-ilmu yang bersangkut-paut dengan hadis Nabi s.a.w. tersebut ke dalam dua bidang pokok, yakni Ilmu Hadis Riwayah ('Ilm al-Hadîts Riwâyah) dan Ilmu Hadis Dirayah ('Ilm al-Hadîts Dirâyah).
C. Ilmu Hadis Riwayah
Ilmu Hadis Riwayah, yaitu ilmu yang mempelajari cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan hadis Nabi s.a.w.. Objek kajiannya ialah hadis Nabi s.a.w. dari segi periwayatan dan pemeliharaannya yang meliputi:
1)      cara periwayatannya, yakni bagaimana cara penerimaan dan penyampaian hadis dari seorang periwayat (râwi) kepada periwayat lain;
2)     cara pemeliharaan, yakni penghafalan, penulisan, dan pembukuan hadis. Ilmu ini tidak membicarakan kualitas sanad, sifat rawi, dan cacat yang terdapat pada matan dan yang terkait dengannya.
Ilmu hadis riwayah bertujuan untuk memelihara hadis Nabi s.a.w. dari kesalahan dalam proses periwayatan atau dalam hal penulisan dan pembukuannya. Lebih lanjut ilmu ini juga bertujuan agar umat Islam menjadikan Nabi s.a.w. sebagai suri teladan melalui pemahaman terhadap riwayat yang berasal darinya dan mengamalkannya. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS al-Ahzâb [33]: 21,
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_ötƒ ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sŒur ©!$# #ZŽÏVx.
“Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
Ulama yang terkenal dan dipandang sebagai pelopor ilmu hadis riwayah adalah Abu Bakar Muhammad bin Syihab az-Zuhri (51-124 H), seorang imam dan ulama besar di Hijaz (Madinah) dan Syam (Suriah). Dalam sejarah perkembangan hadis, az-Zuhri tercatat sebagai ulama pertama yang menghimpun hadis Nabi s.a.w. atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz atau Khalifah Umar II (salah seorang Khalifah dari Bani Umayyah, yang memerintah pada tahun 99 H/717 M hingga 102 H /720 M).
Meskipun demikian, ilmu hadis riwayah ini sudah ada sejak periode Rasulullah s.a.w., bersamaan dengan dimulainya periwayatan hadis itu sendiri. Sebagaimana diketahui, para sahabat menaruh perhatian yang tinggi terhadap hadis Nabi s.a.w.. Mereka berupaya mendapatkannya dengan menghadiri majelis-majelis Rasulullah s.a.w., serta mendengar dan menyimak pesan atau nasihat yang disampaikan oleh Nabi s.a.w.
Mereka juga memperhatikan dengan seksama apa yang dilakukan Rasulullah s.a.w., baik dalam beribadah maupun dalam aktivitas sosial, dan akhlak Nabi s.a.w. sehari-hari. Semua itu mereka pahami dengan baik dan mereka pelihara melalui hafalan mereka. Selanjutnya mereka menyampaikannya dengan sangat hati-hati kepada sahabat lain atau tabiin. Para tabiin pun melakukan hal yang sama, yaitu memahami hadis, memelihara, dan menyampaikannya kepada tabiin lain atau tabi' at- tabi'in (generasi sesudah tabiin).
Demikianlah periwayatan dan pemeliharaan hadis Nabi s.a.w. berlangsung hingga usaha penghimpunan yang dipelopori oleh az-Zuhri. Usaha penghimpunan, penyeleksian, penulisan, dan pembukuan hadis secara besar-besaran dilakukan oleh ulama hadis pada abad ke-3 H, seperti Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam at-Tirmizi, dan ulama-ulama hadis lainnya melalui kitab hadis masing-masing.
Dengan dibukukannya hadis Nabi s.a.w. dan selanjutnya dijadikan rujukan oleh ulama yang datang kemudian, maka pada periode selanjutnya ilmu hadis riwayah tidak lagi banyak berkembang. Berbeda halnya dengan ilmu hadis dirayah yang senantiasa berkembang dan melahirkan berbagai cabang ilmu hadis. Oleh karena itu, pada umumnya yang dibicarakan oleh ulama hadis dalam kitab-kitab 'Ulûm al-Hadîts yang mereka susun adalah ilmu hadis dirayah. Dalam perkembangannya, istilah ulumul hadis menjadi sinonim bagi ilmu hadis dirayah. Selain itu, ilmu hadis dirayah disebut juga Musthalâh al-Hadits (Ilmu Peristilahan Hadis) atau 'Ilm ushûl al-Hadits (Ilmu Dasar-dasar Hadis).
D. Ilmu Hadis Dirayah
Ilmu Hadis Dirayah, yaitu ilmu yang mempelajari kaedah-kaedah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara menerima dan menyampaikan hadis, sifat râwi (periwayat), dan lain-lain. Sasaran kajian ilmu hadis dirayah adalah sanad dan matan dengan segala persoalan yang terkandung di dalamnya yang turut mempengaruhi kualitas hadis tersebut. Kajian terhadap masalah-masalah yang bersangkutan dengan sanad disebut naqd as-sanad (kritik sanad) atau kritik ekstern. Disebut demikian karena yang dibahas ilmu itu adalah akurasi (kebenaran) jalur periwayatan, mulai dari sahabat sampai kepada periwayat terakhir yang menulis dan membukukan hadis tersebut.
Pokok bahasan naqd as-sanad (kritik sanad) adalah sebagai berikut.
(1)         Ittishâl as-sanad (persambungan sanad). Dalam hal ini tidak dibenarkan adanya rangkaian sanad yang terputus, tersembunyi, tidak diketahui identitasnya (wahm) atau samar
(2)        Tsiqah as-sanad, yakni sifat 'adl (adil), dhâbith (cermat dan kuat), dan tsiqah (terpercaya) yang harus dimiliki seorang periwayat.
(3)        Syadz, yakni kejanggalan yang terdapat atau bersumber dari sanad. Misalnya, hadis yang diriwayatkan oleh seorang yang siqah tetapi menyendiri dan bertentangan dengan hadis yang diriwavatkan oleh periwayat-periwayat siqah lainnva
(4)        'Illah, yakni cacat yang tersembunyi pada suatu hadis yang kelihatannya baik atau sempurna. Syadz dan 'illah adakalanya terdapat juga pada matan dan untuk menelitinya diperlukan penguasaan ilmu hadis yang mendalam.
Kajian terhadap masalah-masalah yang menyangkut matan disebut naqd al-matn (kritik matan) atau kritik intern. Disebut demikian karena yang dibahasnya adalah materi hadis itu sendiri, yakni perkataan, perbuatan atau ketetapan Rasulullah s.a.w.. Pokok pembahasannya meliputi:
(1)         rakâkah al-lafz yakni kejanggalan-kejanggalan dari segi redaksi
(2)        fasâd al-ma'nâ, yakni terdapat cacat atau kejanggalan pada makna hadis karena bertentangan dengan al-hiss (indera) dan akal, bertentangan dengan nash al-Quran, dan bertentangan dengan fakta sejarah yang terjadi pada masa Nabi s.a.w. serta mencerminkan fanatisme golongan yang berlebihan
(3)        kata-kata gharîb (asing), yakni kata-kata yang tidak bisa dipahami berdasarkan maknanya yang umum dikenal.
Tujuan dan faedah ilmu hadis dirayah adalah untuk mengetahui dan menetapkan maqbûl (diterima) dan mardûd (ditolak)-nya suatu hadis. Dalam perkembangannya, hadis Nabi s.a.w.  telah dikacaukan dengan munculnya hadis-hadis palsu yang tidak saja dilakukan oleh musuh-musuh Islam, tetapi juga oleh umat Islam sendiri dengan motif (kepentingan) pribadi, kelompok atau golongan. Oleh karena itu, ilmu hadis dirayah ini mempunyai arti penting dalam usaha pemeliharaan hadis Nabi s.a.w.. Dengan ilmu hadis dirayah dapat diteliti hadis mana yang dapat dipercaya berasal dari Rasulullah s.a.w., shahîh, hasan, dha’îf, dan bahkan maudhû’ (palsu).
Secara praktis, ilmu hadis dirayah juga sudah ada sejak periode awal Islam atau sejak periode Rasulullah s.a.w., paling tidak dalam arti dasar-dasarnya. Ilmu ini muncul bersamaan dengan mulainya periwayatan hadis yang disertai dengan tingginya perhatian dan selektivitas sahabat dalam menerima riwayat yang sampai kepada mereka. Berawal dengan cara yang sangat sederhana, ilmu ini berkembang sedemikian rupa seiring dengan berkembangnya masalah yang dihadapi. Pada akhirnya ilmu ini melahirkan berbagai cabang ilmu dengan metodologi pembahasan yang cukup rumit.
Pada periode Rasulullah s.a.w., kritik atau penelitian terhadap suatu riwayat (hadis) yang menjadi cikal baka1 ilmu hadis dirayah dilakukan dengan cara yang sederhana sekali. Apabila seorang sahabat ragu-ragu menerima suatu riwayat dari sahabat lainnya, maka ia segera menemui Rasulullah s.a.w. atau sahabat lain yang dapat dipercaya untuk mengkonfirmasikannya. Setelah itu, barulah ia menerima dan mengamalkan hadis tersebut.
Pada periode sahabat, penelitian hadis yang menyangkut sanad maupun matan hadis semakin menampakkan wujudnya. Abu Bakar ash-Shiddiq (573-634; khalifah pertama dari al-Khulafa' ar-Rasyidun [Empat Khalifah Besar]), misalnya, tidak mau menerima suatu hadis yang disampaikan oleh seseorang kecuali yang bersangkutan mampu mendatangkan saksi untuk memastikan kebenaran riwayat yang disampaikannya.
Demikian pula yang dilakukan oleh Umar bin al-Khaththab (581-644; khalifah kedua dari al-Khulafâ ' ar-Râsyidûn). Bahkan Umar mengancam akan memberi sanksi terhadap siapa saja yang meriwayatkan hadis jika tidak mendatangkan saksi. Ali bin Abi Thalib (603-661; khalifah terakhir dari al-Khulafâ' ar-Râsyidûn) menetapkan persyaratan tersendiri. la tidak mau menerima suatu hadis yang disampaikan oleh seseorang kecuali yang menyampaikannya bersedia diambil sumpah atas kebenaran riwayat tersebut. Meskipun demikian, ia tidak menuntut persyaratan tersebut terhadap sahabat-sahabat yang paling dipercaya kejujuran dan kebenarannya, seperti Abu Bakar ash-Shiddiq.
Semua yang dilakukan mereka bertujuan untuk memelihara kemurnian hadis-hadis Rasulullah s.a.w.. Di antara sahabat yang terkenal selektif dan tak segan-segan membicarakan kepribadian sahabat lain dalam kedudukannya sebagai periwayat hadis adalah Anas bin Malik (w. 95 H), Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas), dan Ubadah bin as-Shamit.
Prinsip dasar penelitian sanad yang terkandung dalam kebijaksanaan yang dicontohkan oleh para sahabat diikuti dan dikembangkan pula oleh para tabiin. Di antara tokoh tabiin yang terkenal dalam bidang ini adalah Sa'id bin Musayyab (15-94 H), al-Hasan al-Bashri (21-110 H), Amir bin Syurahbil asy-Sya'bi (17-104 H), dan Muhammad bin Sirin (w.110H).
Kritik matan juga tampak jelas pada periode sahabat. ‘Aisyah binti Abu Bakar r.a., misalnya, pernah mengritik hadis dari Abu Hurairah (w. 57 H) dengan matan berbunyi:
صحيح مسلم م ت محمد فؤاد عبد الباقي/٥ - (ج ٢ / ص ٦٤١)
 إن الميت يعذب ببعض بكاء أهله عليه
Innal-mayyita yu'adzdzabu bi bukâ'i ahlihi 'alaihi" (sesungguhnya mayat diazab disebabkan ratapan keluarganya) ‘Aisyah mengatakan bahwa periwayat telah melakukan kesalahan dalam menyampaikan hadis tersebut, sambil menjelaskan matan (teks) yang sesungguhnya.
Suatu ketika Rasulullah s.a.w. lewat pada suatu kuburan orang Yahudi dan beliau melihat keluarga si mayat sedang meratap di atasnya. Melihat hal tersebut Rasulullah s.a.w. bersabda: "Innahum yabkûna 'alaiha wa innahâ latu'adzdzabu fi qabrihâ" (mereka sedang meratapi si mayat, sementara si mayat sendiri sedang diazab dalam kuburnya). Lebih lanjut Aisyah berkata cukuplah al-Quran bukti ketidakbenaran matan (teks) hadis yang datang dari Abu Hurairah, karena maknanya bertentangan dengan al-Quran." la mengutip QS al-An'âm [6]: 164, yang artinya: "... dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain ...". Maksudnya: “masing-masing orang memikul dosanya sendiri-sendiri.”
Sejumlah sahabat lainnya juga melakukan hal yang sama, seperti Umar bin al-Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas'ud (Ibnu Mas'ud), dan Abdullah bin Abbas. Pada periode tabiin, penelitian dan kritik matan semakin berkembang seiring dengan berkembangnya masalah-masalah matan (teks) hadis yang mereka hadapi. Demikian pula di kalangan ulama- ulama hadis selanjutnya.
Pada penghujung abad ke-2 H. barulah penelitian/kritik hadis mengambil bentuk sebagai ilmu hadis teoretik di samping bentuk praktis seperti dijelaskan di atas. Imam asy-Syafi'i adalah ulama pertama yang mewariskan teori-teori ilmu hadisnya secara tertulis sebagaimana terdapat dalam karya monumentalnya ar-Risâlah (kitab usul fikih) dan al-Umm (kitab fikih). Hanya saja teori ilmu hadisnya tersebut tidak terhimpun dalam satu kitab khusus melainkan tersebar dalam pembahasan-pembahasannya dalam dua kitab tersebut.
Ulama pertama yang membukukan ilmu hadis dirayah adalah Abu Muhammad ar-Ramahurmuzi (265-360 H) dalam kitabnya, al-Muhaddits al-Fâshil bain ar-Râwî wa al-Wâ'izh (Ahli Hadis yang Memisahkan Antara Rawi dan Pemberi Nasihat). Sebagai pemula, kitab ini belum membahas masalah-masalah ilmu hadis secara lengkap. Kemudian muncul al-Hakim an-Naisaburi (w. 405 H/1014 M) dengan sebuah kitab yang lebih sistematik, Ma'rifah 'U1ûm al-Hadîts (Memahami Ilmu-ilmu Hadis).
Meskipun demikian, kitab ini masih memiliki kekurangan. Kemudian Abu Nu'aim al-lsfahani (w. 430 H/1038 M), muhaddits (ahli hadis) dari Asthalun (Persia), berusaha melengkapi kekurangan tersebut melalui kitabnya, al-Mustakhraj 'Ala al-Hâkim. Setelah itu muncul Abu Bakr Ahmad al-Khatib al-Bagdadi (392 H/1002 M-463 H/1071 M) yang menulis dua kitab ilmu hadis, yakni al-Kifâyah fI 'Ilm ar-Riwâyah dan al-Jâmi' li Adab ar-Râwî wa as-Sâmi'. Selain itu, al-Baghdadi juga menulis sejumlah kitab dalam berbagai cabang ilmu hadis. Menurut al-Hafizh Abu Bakar bin Nuqtah, ulama hadis kontemporer dari Mesir, ulama yang menulis ilmu hadis setelah al-Baghdadi pada dasamya berutang budi kepada karya-karya yang ditinggalkannya.
Kitab-kitab ulumul hadis yang terkenal pada periode berikutnya antara lain 'U1ûm al-Hadîts karya Abu ‘Amar ‘Utsman bin Shalah atau Ibnu Shalah (ahli hadis; w. 642 H/1246 M). Kitab ini mendapat perhatian banyak ulama sehingga banyak pula yang menulis svarah (ulasan)-nya. Misalnya, Ibnu Hajar al-Atsqalani dalam kitabnya al-Ifsâh bi Takmî1 an-Nakt 'alâ Ibn Shalah, Imam an-Nawawi dalam kitabnya al-Irsyâd dan at-Taqrîb, dan Ibnu Katsir (700 H/1300 M-774 H/1373 M) dalam kitabnya lkhtishar 'Ulûm al-Hadîts.
Kitab lainnya yang cukup terkenal di antaranya ialah Tadrîb ar-Râwî oleh Jalaluddin as-*Suyuti, Taudhîh al-Afkâr oleh Muhammad bin Isma'il al-Kahlani as-Shan'ani (1099 H/1688 M-1182 H/1772 M) dan Qawa 'id at- Tahdis karya Muhammad Jamaluddin bin Muhammad bin Sa'id bin Qasim al-Qasimi (1283-1332 H).
Di samping kitab 'Ulûm al-Hadîts yang bersifat umum, dalam perkembangan selanjutnya muncul pula kitab 'Ulûm al-Hadîts yang bersifat khusus, yakni kitab yang membahas satu cabang ilmu hadis tertentu dengan pembahasan yang lebih luas dan mendalam. Ilmu Hadis Dirayah memiliki cabang-cabang yang berkaitan dengan sanad, rawi, dan matan hadis. Cabang-cabang yang berkaitan dengan sanad dan rawi yang terpenting di antaranya adalah sebagai berikut :
1)      'Ilm Rijâl al-Hadîts, yakni ilmu yang mengkaji keadaan para rawi hadis dan perikehidupan mereka, baik dari kalangan sahabat, tabiin maupun tabi' at- tabi'in, dan generasi sesudahnya. Bagian dari 'ilm rijal al-hadis ini adalah 'ilm tarikh rijal al-hadis Ilmu ini secara khusus membahas perihal para rawi hadis dengan penekanan pada aspek-aspek tanggal kelahiran, nasab atau garis keturunan, guru sumber hadis, jumlah hadis yang diriwayatkan, dan murid-muridnya. Di antara kitab-kitab terkenal dalam cabang ilmu hadis ini ialah al-Isti'ab fi Ma'rifah al- Ashab karya Ibn 'Abd al-Bar (w. 463 H), al-Ishâbah fî Tamyîz as-Shahâbah dan Tahdzîb at-Tahdzîb karya Ibnu Hajar al-Asqalani, serta Tahdzîb al-Kamâl karya Abu al-Hajjaj Yusuf bin az-Zakki al-Mizzi (w. 742 H).                                                                                                               
2)     'Ilm al-Jarh wa at-Ta'dil, yakni ilmu yang membahas hal ihwal rawi dengan menyoroti kesalehan dan kejelekannya, sehingga dengan demikian periwayatannya dapat diterima atau ditolak. Muhammad 'Ajaj al-Khathib, ahli hadis kontemporer dari Suriah, mengelompokkan sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat tercela para periwayat masing-masing ke dalam enam tingkatan dan setiap tingkatan dilambangkan dengan istilah-istilah tertentu. Untuk sifat-sifat terpuji digunakan istilah autsaq an-nâs (orang yang paling dipercaya, baik kepribadian maupun hafalannya), lâ yus'al 'anh (tidak perlu dipertanyakan lagi), tsiqah-tsiqah (tepercaya kuat), tsabat (kokoh), lâ ba'sa bih (tidak ada masalah dengannya) dan laisa bi ba'id min ash-shawwâb (tidak jauh dari kebenaran). Untuk sifat-sifat tercela digunakan istilah akdzab an-nâs (manusia paling pendusta), muttaham kadzib (suka berdusta), muttaham bil al-kadzib (dituduh berdusta), lâ yuktab hadîtsuh (tidak perlu ditulis hadisnya), lâ yuhtâjj bih (tidak dapat dijadikan hujjah), dan fîhi maqâl (dipertanyakan). Untuk periwayat yang memiliki sifat terpuji hadisnya dapat diterima dengan peringkat kehujjahan sesuai dengan peringkat sifat terpuji yang dimilikinya. Sebaliknya, periwayat yang memiliki sifat tercela hadisnya ditolak dengan peringkat penolakan sesuai dengan peringkat sifat jelek yang dimilikinya. Kitab-kitab terkenal dalam cabang ilmu hadis ini antara lain Al-Jarh wa at-Tadîl karya Ibnu Abi Hatim ar-Razi (w. 328 H) dan Al-Jarh wa at-Ta'dî1 karya Muhammad Jamaluddin bin Muhammad bin Sa 'id bin Qasim al-Qasimi.
3)     'Ilm 'Ilal al-Hadîts, yakni ilmu yang membahas perihal cacat tersembunyi yang mungkin terdapat dalam suatu hadis yang keberadaannya dapat menjatuhkan nilai hadis yang secara lahir tampak shahih. Misalnya, hadis yang tampak muttashil (hadis yang sanadnya menyambung sampai kepada Nabi s.a.w. atau sahabat) setelah diteliti lebih jauh temyata munqathi' (hadis yang salah seorang periwayatnya gugur tidak pada sahabat, tetapi bisa terjadi pada periwayat yang di tengah atau di akhir). Untuk dapat mempelajari cacat tersembunyi ini diperlukan penguasaan ilmu 'Ilal al-Hadîts secara mendalam karena masalah yang menjadi objek kajiannya lebih rumit. Kitab-kitab terkenal di cabang ini di antaranya '1lal al-Hadis oleh Ibnu Abi Hatim ar-Razi, Al-'Ilal oleh Imam at-Tirmidzi, dan Al-'Ilal al-Mutanâhiyah fî al-Ahadits al-Wâhiyah oleh Ibn al-Jauzi (510-97 H).
4)     'Ilm Gharîb al-Hadîts, yakni ilmu yang membahas masalah kata atau lafal yang terdapat pada matan hadis yang sulit dipahami, baik karena kata atau lafal tersebut jarang sekali dipakai, nilai sastranya yang tinggi, maupun karena sebab yang lain. 'Ilm Gharîb al-Hadîts ini mempunyai arti penting dalam memahami maksud hadis dengan baik dan tepat karena sering kali suatu lafal tidak dapat dipahami sesuai dengan maknanya yang umum dikenal (makna lahiriah) sehingga harus dipahami dengan makna tersendiri agar maksud yang dituju oleh hadis tersebut dapat diungkap dengan baik dan tepat. Ilmu inilah yang mengantarkan seseorang untuk dapat menemukan makna yang tepat tersebut. Ulama perintis di bidang ini adalah Abu Ubaidah Ma'mar bin Mutsanna at-Taimi (w. 210 H) dan kemudian Abu al-Hasan an-Nadr bin Syunail al-Mazini (w. 203 H). Keduanya telah menulis kitab tentang garib al-hadis. Namun, Muhammad Adib Salih (ahli hadis kontemporer dari Suriah) mengatakan bahwa kitab tersebut merupakan kitab kecil dan banyak masalah yang belum terdapat di dalamnya. Kitab yang terkenal ialah al-Fâ'iq fî Gharîb al-Hadîts karya Abu Qasim Mahmud bin Umar az-Zamakhsyari dan an-Nihâyah fî Gharîb al-Hadîts karya Majduddin Abu as-Sa'adah al-Mubarak bin Muhammad yang terkenal dengan nama Ibnu Atsir (544-606H).
5)     'Ilm Asbâb al-Wurûd al-Hadîts, yakni ilmu yang membahas sebab atau hal-hal yang melatarbelakangi munculnya suatu hadis. Sebab atau hal tersebut adakalanya berupa pertanyaan yang dilontarkan oleh sahabat, lalu Rasulullah s.a.w. memberikan jawabannya, dan adakalanya berupa peristiwa yang disaksikan atau dialami sendiri oleh Rasulullah s.a.w. bersama sahabatnya, kemudian beliau menjelaskan hukumnya. Hadis-hadis yang mempunyai asbâb al-wurûd ini harus dipahami sesuai dengan keterikatannya dengan sebab atau hal-hal yang melatarbelakangi munculnya hadis tersebut. Ilmu ini bertujuan mengantarkan seseorang untuk dapat memahami hadis sesuai konteksnya.  Ulama yang dipandang sebagai perintis dalam bidang ilmu ini adalah Abu Hafs Umar bin Muhammad bin Raja al-Ukbari (380-458 H), dan kitab yang terkenal dalam bidang ini ialah al-Bayan wa at- Ta 'rif fi Asbab Wurud al-hadis asy-Syarlf karya Syarib lbrahim Muhammad bin Kamaluddin al-Husaini al-Hanafi ad-Dimasyqi yang lebih terkenal dengan nama Ibnu Hamzah ( 1054 -1112 H).
6)     'Ilm Mukhtalif al-Hadîts, yakni ilmu yang membahas hadis-hadis yang secara lahir tampak saling bertentangan. Ilmu ini mempunyai arti penting dalam mengantarkan seseorang untuk dapat menyelami makna filosofis suatu hadis, karena pada tingkat makna filosofis tidak mungkin hadis-hadis Rasulullah s.a.w. benar-benar bertentangan satu sama lain. Apabila tampak bertentangan, maka pertentangan itu hanyalah pada makna lahiriahnya, bukan pada maksud sesungguhnya yang dituju. Ulama perintis di bidang ini ialah Imam asy-Syafi 'i dengan karyanya Mukhtalif al-Hadits. Kemudian muncul pula Abu Muhammad Abdullah bin Muslim ad-Dinawari bin Qutaibah atau Ibnu Qutaibah (213 H/828 M-276 H/889 M) dengan kitabnya Ta'wi1 Mukhtalif al-Hadits dan Abu Ja'far Ahmad bin Muhammad at-Thahawi (239-321 H) dengan kitabnya Bayân Musykil al-Âtsâr.
7)     'Ilm Nâsikh wa Mansûkh al-Hadîts, yakni ilmu yang membahas penyelesaian hadis-hadis yang bertentangan dan tidak dapat dikompromikan. Ilmu ini mempelajari sejarah munculnya hadis-hadis yang bertentangan tersebut untuk mengetahui mana di antaranya yang lebih dahulu muncul dan yang kemudian. Penyelesaian dilakukan dengan kaedah an-nâsikh, yaitu hadis yang datang kemudian membatalkan hadis yang datang lebih dahulu. Selanjutnya, hadis yang membatalkan dijadikan hujjah (alasan) dan diamalkan, sedangkan hadis yang dibatalkan/dihapus ditinggalkan. Kitab-kitab terkenal di bidang ini antara lain Nâsikh al-Hadîts wa Mansûkhuh karya Abu Hafsh Umar bin Ahmad bin Usman yang terkenal dengan nama Ibnu Syahin (297-385 H) dan Al-I'tibâr fî an-Nâsikh wa al-Mansûkh min al-Âtsâr karya Abu Bakar Muhammad bin Musa al-Hazimi (547-584 H).
8)    'Ilm Takhrîj al-Hadîts, yakni ilmu yang membahas kualitas hadis. Ilmu ini membicarakan cara yang harus ditempuh dalam mencari dan menemukan hadis di dalam kitab-kitab sumber asli yang memuatnya serta menerangkan kualitas sanad yang mendukung periwayatan hadis tersebut. Yang dimaksud dengan kitab hadis sumber asli adalah kitab hadis yang ditulis langsung oleh periwayat dengan memaparkan jalur sanadnya secara utuh, seperti al-kutub as-Sittah (kitab hadis yang enam, yaitu Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan at-Tirmidzi Sunan an-Nasa'i dan Sunan Ibn Majah), al-Muwaththa' oleh Imam Malik, Musnad Ahmad Ibn Hanbal, dan Sunan ad-Darimi.  'Ilm Takhrîj al-Hadîts bertujuan mengantarkan seseorang untuk menelusuri kualitas sanad hadis dengan meneliti nama-nama periwayat yang terdapat dalam jalur sanadnya. Kitab-kitab penting di bidang ini di antaranya Turuq Takhrîj Hadîts Rasûlillâh karya Abu Muhammad Abdul Hadi (ahli hadis kontemporer dari Mesir) dan Ushûl at-Takhrîj wa Dirâsah al-Asânid karya Mahmud at-Thahhan (ahli hadis kontemporer dari Mesir).
E. Penutup
Dari tulisan di atas, dapat kita pahami bahwa pada dasarnya kajian hadis tidak hanya berfokus untuk memahami makan matan (teks) hadis semata, tetapi – lebih jauh dari itu – juga mempertanyakan keabsahan matan (teks) hadis. Sehingga status dan nilai kehujjahannya bisa lebih dipahami.
Selanjutnya, untuk memahami lebih lanjut kajian keilmuan hadis, para peminat studi hadis juga dituntut untuk memahami penerapan ilmu-ilmu hadis dalam memaknai hadis sebagai hujjah syar’iyyah (alasan keagamaan) sebagai dasar untuk beragama dalam seluruh aspek kehidupan.


0 komentar :

Posting Komentar