'ULÛM AL-HADÎTS
Ilmu Hadis,
yang dalam khazanah keilmuan hadis lebih sering disebut dengan 'Ulûm al-Hadîts, karena banyak ragam
dan macamnya, saat ini telah menjadi bagian dari perhatian umat Islam.
Perhatian umat terhadapnya menjadi semakin besar, karena urgensi dan
signifikansinya (artipenting dan kebermaknaannya) dalam upaya mereka (umat
Islam) untuk memahami hadis Nabi s.a.w. Namun, hingga kini keseriusan umat
Islam untuk melakukan kajian terhadapnya banyak terbatas hanya pada hal-hal
sangat elementer (sederhana) dan belum cukup serius untuk masuk ke dalam
rincian kajian yang sebenarnya sangat penting untuk dipahami oleh setiap
muslim, dalam rangka untuk memahami makna hadis-hadis Nabi s.a.w. secara baik
dan benar. Oleh karena itu, tulisan ini dimaksudkan untuk memaparkan esensi
Ilmu Hadis, dan selanjutnya diharapkan dapat memberikan motiviasi kepada para
pembacanya untuk melakukan kajian yang lebih mendalam.
A. Pendahuluan
Secara kebahasaan, 'Ulûm al-Hadîts
berarti ilmu-ilmu tentang hadis. Kata 'ulûm
adalah bentuk jamak dari kata 'ilm (ilmu).
Dalam hubungannya dengan pengetahuan
tentang hadis, ada ulama yang menggunakan bentuk 'Ulûm al-Hadîts,
seperti Ibnu Shalah (ahli hadis; w. 642 H/1246 M) dalam kitabnya 'Ulûm al-Hadîts,
dan ada juga yang menggunakan bentuk 'Ilm al-Hadîts, seperti
Jalaluddin as-Suyuthi dalam mukadimah kitab hadisnya Tadrib ar-Râwiy.
Penggunaan bentuk jamak disebabkan ilmu tersebut bersangkut-paut dengan hadis
Nabi s.a.w. yang banyak macam dan cabangnya. Hakim an-Naisaburi (321 H/933
M-405 H/1014M), misalnya,dalam kitabnya Ma'rifah 'Ulûm al-Hadîts
mengemukakan 52 macam ilmu hadis. Muhammad bin Nasir al-Hazimi, ahli hadis
klasik, mengatakan bahwa jumlah ilmu hadis mencapai lebih dari 100 macam yang
masing-masing mempunyai objek kajian khusus sehingga bisa dianggap sebagai
suatu ilmu tersendiri.
TM Hasbi
ash-Shiddieqy, salah satu pakar hadis Indonesia, mengatakan bahwa ilmu hadis
adalah ilmu yang berpautan dengan hadis Nabi s.a.w. Pemyataannya ini selain
bertolak dari makna lughawi (bahasa), juga mengisyaratkan bahwa
ilmu-ilmu yang bersangkut-paut dengan hadis Nabi s.a.w. itu banyak macam dan
cabangnya.
B. Kajian llmu Hadis
Secara garis besar
ulama hadis mengelompokkan ilmu-ilmu yang bersangkut-paut dengan hadis Nabi s.a.w.
tersebut ke dalam dua bidang pokok, yakni Ilmu Hadis Riwayah ('Ilm al-Hadîts
Riwâyah) dan Ilmu Hadis Dirayah ('Ilm al-Hadîts Dirâyah).
C. Ilmu Hadis Riwayah
Ilmu Hadis Riwayah, yaitu ilmu yang mempelajari cara periwayatan,
pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan hadis Nabi s.a.w.. Objek kajiannya
ialah hadis Nabi s.a.w. dari segi periwayatan dan pemeliharaannya yang
meliputi:
1)
cara periwayatannya, yakni bagaimana cara penerimaan dan
penyampaian hadis dari seorang periwayat (râwi) kepada periwayat lain;
2)
cara
pemeliharaan, yakni penghafalan, penulisan, dan pembukuan hadis. Ilmu
ini tidak membicarakan kualitas sanad, sifat rawi, dan cacat yang terdapat pada
matan dan yang terkait dengannya.
Ilmu
hadis riwayah bertujuan untuk memelihara hadis Nabi s.a.w. dari kesalahan dalam proses
periwayatan atau dalam hal penulisan dan pembukuannya. Lebih lanjut ilmu ini
juga bertujuan agar umat Islam menjadikan Nabi s.a.w. sebagai suri teladan
melalui pemahaman terhadap riwayat yang berasal darinya dan mengamalkannya. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS
al-Ahzâb [33]: 21,
ôs)©9
tb%x.
öNä3s9
Îû
ÉAqßu
«!$#
îouqóé&
×puZ|¡ym
`yJÏj9
tb%x.
(#qã_öt
©!$#
tPöquø9$#ur
tÅzFy$#
tx.sur
©!$#
#ZÏVx.
“Sesungguhnya
Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah.”
Ulama
yang terkenal dan dipandang sebagai pelopor ilmu hadis riwayah adalah Abu Bakar Muhammad bin
Syihab az-Zuhri (51-124 H),
seorang imam dan ulama besar di Hijaz (Madinah) dan Syam (Suriah). Dalam
sejarah perkembangan hadis, az-Zuhri tercatat sebagai ulama pertama yang menghimpun hadis Nabi s.a.w.
atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz atau Khalifah Umar II (salah seorang Khalifah dari Bani
Umayyah, yang memerintah pada tahun 99 H/717 M hingga 102 H /720 M).
Meskipun
demikian, ilmu hadis riwayah ini sudah ada sejak periode Rasulullah s.a.w.,
bersamaan dengan dimulainya periwayatan hadis itu sendiri. Sebagaimana
diketahui, para sahabat menaruh perhatian yang tinggi terhadap hadis Nabi s.a.w..
Mereka berupaya mendapatkannya dengan menghadiri majelis-majelis Rasulullah s.a.w.,
serta mendengar dan menyimak pesan atau nasihat yang disampaikan oleh Nabi s.a.w.
Mereka juga
memperhatikan dengan seksama apa yang dilakukan Rasulullah s.a.w., baik dalam
beribadah maupun dalam aktivitas sosial, dan akhlak Nabi s.a.w. sehari-hari. Semua itu
mereka pahami dengan baik dan mereka pelihara melalui hafalan mereka.
Selanjutnya mereka menyampaikannya dengan sangat hati-hati kepada sahabat lain
atau tabiin. Para tabiin pun melakukan hal yang sama, yaitu memahami hadis,
memelihara, dan menyampaikannya kepada tabiin lain atau tabi' at- tabi'in
(generasi sesudah tabiin).
Demikianlah
periwayatan dan pemeliharaan hadis Nabi s.a.w. berlangsung hingga usaha
penghimpunan yang dipelopori oleh az-Zuhri. Usaha penghimpunan, penyeleksian,
penulisan, dan pembukuan hadis secara besar-besaran dilakukan oleh ulama hadis
pada abad ke-3 H, seperti Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam
at-Tirmizi, dan ulama-ulama hadis lainnya melalui kitab hadis masing-masing.
Dengan dibukukannya
hadis Nabi s.a.w. dan selanjutnya dijadikan rujukan oleh ulama yang datang
kemudian, maka pada periode selanjutnya ilmu hadis riwayah tidak lagi banyak
berkembang. Berbeda halnya dengan ilmu hadis dirayah yang senantiasa berkembang
dan melahirkan berbagai cabang ilmu hadis. Oleh karena itu, pada umumnya yang
dibicarakan oleh ulama hadis dalam kitab-kitab 'Ulûm al-Hadîts
yang mereka susun adalah ilmu hadis dirayah. Dalam perkembangannya, istilah
ulumul hadis menjadi sinonim bagi ilmu hadis dirayah. Selain itu, ilmu hadis dirayah disebut juga Musthalâh al-Hadits (Ilmu
Peristilahan Hadis) atau 'Ilm ushûl al-Hadits (Ilmu Dasar-dasar
Hadis).
D. Ilmu Hadis Dirayah
Ilmu Hadis Dirayah,
yaitu ilmu yang mempelajari kaedah-kaedah untuk mengetahui hal
ihwal sanad, matan, cara menerima dan menyampaikan hadis, sifat râwi
(periwayat), dan lain-lain. Sasaran kajian ilmu hadis dirayah adalah sanad dan matan dengan
segala persoalan yang terkandung di dalamnya yang turut mempengaruhi kualitas
hadis tersebut. Kajian
terhadap masalah-masalah yang bersangkutan dengan sanad disebut naqd as-sanad (kritik sanad) atau kritik ekstern. Disebut
demikian karena yang dibahas ilmu itu adalah akurasi
(kebenaran) jalur periwayatan, mulai dari sahabat sampai kepada periwayat
terakhir yang menulis dan membukukan hadis tersebut.
Pokok bahasan naqd
as-sanad (kritik sanad) adalah sebagai berikut.
(1)
Ittishâl
as-sanad (persambungan sanad). Dalam hal ini tidak
dibenarkan adanya rangkaian sanad yang terputus, tersembunyi, tidak diketahui
identitasnya (wahm) atau samar
(2)
Tsiqah
as-sanad, yakni sifat 'adl (adil), dhâbith (cermat
dan kuat), dan tsiqah (terpercaya) yang harus dimiliki seorang
periwayat.
(3)
Syadz, yakni kejanggalan yang terdapat atau bersumber dari sanad. Misalnya, hadis
yang diriwayatkan oleh seorang yang siqah tetapi menyendiri dan bertentangan
dengan hadis yang diriwavatkan oleh periwayat-periwayat siqah lainnva
(4)
'Illah, yakni cacat yang tersembunyi pada suatu hadis yang kelihatannya baik atau
sempurna. Syadz dan 'illah adakalanya terdapat juga pada matan
dan untuk menelitinya diperlukan penguasaan ilmu hadis yang mendalam.
Kajian terhadap
masalah-masalah yang menyangkut matan disebut naqd
al-matn (kritik matan) atau kritik intern. Disebut
demikian karena yang dibahasnya adalah materi hadis itu sendiri, yakni perkataan, perbuatan atau ketetapan Rasulullah s.a.w.. Pokok pembahasannya meliputi:
(1)
rakâkah
al-lafz yakni kejanggalan-kejanggalan dari segi
redaksi
(2)
fasâd
al-ma'nâ, yakni terdapat cacat atau kejanggalan
pada makna hadis karena bertentangan dengan al-hiss (indera) dan akal,
bertentangan dengan nash al-Quran, dan bertentangan dengan fakta sejarah yang
terjadi pada masa Nabi s.a.w. serta mencerminkan fanatisme golongan yang
berlebihan
(3)
kata-kata
gharîb (asing), yakni kata-kata yang tidak bisa dipahami berdasarkan
maknanya yang umum dikenal.
Tujuan dan faedah
ilmu hadis dirayah adalah untuk mengetahui dan menetapkan maqbûl
(diterima) dan mardûd (ditolak)-nya suatu hadis. Dalam
perkembangannya, hadis Nabi s.a.w. telah
dikacaukan dengan munculnya hadis-hadis palsu yang tidak saja dilakukan oleh
musuh-musuh Islam, tetapi juga oleh umat Islam sendiri dengan motif (kepentingan)
pribadi, kelompok atau golongan. Oleh karena itu, ilmu hadis dirayah ini
mempunyai arti penting dalam usaha pemeliharaan hadis Nabi s.a.w.. Dengan ilmu hadis dirayah dapat diteliti hadis mana yang dapat dipercaya
berasal dari Rasulullah s.a.w., shahîh, hasan, dha’îf, dan bahkan
maudhû’ (palsu).
Secara praktis, ilmu
hadis dirayah juga sudah ada sejak periode awal Islam atau sejak periode
Rasulullah s.a.w., paling tidak dalam arti dasar-dasarnya. Ilmu ini muncul
bersamaan dengan mulainya periwayatan hadis yang disertai dengan tingginya
perhatian dan selektivitas sahabat dalam menerima riwayat yang sampai kepada
mereka. Berawal dengan cara yang sangat sederhana, ilmu ini berkembang
sedemikian rupa seiring dengan berkembangnya masalah yang dihadapi. Pada
akhirnya ilmu ini melahirkan berbagai cabang ilmu dengan metodologi pembahasan
yang cukup rumit.
Pada periode
Rasulullah s.a.w., kritik atau penelitian terhadap suatu riwayat (hadis) yang
menjadi cikal baka1 ilmu hadis dirayah dilakukan dengan cara yang sederhana
sekali. Apabila seorang sahabat ragu-ragu menerima suatu riwayat dari sahabat
lainnya, maka ia segera menemui Rasulullah s.a.w. atau sahabat lain yang dapat
dipercaya untuk mengkonfirmasikannya. Setelah itu, barulah ia menerima dan
mengamalkan hadis tersebut.
Pada periode
sahabat, penelitian hadis yang menyangkut sanad maupun matan hadis semakin
menampakkan wujudnya. Abu Bakar ash-Shiddiq (573-634; khalifah
pertama dari al-Khulafa' ar-Rasyidun [Empat Khalifah Besar]), misalnya, tidak
mau menerima suatu hadis yang disampaikan oleh seseorang kecuali yang
bersangkutan mampu mendatangkan saksi untuk memastikan kebenaran riwayat yang
disampaikannya.
Demikian pula yang
dilakukan oleh Umar bin al-Khaththab (581-644; khalifah
kedua dari al-Khulafâ ' ar-Râsyidûn). Bahkan Umar mengancam akan memberi
sanksi terhadap siapa saja yang meriwayatkan hadis jika tidak mendatangkan
saksi. Ali bin Abi Thalib (603-661; khalifah terakhir dari al-Khulafâ'
ar-Râsyidûn) menetapkan persyaratan tersendiri. la tidak mau menerima suatu
hadis yang disampaikan oleh seseorang kecuali yang menyampaikannya bersedia
diambil sumpah atas kebenaran riwayat tersebut. Meskipun demikian, ia tidak
menuntut persyaratan tersebut terhadap sahabat-sahabat yang paling dipercaya
kejujuran dan kebenarannya, seperti Abu Bakar ash-Shiddiq.
Semua yang dilakukan
mereka bertujuan untuk memelihara kemurnian hadis-hadis
Rasulullah s.a.w.. Di antara sahabat yang terkenal selektif dan tak
segan-segan membicarakan kepribadian sahabat lain dalam kedudukannya sebagai
periwayat hadis adalah Anas bin Malik (w. 95 H), Abdullah
bin Abbas (Ibnu Abbas), dan Ubadah bin as-Shamit.
Prinsip
dasar penelitian sanad yang terkandung dalam kebijaksanaan yang dicontohkan
oleh para sahabat diikuti dan dikembangkan pula oleh para tabiin. Di antara
tokoh tabiin yang terkenal dalam bidang ini adalah Sa'id bin Musayyab (15-94
H), al-Hasan al-Bashri (21-110 H), Amir bin Syurahbil asy-Sya'bi
(17-104 H), dan Muhammad
bin Sirin (w.110H).
Kritik matan juga
tampak jelas pada periode sahabat. ‘Aisyah binti Abu Bakar r.a., misalnya, pernah
mengritik hadis dari Abu Hurairah (w. 57 H) dengan matan berbunyi:
صحيح مسلم م ت محمد فؤاد عبد الباقي/٥ - (ج ٢ / ص ٦٤١)
إن الميت يعذب ببعض بكاء أهله عليه
“Innal-mayyita yu'adzdzabu bi
bukâ'i ahlihi 'alaihi" (sesungguhnya mayat diazab disebabkan
ratapan keluarganya) ‘Aisyah mengatakan bahwa periwayat telah melakukan kesalahan
dalam menyampaikan hadis tersebut, sambil menjelaskan matan (teks) yang
sesungguhnya.
Suatu
ketika Rasulullah s.a.w. lewat pada suatu kuburan orang Yahudi dan beliau
melihat keluarga si mayat sedang meratap di atasnya. Melihat hal tersebut
Rasulullah s.a.w. bersabda: "Innahum yabkûna 'alaiha wa innahâ
latu'adzdzabu fi qabrihâ" (mereka sedang meratapi si mayat, sementara si mayat
sendiri sedang diazab dalam kuburnya). Lebih lanjut Aisyah berkata cukuplah
al-Quran bukti ketidakbenaran matan (teks) hadis yang datang dari Abu Hurairah,
karena maknanya bertentangan dengan al-Quran." la mengutip QS al-An'âm [6]:
164, yang artinya: "... dan seorang yang berdosa tidak akan
memikul dosa orang lain ...". Maksudnya: “masing-masing
orang memikul dosanya sendiri-sendiri.”
Sejumlah sahabat
lainnya juga melakukan hal yang sama, seperti Umar bin al-Khaththab, Ali bin
Abi Thalib, Abdullah bin Mas'ud (Ibnu Mas'ud), dan Abdullah bin Abbas. Pada
periode tabiin, penelitian dan kritik matan semakin berkembang seiring dengan
berkembangnya masalah-masalah matan (teks) hadis yang mereka hadapi. Demikian
pula di kalangan ulama- ulama hadis selanjutnya.
Pada penghujung abad
ke-2 H. barulah penelitian/kritik hadis mengambil bentuk sebagai ilmu hadis
teoretik di samping bentuk praktis seperti dijelaskan di atas. Imam asy-Syafi'i
adalah ulama pertama yang mewariskan teori-teori ilmu hadisnya secara tertulis
sebagaimana terdapat dalam karya monumentalnya ar-Risâlah (kitab usul
fikih) dan al-Umm (kitab fikih). Hanya saja teori ilmu hadisnya tersebut
tidak terhimpun dalam satu kitab khusus melainkan tersebar dalam
pembahasan-pembahasannya dalam dua kitab tersebut.
Ulama pertama yang
membukukan ilmu hadis dirayah adalah Abu Muhammad ar-Ramahurmuzi (265-360 H)
dalam kitabnya, al-Muhaddits al-Fâshil bain ar-Râwî wa
al-Wâ'izh (Ahli Hadis yang Memisahkan Antara Rawi dan Pemberi
Nasihat). Sebagai pemula, kitab ini belum membahas masalah-masalah ilmu hadis
secara lengkap. Kemudian muncul al-Hakim an-Naisaburi (w. 405 H/1014 M)
dengan sebuah kitab yang lebih sistematik, Ma'rifah
'U1ûm al-Hadîts (Memahami Ilmu-ilmu
Hadis).
Meskipun demikian,
kitab ini masih memiliki kekurangan. Kemudian Abu
Nu'aim al-lsfahani (w. 430 H/1038 M), muhaddits (ahli hadis) dari
Asthalun (Persia), berusaha melengkapi kekurangan tersebut melalui kitabnya, al-Mustakhraj
'Ala al-Hâkim. Setelah itu muncul Abu Bakr
Ahmad al-Khatib al-Bagdadi (392 H/1002 M-463 H/1071 M) yang menulis dua kitab ilmu
hadis, yakni al-Kifâyah fI 'Ilm ar-Riwâyah dan al-Jâmi' li Adab ar-Râwî wa as-Sâmi'. Selain itu,
al-Baghdadi juga menulis sejumlah kitab dalam berbagai cabang ilmu hadis.
Menurut al-Hafizh Abu Bakar bin Nuqtah, ulama hadis kontemporer dari Mesir,
ulama yang menulis ilmu hadis setelah al-Baghdadi pada dasamya berutang budi
kepada karya-karya yang ditinggalkannya.
Kitab-kitab
ulumul hadis yang terkenal pada periode berikutnya antara lain 'U1ûm
al-Hadîts karya Abu ‘Amar ‘Utsman bin Shalah atau
Ibnu Shalah (ahli hadis; w. 642 H/1246 M). Kitab ini
mendapat perhatian banyak ulama sehingga banyak pula yang menulis svarah
(ulasan)-nya. Misalnya, Ibnu Hajar al-Atsqalani dalam
kitabnya al-Ifsâh bi Takmî1 an-Nakt 'alâ Ibn Shalah, Imam an-Nawawi dalam kitabnya al-Irsyâd dan at-Taqrîb, dan Ibnu Katsir (700 H/1300 M-774 H/1373 M) dalam kitabnya lkhtishar 'Ulûm al-Hadîts.
Kitab lainnya yang
cukup terkenal di antaranya ialah Tadrîb ar-Râwî oleh Jalaluddin as-*Suyuti, Taudhîh al-Afkâr oleh Muhammad bin Isma'il al-Kahlani as-Shan'ani (1099 H/1688 M-1182
H/1772 M) dan Qawa 'id at- Tahdis karya Muhammad Jamaluddin bin Muhammad bin Sa'id bin Qasim al-Qasimi (1283-1332
H).
Di samping kitab 'Ulûm
al-Hadîts yang bersifat umum, dalam perkembangan selanjutnya muncul pula
kitab 'Ulûm al-Hadîts yang bersifat khusus, yakni kitab yang membahas
satu cabang ilmu hadis tertentu dengan pembahasan yang lebih luas dan mendalam.
Ilmu Hadis Dirayah memiliki cabang-cabang yang berkaitan dengan sanad, rawi,
dan matan hadis. Cabang-cabang yang berkaitan dengan sanad dan rawi yang
terpenting di antaranya adalah sebagai berikut :
1)
'Ilm Rijâl al-Hadîts, yakni ilmu
yang mengkaji keadaan para rawi hadis dan perikehidupan mereka, baik dari
kalangan sahabat, tabiin maupun tabi' at- tabi'in, dan generasi
sesudahnya. Bagian dari 'ilm rijal al-hadis ini adalah 'ilm
tarikh rijal al-hadis Ilmu ini secara khusus membahas
perihal para rawi hadis dengan penekanan pada aspek-aspek tanggal kelahiran,
nasab atau garis keturunan, guru sumber hadis, jumlah hadis yang diriwayatkan,
dan murid-muridnya. Di antara kitab-kitab terkenal dalam cabang ilmu
hadis ini ialah al-Isti'ab fi Ma'rifah al- Ashab
karya Ibn 'Abd al-Bar (w. 463 H), al-Ishâbah fî Tamyîz as-Shahâbah dan Tahdzîb at-Tahdzîb karya Ibnu Hajar
al-Asqalani, serta Tahdzîb al-Kamâl karya Abu al-Hajjaj
Yusuf bin az-Zakki al-Mizzi (w. 742 H).
2)
'Ilm al-Jarh wa at-Ta'dil, yakni ilmu yang membahas hal ihwal rawi dengan
menyoroti kesalehan dan kejelekannya, sehingga dengan demikian periwayatannya
dapat diterima atau ditolak. Muhammad 'Ajaj al-Khathib, ahli hadis kontemporer
dari Suriah, mengelompokkan sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat tercela para
periwayat masing-masing ke dalam enam tingkatan dan setiap tingkatan
dilambangkan dengan istilah-istilah tertentu. Untuk sifat-sifat terpuji
digunakan istilah autsaq an-nâs (orang yang paling dipercaya, baik
kepribadian maupun hafalannya), lâ yus'al 'anh (tidak perlu dipertanyakan
lagi), tsiqah-tsiqah (tepercaya kuat), tsabat (kokoh), lâ
ba'sa bih (tidak ada masalah dengannya) dan laisa bi ba'id min ash-shawwâb
(tidak jauh dari kebenaran). Untuk sifat-sifat tercela digunakan istilah akdzab
an-nâs (manusia paling pendusta), muttaham kadzib (suka berdusta), muttaham
bil al-kadzib (dituduh berdusta), lâ yuktab hadîtsuh (tidak perlu
ditulis hadisnya), lâ yuhtâjj bih (tidak dapat dijadikan hujjah), dan fîhi
maqâl (dipertanyakan). Untuk periwayat yang memiliki sifat terpuji hadisnya
dapat diterima dengan peringkat kehujjahan sesuai dengan peringkat sifat
terpuji yang dimilikinya. Sebaliknya, periwayat yang memiliki sifat tercela
hadisnya ditolak dengan peringkat penolakan sesuai dengan peringkat sifat jelek
yang dimilikinya. Kitab-kitab terkenal dalam cabang ilmu hadis ini antara lain Al-Jarh
wa at-Tadîl karya Ibnu Abi Hatim ar-Razi (w. 328 H) dan Al-Jarh
wa at-Ta'dî1 karya Muhammad Jamaluddin bin Muhammad bin Sa 'id bin Qasim
al-Qasimi.
3)
'Ilm 'Ilal al-Hadîts, yakni ilmu yang membahas perihal cacat
tersembunyi yang mungkin terdapat dalam suatu hadis yang keberadaannya dapat
menjatuhkan nilai hadis yang secara lahir tampak shahih. Misalnya, hadis yang
tampak muttashil (hadis yang sanadnya menyambung sampai kepada Nabi s.a.w. atau
sahabat) setelah diteliti lebih jauh temyata munqathi' (hadis yang salah
seorang periwayatnya gugur tidak pada sahabat, tetapi bisa terjadi pada
periwayat yang di tengah atau di akhir). Untuk dapat mempelajari cacat
tersembunyi ini diperlukan penguasaan ilmu 'Ilal al-Hadîts secara
mendalam karena masalah yang menjadi objek kajiannya lebih rumit. Kitab-kitab
terkenal di cabang ini di antaranya '1lal al-Hadis oleh Ibnu Abi Hatim
ar-Razi, Al-'Ilal oleh Imam at-Tirmidzi, dan Al-'Ilal al-Mutanâhiyah
fî al-Ahadits al-Wâhiyah oleh Ibn al-Jauzi (510-97 H).
4)
'Ilm Gharîb al-Hadîts, yakni ilmu yang membahas masalah kata
atau lafal yang terdapat pada matan hadis yang sulit dipahami, baik karena kata
atau lafal tersebut jarang sekali dipakai, nilai sastranya yang tinggi, maupun
karena sebab yang lain. 'Ilm Gharîb al-Hadîts ini mempunyai arti
penting dalam memahami maksud hadis dengan baik dan tepat karena sering kali
suatu lafal tidak dapat dipahami sesuai dengan maknanya yang umum dikenal
(makna lahiriah) sehingga harus dipahami dengan makna tersendiri agar maksud
yang dituju oleh hadis tersebut dapat diungkap dengan baik dan tepat. Ilmu
inilah yang mengantarkan seseorang untuk dapat menemukan makna yang tepat
tersebut. Ulama perintis di bidang ini adalah Abu Ubaidah Ma'mar bin Mutsanna
at-Taimi (w. 210 H) dan kemudian Abu al-Hasan an-Nadr bin Syunail
al-Mazini (w. 203 H). Keduanya telah menulis kitab tentang garib al-hadis.
Namun, Muhammad Adib Salih (ahli hadis kontemporer dari Suriah) mengatakan
bahwa kitab tersebut merupakan kitab kecil dan banyak masalah yang belum
terdapat di dalamnya. Kitab yang terkenal ialah al-Fâ'iq fî Gharîb al-Hadîts
karya Abu Qasim Mahmud bin Umar az-Zamakhsyari dan an-Nihâyah fî Gharîb al-Hadîts
karya Majduddin Abu as-Sa'adah al-Mubarak bin Muhammad yang terkenal dengan
nama Ibnu Atsir (544-606H).
5)
'Ilm Asbâb al-Wurûd al-Hadîts, yakni ilmu yang membahas sebab atau
hal-hal yang melatarbelakangi munculnya suatu hadis. Sebab atau hal tersebut
adakalanya berupa pertanyaan yang dilontarkan oleh sahabat, lalu Rasulullah s.a.w.
memberikan jawabannya, dan adakalanya berupa peristiwa yang disaksikan atau
dialami sendiri oleh Rasulullah s.a.w. bersama sahabatnya, kemudian beliau
menjelaskan hukumnya. Hadis-hadis yang mempunyai asbâb al-wurûd ini
harus dipahami sesuai dengan keterikatannya dengan sebab atau hal-hal yang
melatarbelakangi munculnya hadis tersebut. Ilmu ini bertujuan
mengantarkan seseorang untuk dapat memahami hadis sesuai konteksnya. Ulama yang dipandang sebagai perintis dalam
bidang ilmu ini adalah Abu Hafs Umar bin Muhammad bin Raja al-Ukbari (380-458
H), dan kitab yang terkenal dalam bidang ini ialah al-Bayan wa at- Ta 'rif fi
Asbab Wurud al-hadis asy-Syarlf karya Syarib lbrahim Muhammad bin Kamaluddin
al-Husaini al-Hanafi ad-Dimasyqi yang lebih terkenal dengan nama Ibnu Hamzah (
1054 -1112 H).
6)
'Ilm Mukhtalif
al-Hadîts, yakni ilmu yang membahas hadis-hadis
yang secara lahir tampak saling bertentangan. Ilmu ini mempunyai arti penting dalam mengantarkan seseorang
untuk dapat menyelami makna filosofis suatu hadis, karena pada tingkat makna
filosofis tidak mungkin hadis-hadis Rasulullah s.a.w. benar-benar bertentangan
satu sama lain. Apabila tampak bertentangan, maka pertentangan itu
hanyalah pada makna lahiriahnya, bukan pada maksud sesungguhnya yang dituju. Ulama
perintis di bidang ini ialah Imam asy-Syafi 'i dengan karyanya Mukhtalif al-Hadits.
Kemudian muncul pula Abu Muhammad Abdullah bin Muslim ad-Dinawari bin Qutaibah
atau Ibnu Qutaibah (213 H/828 M-276 H/889 M) dengan kitabnya Ta'wi1
Mukhtalif al-Hadits dan Abu Ja'far Ahmad bin Muhammad at-Thahawi
(239-321 H) dengan kitabnya Bayân Musykil al-Âtsâr.
7)
'Ilm
Nâsikh wa Mansûkh al-Hadîts, yakni ilmu yang membahas penyelesaian
hadis-hadis yang bertentangan dan tidak dapat dikompromikan. Ilmu ini mempelajari sejarah munculnya
hadis-hadis yang bertentangan tersebut untuk mengetahui mana di antaranya yang
lebih dahulu muncul dan yang kemudian. Penyelesaian dilakukan dengan kaedah an-nâsikh,
yaitu hadis yang datang kemudian membatalkan hadis yang datang lebih dahulu.
Selanjutnya, hadis yang membatalkan dijadikan hujjah (alasan) dan diamalkan, sedangkan
hadis yang dibatalkan/dihapus ditinggalkan. Kitab-kitab terkenal di bidang ini
antara lain Nâsikh al-Hadîts wa Mansûkhuh karya Abu Hafsh Umar
bin Ahmad bin Usman yang terkenal dengan nama Ibnu Syahin (297-385 H) dan Al-I'tibâr
fî an-Nâsikh wa al-Mansûkh min al-Âtsâr karya Abu Bakar Muhammad bin Musa
al-Hazimi (547-584 H).
8)
'Ilm Takhrîj al-Hadîts, yakni ilmu yang membahas kualitas hadis.
Ilmu ini membicarakan cara yang harus ditempuh dalam mencari dan menemukan
hadis di dalam kitab-kitab sumber asli yang memuatnya serta menerangkan
kualitas sanad yang mendukung periwayatan hadis tersebut. Yang dimaksud dengan
kitab hadis sumber asli adalah kitab hadis yang ditulis langsung oleh periwayat
dengan memaparkan jalur sanadnya secara utuh, seperti al-kutub as-Sittah
(kitab hadis yang enam, yaitu Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi
Dawud, Sunan at-Tirmidzi Sunan an-Nasa'i dan Sunan Ibn Majah), al-Muwaththa'
oleh Imam Malik, Musnad Ahmad Ibn Hanbal, dan Sunan ad-Darimi. 'Ilm Takhrîj al-Hadîts bertujuan
mengantarkan seseorang untuk menelusuri kualitas sanad hadis dengan meneliti
nama-nama periwayat yang terdapat dalam jalur sanadnya. Kitab-kitab penting di
bidang ini di antaranya Turuq Takhrîj Hadîts Rasûlillâh karya Abu
Muhammad Abdul Hadi (ahli hadis kontemporer dari Mesir) dan Ushûl at-Takhrîj
wa Dirâsah al-Asânid karya Mahmud at-Thahhan (ahli hadis kontemporer
dari Mesir).
E.
Penutup
Dari
tulisan di atas, dapat kita pahami bahwa pada dasarnya kajian hadis tidak hanya
berfokus untuk memahami makan matan (teks) hadis semata, tetapi – lebih jauh
dari itu – juga mempertanyakan keabsahan matan (teks) hadis. Sehingga status
dan nilai kehujjahannya bisa lebih dipahami.
Selanjutnya,
untuk memahami lebih lanjut kajian keilmuan hadis, para peminat studi hadis
juga dituntut untuk memahami penerapan ilmu-ilmu hadis dalam memaknai hadis
sebagai hujjah syar’iyyah (alasan keagamaan) sebagai dasar untuk
beragama dalam seluruh aspek kehidupan.
0 komentar :
Posting Komentar